Catatan:
Tulisan ini akan tampil dalam kumpulan esai perdana yang mengolah Dunia Betawi karya CGR, "Kembang Kelapa: Kumpulan Catatan Budaya ~ Orang Betawi dan Kampungnya" (2013)
Sebaris lirik dalam lagu pembuka sinetron Pepesan Kosong karya Ali Shahab yang ditayangkan TPI pada paruh
pertama dekade 1990-an—“kampungnya ilang diambil orang”—menggugah pemikiran saya
sebagai anak Betawi yang kebetulan sedikit-sedikit bisa menulis. Siapa yang
mengambil kampung orang Betawi?
SOEKARNO, SOEHARTO, DAN ORANG BETAWI
Mempelajari kasus-kasusnya, baik yang terekam dalam ingatan
pribadi melalui perantaraan mata maupun berdasarkan kabar yang disiarkan media komunikasi
massa dan penuturan lisan orang-orang tua, tersimpulkan secara nyata bahwa
hilangnya kampung-kampung orang Betawi di Jakarta secara perlahan-lahan setelah
usainya masa revolusi fisik terjadi lantaran tiga sebab: Tindakan zalim penguasa,
kerakusan pihak pengembang perumahan, dan kesediaan orang Betawi sendiri untuk
melepas tanahnya. Antara sebab pertama dengan sebab kedua, sangat dapat
dipastikan pendukung keberhasilannya lantaran sebuah kekuatan yang sama: Aparat
keamanan.
Kezaliman penguasa negeri ini
terhadap orang Betawi terjadi sejak jaman Orde Lama dimana Soekarno (1901-1970) yang dianggap “manusia setengah dewa” itu
duduk sebagai pucuk pimpinannya. Ia misalnya, untuk menyebut salahsatu saja, mengidekan
penggusuran empat kampung bernama Senayan,
Petunduan, Kebun Kelapa, dan sebagian Bendungan Hilir, demi ambisinya membangun
sebuah kompleks olahraga lengkap dengan lapangannya yang besar dan megah untuk
menghadapi Asian Games ke-IV, Agustus
1962.
Pemilihan kawasan seluas 270 hektar itu konon telah direncanakan sejak tahun 1960
dengan alasan bahwa saat itu Jakarta belum memiliki sarana olahraga yang besar dan mewah, terlebih
yang mampu menampung atlet dari 58 negara di Asia. Maka berdirilah Gelora Senayan dengan sarana-sarana
pendukungnya.
Adapun orang Betawi yang menjadi
penghuninya digusur dengan sangat semena-mena dengan uang pengganti sekedar
saja untuk membangun rumah di kavling-kavling yang sudah disediakan di daerah Tebet—yang
saat itu masih berupa rawa-rawa. Namun ternyata banyak yang tidak kerasan tinggal
di sana disebabkan tingkat keamanan yang buruk yakni sering terjadinya
perampokan terhadap “orang gusuran” yang dianggap membawa banyak uang. Mereka umumnya
kemudian pindah ke kampung-kampung lain di Jakarta Selatan, semacam Kebayuran
Lama,
Pasar Minggu, atau Lenteng Agung, bahkan ke daerah Tambun di Bekasi dan Depok.
Kezaliman penguasa kita terhadap
orang Betawi terus berlanjut dan semakin parah terjadi pada masa Orde Baru
dengan Soeharto (1921-2008) sebagai “manusia
setengah tuhan” pada pemerintahannya yang bersifat sentralistis bahkan berwujud
menjadi personalisasi—dengan sosoknya sebagai nukleus sentral seluruh negeri. Soeharto—seperti
“kebijakannya” pada semua hal—sangat sewenang-wenang dan sangat tidak
mengindahkan orang Betawi di tanahnya sendiri, dalam bentuk-bentuk penghilangan
unsur dan peran kebetawian yang begitu kentara. Mulai dari jabatan kepala kampung
Betawi (baca: Gubernur DKI Jakarta) yang tidak pernah diberikan kepada orang
Betawi, penggusuran kampung-kampung
orang Betawi yang didukung kekuatan tentara dan polisi, nama jalan yang sedikit
sekali mengambil dari nama tokoh-tokoh Betawi, ornament gedung-gedung
pemerintahan dan swasta di Jakarta yang kering dari nuansa Betawi, hingga uang
RI yang tidak pernah menampilkan wajah Muhammad Husni Thamrin, Ismail Marzuki, atau
hal-hal lain yang bernuansa Betawi.
