Rabu, 15 Desember 2010

KABAR BUKU: “Si Murai dan Orang Gila” (Kepustakaan Populer Gramedia & Dewan Kesenian Jakarta, Desember 2010)

MENUTUP tahun 2010, pada 15 Desember lalu selama 12 jam  lebih, dari pagi hingga malam, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Dewan Kesenian Jakarta dalam hal ini Komite Sastra DKJ yang diketuai Ahmadun Yosi Herfanda, menggelar hajatan “Panggung Sastra Komunitas” dengan tema “Komunitas sebagai Basis Pertumbuhan Sastra”.
             Dalam acara ini selain dilangsungkan diskusi, bazaar buku, dan pembacaan karya, diluncurkan pula dua buah buku terbitan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) yang bekerja sama dengan DKJ, masing-masing: “Si Murai dan Orang Gila” (bunga rampai cerpen) dan “Empat Amanat Hujan” (bunga rampai puisi), yang pengumpulan bahan-bahannya dilakukan melalui sebuah sayembara dengan seleksi yang dilakukan Eka Kurniawan selaku kurator pada cerpen, dan Zeffry Alkatiri selaku kurator pada puisi. Acara dibuka Firman Ichsan selaku Ketua DKJ, dihadiri kalangan birokrasi, akademisi, wartawan, pengamat sastra, dan tentunya para sastrawan itu sendiri. Acara berlangsung meriah, elegan dan sukses.
             Beragam tema, baik yang terpampang dalam bentuk cerpen maupun puisi, digarap dengan menarik oleh para penulis yang sudah memiliki nama di tingkat nasional bahkan internasional. Masing-masing tampil dengan kekhasan mereka, atau setidaknya diyakini sebagai kekhasan oleh diri mereka sendiri. Untuk cerpen misalnya, tampil “Lelaki Tua yang Lekat di Dinding” (Ahmad Sekhu), “Seorang Penari yang Membutakan Matanya Sendiri” (Andina Dwifatma), “Nasib Sang Algojo” (Anton Septian), “Tembok Bolong” (Aris Kurniawan), “Lenong, I Love You” (Aulya Elyasa), “Sepengal Kisah di Antara  Prolog dan Epilog” (Bamby Cahyadi), “Badak Merah di Hari Lebaran” (Chairil Gibran Ramadhan), “Malam Memorabilia” (Clara Ng), “Ambai-Ambai” (Damhuri Muhammad), “Purnama Bulan” (Happy Salma), “Sebuah Surau Masa Kecilku” (Harna Silwati), “Sigumoang” (Hotma J. Lumban Gaol), “Pak Pos” (Hujan Tarigan), “Matahari” (Imam Muhtarom), “Kepergian Sahabat” (Irfan Firnanda), “Pembawa Mayat” (Langgeng Prima Anggradinata), ““Orang Gila” (Laora Arkeman), ”Senyum Vagina” (Mahdiduri), “Haji” (Neneng Nurjanah), “Nyoman Rindi” (Ni Komang Ariani), ”Gaco”  (Niduparas Erlang), “Si Murai” (Nona Devi), “Drama Tiga Babak” (Pringadi Abdi Surya), “Gadis Kecilku” (Rita Dewi), “Orang-Orang Jakarta” (Syarif Hidayatullah), “Lingerie Merah” (Wa Ode Wulan Ratna), “Perempuan yang Kukenal di Desa di Atas Perbukitan” (Windo Wibowo), “Cik Nur” (Windry Ramadhina), “Tentang Sepenggal Rahasia Cinta” (Yanto Le Honzo), dan “Rawa Bajayau” (Yohana Gabe Siahaan).