Jurus kedua Bapak Bangsa ini
dalam menghadapi dan memperlakukan orang Betawi, ironisnya, sangatlah mirip.
Soeharto sendiri terlihat hanya satu
kali menghormati Betawi, yakni saat HUT ke-50 RI di tahun 1995—yang selama satu
bulan penuh dirayakan secara gegap-gempita di seluruh pelosok negeri. Itu pun
hanya sebatas untuk sebuah perayaan dalam rangkaian pesta besar-besaran yang
menghabiskan dana bermilyar-milyar rupiah. Saat itu di Lapangan Monas, ia memakai
busana khas keseharian lelaki Betawi yang berupa peci hitam, baju koko, sarung
diselempangkan di pundak, celana batik, dan sandal. Pada hari itu Betawi memang
dialem dan diempok-empok kagak ketulungan
di tingkat nasional. Entah apa alasannya. Sebab biasanya seni-budaya Jawa
atau Bali-lah yang ditonjolkan.
Namun di sisi lain…
KAPITEN ARAB, KAPITEN TIONGHOA, DAN “KAPITEN BETAWI”
Langkah Soekarno dan Soeharto dalam memperlakukan orang Betawi mengingatkan
kita pada langkah pemerintah Hindia Belanda. Pada masa itu, untuk mengurangi
bebannya dalam mengatur tiga suku bangsa Timur Asing—Arab, Tionghoa, serta Moor
dan Bengali—yang menjadi penduduk
Batavia, pemerintah Hindia Belanda mengangkat seorang
mayor atau kapiten dari masing-masing mereka sebagai kepala warga. Maka muncullah nama-nama
seperti Sjech Said bin Salim Naum
(1844-1864) hingga Sjech Hassan bin Saleh
Argoebi (1931-1942) sebagai Kapiten Arab; Lie Tiauw Ko (1817-1823) hingga Khouw
Kim An (1910-1942) sebagai Kapiten Tionghoa; dan Hamied Lebe Ibnoo Boseen Candoo (1817-1825) hingga Pakirian Kattan (1912-1916) sebagai
Kapiten Moor dan Bengali.
Kedudukan mereka berada di bawah Bestuur voor Vreemde Oosterlingen
(pengaturan administrasi untuk orang Timur Asing) dan bertanggungjawab kepada Residen Batavia. Sedangkan komandan
distrik dan wijkmeester (oleh lidah
Betawi menjadi Bek, hingga mencuatkan istilah Tuan Bek) bertanggungjawab kepada asisten residen. Kedudukan-kedudukan ini dalam struktur administrasi
orang pribumi disebut Inlandsch Beestur.
Ironisnya, seperti juga ditulis Mona Lohanda dalam bukunya, sampai awal abad ke-20,
Batavia tidak memiliki patih atau bupati sebagai kedudukan tertinggi dalam
Indlandsch Beestuur untuk wilayah administrasi
Batavia. Posisi patih baru ada pada Mei 1908, dan bupati baru pada Maret 1924. Ini
pun tidak pernah dijabat orang Betawi.
Menurut catatan, para walikota,
bupati dan patih di Batavia sejak 1925 hingga 1942 (tahun kedatangan Jepang), selalu
dijabat oleh orang Belanda, Sunda, dan Jawa. Sedangkan Indlandsch Koomandant (Komandan Pribumi) hanya ada pada suku-suku
lain hingga terdapat nama-nama yang menjadi Kapiten Melayu, Kapiten Ooster-Javanent,
Kapiten Wester-Javanent, Kapiten Sumbawa dan Mandhar, Kapiten Ambon dan Bugis, Kapiten
Bugis dan Makassar, serta Kapiten Bali. Tidak ada yang namanya Kapiten Betawi!
Lantaran orang Betawi belon ada, atau memang keberadaannya kagak dianggep?
Mungkin hanya Thamrin Mohammad Thabrie—ayahanda
Mohammad Hoesni Thamrin—yang patut diingat sebagai orang Betawi yang
termasuk dalam golongan orang
pangkat-pangkat (istilah lama untuk orang yang memiliki jabatan di
pemerintahan). Ia adalah wedana pertama di distrik Batavia (diangkat pada 1 Mei
1908, dan berakhir Pebruari 1911). Pada masa itu di Batavia ada enam Wedana
Distrik, yakni: Wedana Distrik Batavia, Wedana
Distrik Weltevreden (kini Jakarta Pusat), Wedana Distrik Tangerang, Wedana Distrik Meester Cornelis (kini
Jatinegara), Wedana Distrik Kebayuran, dan Wedana Distrik Bekasi. Jabatan ini ada
sejak 1908, dan berakhir ketika Jepang datang.
Dan sejarah telah
mencatatnya.
PONDOK INDAH DI PONDOK PINANG
Beberapa kali saya pernah ditanya orang non-Betawi (atau Betawi) mengenai
kampung asal sehubungan predikat saya sebagai sastrawan Betawi: “Betawi mana?”
Ketika saya memberi jawaban “Betawi Pondok Pinang”, mereka bertanya kembali,
“Cipinang ‘kali?” atau ”Pondok Pinang di mana, ya?”. Sering saya tersenyum terlebih
dahulu sebelum benar-benar menjawab. Senyuman saya ini lantaran: Pertama,
apakah mungkin saya tidak bisa membedakan nama kampung sendiri dengan kampung
orang lain, lantaran di telinga saja Cipinang jelas terdengar berbeda dengan
Pondok Pinang? Kedua, Pondok Pinang
itu sudah lama ada alias bukan hasil bentukan kemarin sore.
Ketika saya jelaskan bahwa Pondok
Indah berada di Pondok Pinang lantaran sebagian Pondok Pinang dicaplok untuk menjadi
perumahan Pondok Indah, barulah mereka mengangguk-angguk tanda mengerti: “O,
begitu.” Sesungguhnya ada perasaan sedih dan kecil hati saya atas kejadian-kejadian
seperti itu. Sebab sebuah kampung besar tempat saya dan keluarga besar saya
lahir, besar, hidup, dan mungkin dimakamkan, ternyata kalah terkenal namanya
oleh sebuah nama perumahan yang dibangun di atas airmata orang Betawi.
Saya juga sedih dan kecil hati jika ada orang
yang menganggap bahwa Pondok Indah itu semata nama daerah dan bukanlah nama
perumahan. Namun biasanya saya akan kembali tersenyum, dan senyum saya itu semakin
lebar, atas pengetahuan orang semacam ini, yang bagi saya sangat mengenaskan.
Hal menggenaskan lain (atau
menggelikan) yang saya temui adalah setiap kali melihat papan nama sebuah pasar
di Pondok Pinang dekat Kali Baru, yang oleh pemerintah dengan naifnya diberi
nama Pasar Pondok Indah (mungkin
lantaran dianggap berada dekat dengan Perumahan Pondok Indah), atau melihat papan
nama sebuah lembaga pendidikan yang menggunakan—tepatnya mencatut—nama Pondok Indah sebagai alamat jalannya. Padahal
jelas-jelas bangunannya berada di Pondok Pinang, di sisi Jalan Ciputat Raya
yang tepat membelah kampung saya. Celakanya, pihak kelurahan yang sesungguhnya memiliki
kewenangan untuk membereskan hal-hal ini, ternyata diam saja dalam “keluguannya”.
(Persoalan menjual dan mencatut nama
memang tidak hanya terjadi pada nama seseorang yang dianggap bisa memberi
keuntungan, tetapi juga nama tempat. Ini mengingatkan saya pada nama Bintaro yang
dicatut untuk nama-nama perumahan yang berada jauh dari Perumahan Bintaro Jaya, hingga mengesankan tempat itu dekat atau
merupakan bagian dari Perumahan Bintaro Jaya yang dimaksud.)
Keberadaan nama Pondok Pinang
yang kalah terkenal oleh nama Pondok Indah, mengingatkan saya pada banyak cerita
kelam yang telah lama saya dengar dari seorang encing saya (suami dari adik perempuan ibu saya). Ia berasal dari
kampung yang kini menjadi Perumahan Pondok Indah. Menurut encing saya itu, awalnya penggusuran yang terjadi di sana dikatakan
oleh orang-orang pemerintahan kepada orang-orang kampung adalah untuk
pembangunan jalan.