              Dari karya-karya di atas, “Si Murai” tercatat sebagai cerpen terpendek: Hanya dua halaman. Dan “Orang Gila”, yang dipuji habis-habisan Ibnu Wahyudi, (sastrawan dan juga dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (d/h Fakultas Sastra), terbilang merupakan cerpen yang paling mendalam penjiwaannya, layaknya cerpen itu ditulis oleh seorang gila. Atas kedua keunikan ini, tidaklah salah jika keduanya kemudian dijadikan sebagai cerpen utama. Kedua nama ini pun terbilang unik. Nona Devi atau Siti Deviyani misalnya, di halaman akhir buku sedikit sekali biodata yang bisa kita ketahui tentang dirinya. Sedangkan Laora Arkeman, yang pernah menjadi editor tamu pada antologi cerpen untuk pasar internasional “Menagerie 5” (The Lontar Foundation, 2003) dan termasuk pelit berkarya, termasuk comeback dengan sangat mengejutkan dalam dunia sastra nasional.
             Namun secara isi, “Si Murai dan Orang Gila”  bukanlah tanpa cacat. Seperti yang dikeluhkan salah seorang penanya pada saat diskusi peluncurannya, buku ini “kaya” akan kesalahan pada hal-hal teknis yang seharusnya merupakan tanggungjawab penuh penyunting. Belum lagi kesimpulan penyunting yang mengatakan bahwa “komunitas-komunitas ini berhasil melahirkan potensi-potensi terbaiknya”. Meski ajang “Panggung Sastra Komunitas” bertema “Komunitas sebagai Basis Pertumbuhan Sastra”, perlu diketahui betul bahwa tidak semua penulis di dalam buku ini terlibat sebagai pendiri, pengurus, atau hanya anggota dari sebuah komunitas sastra sekalipun. Ada penulis-penulis yang tidak pernah bersinggungan dengan komunitas sastra manapun alias lebih gemar berjuang sendiri(an) termasuk juga menyendiri di dunia sepi. Merekalah yang berhasil menembuskan karya-karyanya ke berbagai media nasional ataupun bahkan tampil dalam sebuah buku antologi tunggal ataupun gabungan, di tingkat nasional atau internasional, tanpa membawa embel-embel nama komunitas manapun dan semata lantaran menjadi “presiden, menteri, dan rakyat” suatu komunitas sastra. Atau dengan kata lain, karya para “penyendiri” ini ditampilkan semata hanya karena kekuatan karya. Bukan kedekatan personal dengan pengelola rubrik sastra, atau antara pihak penerbit dengan gemerlap nama komunitas sastra, atau yang diterbitkan sendiri oleh komunitas sastra sebagai penunjuk bahwa eksistensi bahwa komunitas mereka mampu menerbitkan buku dan penulis-penulis anggotanya mampu berkarya.
             Ataukah “komunitas” yang dimaksudkan penyunting di sini tidak hanya terbatas pada “komunitas sastra” tetapi juga “komunitas suku” atau “komunitas pemikiran”?
             Akhirul kalam, semoga kemunculan nama-nama di dalam buku “tutup tahun” DKJ ini dapat menjadi pem(a)icu mereka untuk terus berkarya dalam dunia kesusastraan nasional, memberi “rasa” dan “nuansa” pada negeri ini. Ini kemestian, demi menjaga “Si Murai dan Orang Gila” tidak sekedar menjadi penambah memorabilia dalam jejak langkah mereka. Karena sesungguhnya kesetiaan mereka atas kekayaan bathin yang dimiliki, dan kemudian merangkaikannya dalam kata-kata tulisan, turut memberi warna dalam kekayaan dunia budaya kita. Dan di sisi lain, jejak mereka dalam jalan setapak menuju puncak mestinya juga menjadi jalur aman yang dilalui “para pendaki” lain, meski jalur-jalur yang belum terbuka begitu memberi mereka peluang untuk terus melangkah sampai di tujuan.
            Tabe!