Sama sekali tidak disebut-sebut untuk pembangunan kompleks perumahan. Orang-orang
Betawi di sana, terbuktikan lewat banyak fakta, digusur dengan sangat semena-mena
oleh kaki-tangan pemerintah, dalam hal ini tentara dan polisi, dengan ancaman
kata-kata, senjata api, dan juga tindakan kekerasan dan teror yang kelewat
batas. Selain itu, jawara-jawara Betawi yang ada juga turut membantu mengancam
orang-orang yang sesungguhnya sekampung dengan mereka. Persis centeng-centeng
pada masa tuan tanah di jaman Hindia Belanda. Cerita serupa juga sering saya
dengar dari orang-orang di Pondok Pinang sebelah timur yang merupakan tetangga
lama encing saya tersebut, atau
mereka yang tinggal di Pondok Pinang sebelah barat dekat Kali Pesanggrahan.
Menurut cerita almarhum engkong saya yang wafat tahun 1981 (dan dikuatkan oleh cerita nyai saya yang wafat tahun 2007),
jawara-jawara yang umumnya sebaya dengannya itu dan dikenalnya dengan baik,
kemudian menemui ajal dengan cara-cara yang sangat buruk. Engkong dan nyai saya
menyakini, itu sangat erat hubungannya dengan perbuatan mereka yang ketika
hidup menzalimi hak orang lain, dalam hal ini tanah. Maka dalam perkara tanah,
almarhum engkong dan nyai saya, seperti juga orang Betawi lain yang kebetulan
paham agama, sering mengingatkan: “Jangan
maen-maen ama urusan tanah. Balesannyah kontan.”
Engkong saya sendiri kebetulan tidak
terlibat sebagai “centeng” lantaran ia hanya penggemar burung perkutut dan
kutilang yang memiliki pekerjaan sebagai “tukang
ngebersihin kuburan” di pemakaman kampung kami dan tanahnya sangat luas
dengan hasil kebun yang beragam. Kedua orangtua saya, dalam banyak pembicaraan,
membahas hal serupa mengenai sepak terjang para jawara tadi dan ajal buruk yang
menimpa mereka.
MAKAN TANAH DAN PUSAKO TINGGI
Setelah sebab pertama dan sebab kedua yang merupakan sebab
ekstern, sebab ketiga atas hilangnya kampung-kampung orang Betawi secara
perlahan-lahan adalah kesediaan mereka sendiri untuk melepas tanahnya—sebab
intern. Bukan rahasia lagi bahwa orang Betawi begitu mudah menjual tanah
miliknya untuk keperluan sesaat, seperti biaya pernikahan anak atau dirinya, menikah
lagi, pergi haji, membeli motor, membeli barang-barang pengisi rumah peningkat
harga diri, atau bahkan untuk makan dan biaya hidup sehari-hari (saya mengistilahkannya
sebagai “makan tanah”), meski tanah itu merupakan warisan satu-satunya yang
ditinggalkan orangtua. Ini berbeda sekali dengan budaya matrilineal seperti
yang dikenal pada masyarakat Minangkabau dimana tanah dipegang oleh pihak
perempuan secara turun-temurun dan hampir tidak pernah diperjualbelikan
lantaran bisa menghilangkan jejak keturunan mereka. Tanah ini disebut sebagai pusako tinggi.
Seorang teman
kecil di Pondok Pinang, belasan tahun lalu pernah saya ingatkan untuk tidak menjual
rumah keluarga besarnya, lantaran nama jalan yang kami tempati diambil dari
nama buyutnya. Sebab saat itu terdengar kabar bahwa orangtua dan encang-encing-nya,
berniat menjual rumah itu untuk dibagi-bagikan sebagai warisan setelah wafatnya
sang engkong. Mereka berniat pindah ke daerah lain di Ciputat yang harga tanahnya
masih lebih murah. Saya berpendapat, rumah itu sangat besar maka bisa ditempati
banyak orang. Mereka yang sudah berkeluarga, mungkin sebaiknya mengontrak di
tempat lain sehingga privasi pun bisa terjaga.
Saya mengingatkan
betul hal ini lantaran pertimbangan jangan sampai orang tidak tahu dimana
keberadaan anak-cucu-cicit dari sang empunya nama jalan dan jejak keturunan
mereka pun hilang. Waktu itu saya mengistilahkan, ibarat singkong yang
tercerabut seluruhnya maka tidak akan ada lagi bekasnya. Mungkin orang asli
Pondok Pinang, atau endonan
(pendatang) yang sudah puluhan tahun tinggal di sana, akan tahu siapa sang
buyut dan siapa saja keturunannya. Tapi orang yang baru beberapa bulan tinggal?
Tentu jangan diharapkan tahu.
Namun apa daya, sang
teman tidak mampu menahan keluarga besarnya untuk mengurungkan niat. Kini
mereka hidup berpencaran dengan mengontrak rumah. Tidak tersisa lagi satu orang
pun keturunan itu di sana. Hanya tersisa nama sang buyut sebagai nama jalan.
Begitulah…
ANJING-ANJING KOMPENI DAN SALAH SENDIRI
Saya tidak menyalahkan dan mempermasalahkan penggusuran yang
terjadi di kampung-kampung orang Betawi yang dilakukan pemerintah. Lantaran
sebagai ibukota negara atau bukan, Jakarta pasti akan berubah dan tidak mungkin
terus menjadi kampung sederhana dengan bangunan-bangunan yang juga sederhana
sehingga tertinggal dibanding kota-kota lain. Dan perubahan ini pasti terjadi pula
di daerah-daerah lain yang mengalami pembangunan. Saya hanya menyalahkan dan
mempermasalahkan bagaimana proses penggusuran itu, yang kerap diwarnai
intimidasi dan kekerasan fisik, dengan uang pengganti yang amat sangat seadanya.
Termasuk juga yang dilakukan oleh pihak swasta dalam hal ini konglomerat perumahan—yang
dibeking penuh “anjing-anjing kompeni”.
Pada kasus-kasus seperti ini kiranya
masuk akal dan termaklumi jika orang Betawi mengatakan “kampungnya ilang
diambil orang”. Namun pada kasus tanah-tanah yang dijual dengan cara sah atas kesediaan
sendiri lantaran kebutuhan ekonomi—seperti untuk biaya pernikahan, menikah
lagi, pergi haji, membeli barang-barang peningkat harga diri, atau bahkan untuk
makan dan biaya hidup sehari-hari—tentunya sangat keliru jika orang Betawi menyalahkan
orang lain lantas mengatakan “kampungnya ilang diambil orang”.
Pan emang kemaoannyah kendiri!
Akhirul kalam, di sisi lain saya hanya
mengernyitkan dahi melihat orang-orang yang membuat kekacauan di daerah-daerah lain nusantara
dan menuntut ini-itu dengan meminta pemakluman orang seluruh negeri bahwa hidupnya
lebih buruk dibanding orang lain khususnya di Jakarta, dan merasa dirinya lebih
menderita dan lebih ditindas oleh penguasa. Sebab bukan hanya mereka yang
ditindas, bukan hanya mereka yang menderita. Tidakkah mereka membaca,
salahsatunya saja, sejarah penindasan berupa penggusuran tempat tinggal dan penyampingan peranan yang dilakukan oleh
penguasa Orde Lama dan Orde Baru terhadap orang Betawi di tanahnya sendiri—layaknya
Indian di Amerika dan Aborigin di Australia?
Tabe!
Pondok
Pinang, 280211
Tahun berikutnya,
November 1963, di tempat yang sama Soekarno menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging
Forces) untuk menyaingi Olimpiade Dunia. Ajang ini ia adakan setelah Indonesia
menyatakan diri keluar dari International Olympiade Commite lantaran IOC
menganggap Indonesia membawa politik kedalam olahraga—dengan menolak Israel dan
Taiwan pada Asian Games IV. Penyelenggaraan Asian Games IV memang penuh nuansa
politik, lantaran saat itu hubungan Indonesia dengan negara-negara barat—yang
berpihak pada Malaysia sejak Indonesia berkonfrontasi dengan negara itu—sedang
memanas.
Pada awal dekade tahun 1990-an sempat
ramai terdengar kabar bahwa penghuni Perumahan Pondok Indah meminta kode pos
sendiri—yang berarti tidak lagi bergabung dengan Pondok Pinang
(12310). Lantaran saat itu mini-seri “Beverly Hills 90210” sedang digemari dan
para remaja di sana tiru-tiru gaya pergaulan dan pakaian para pemerannya,
seorang teman sempat berkata kepada saya, sebaiknya Pondok Indah diberi kode
pos 90210 supaya borjuis mudanya semakin serasa tinggal di Beverly Hills.
Dipinjam dari
istilah yang digunakan Pitung dan Dji’ih untuk oppas dan antek-antek kompeni
dalam film Si Pitung (PT Dewi Film, 1970, Warna, 131 Menit,
sutradara: Nawi Ismail, cerita: Lukman Karmani, skenario: SM Ardan). Pitung dan
Dji’ih diperankan aktor Dicky Zulkarnaen dan Sandy Suwardi Hassan. Kini
keduanya telah tiada.