* Chairil Gibran Ramadhan, mantan wartawan, kini sastrawan, eseis, dan editor. Tulisan ini dapat disimak pula di facebook "chairil gibran ramadhan".

Kamis, 02 Desember 2010

KABAR BUKU: Ujung Laut Pulau Marwah (Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia III, Oktober 2010)

Cerpen-cerpen di dalam buku ini memiliki keragaman ekspresi yang sungguh jamak. Cerpen warna lokal di antaranya masih tampak dijadikan andalan lantaran memang memberi banyak kemungkinan, lihat saja cerpen bermuatan lokal Betawi, Melayu, Timor, Madura dan Minang di sini. Meski masih belum terlalu jauh dieksplorasi, namun sudah cukup menunjukkan bahwa lokalitas memberi kegairahan penciptaan yang tak kunjung padam. Jika setia digeluti, perangkat semacam ini niscaya akan menjadi pembeda dengan cerpen umumnya. Apa yang mereka lakukan mencerminkan masih ada ruang eksplorasi yang luas bagi penulis Indonesia yang diuntungkan oleh, antara lain, ragam budaya kita yang kaya.

BEGITULAH tulisan pada bagian atas sampul belakang buku “Ujung Laut Pulau Marwah” yang diambil dari Pengantar Kuratorial, “Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman”. Buku ini diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang dalam rangkaian sebuah hajatan budaya, “Temu Sastrawan Indonesia III” (TSI III) di Kota Gurindam Negeri Pantun itu, pada 28-31 Oktober lalu—setelah TSI I (Jambi, 2008) dan TSI II (Pangkalpinang, 2009).
            Acara yang digelar bertepatan dengan Oktober sebagai bulan bahasa itu dihadiri para sastrawan dari kota-kota besar dan kecil di seluruh Indonesia, yang diundang oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang, atas hasil rekomendasi tim kurator TSI III yang beranggotakan: Abdul Kadir Ibrahim (Tanjungpinang), Hoesnizar Hood (Tanjungpinang), Joni Ariadinata (Yogyakarta), Mezra E. Polllondou (Kupang), Raudal Tanjung Banua (Yogyakarta), Said Parman (Tanjungpinang), Saut Situmorang (Yogyakarta), Syafaruddin (Tanjungpinang), Tan Lioe Ie (Bali), Triyanto Triwikromo (Semarang), dan Zen Hae (Jakarta).
           Tampilnya Tanjungpinang sebagai tuan rumah bukan oleh sebab keberuntungan ataupun “sistem arisan”. Kota kecil nan indah ini dipilih lantaran sejak beratus tahun lalu mewariskan bahasa Melayu sebagai lingua franca (bahasa pengantar), yang dikenal kemudian hingga hari ini sebagai Bahasa Indonesia. Dari Tanjungpinang pula lahir tokoh bahasa dalam sastra klasik Melayu, Raja Ali Haji (1708-1783), yang karya monumentalnya, “Gurindam Dua Belas” (1847), lalu disusul “Bustan’l Katibin” (1857), dan “Kitab Pengetahuan Bahasa” (1859), telah mengantarkan ia sebagai Bapak Bahasa Indonesia dan oleh Pemerintah RI kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2004.
           Dan jauh sebelum TSI III digelar, tepatnya sejak akhir Juli 2010, Walikota Tanjungpinang, Hj. Suryatati A. Manan, dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Drs. Abdul Kadir Ibrahim, MT, telah mengirimkan kepada 150 orang sastrawan yang diundang, surat pemberitahuan berisi perihal sisik-melik TSI III disertai himbauan untuk mengirimkan karya puisi atau cerpennya lantaran akan dibukukan—setelah melalui proses seleksi tentunya. Dan hasilnya, ketika acara berlangsung, para peserta yang hadir sudah memegang buku berisi karya-karya itu. Karya mereka sendiri, atau karya rekan sastrawan yang lain.
           Adalah Joni Ariadinata, Raudal Tanjung Banua, Said Parman, dan Triyanto Triwikromo, yang menjadi kurator cerpen untuk “Ujung Laut Pulau Marwah”. Merekalah yang menetapkan 33 cerpen karya 33 orang penulis untuk dapat tampil di dalamnya. Karya-karya tersebut disusun di dalam buku berdasarkan abjad nama para penulisnya, yakni: “Tuan Guru Sulaiman” (Adi Alimin Arwan, Mamuju, Sulawesi Barat), “Kemarau pun Singgah di Kampung Kami” (Agustinus Wahyono, Balikpapan, Kalimantan Timur), “Di Ujung Simpul Rafia” (Andri Medianyah, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Kabut Kembahang” (Arman AZ, Bandarlampung, Lampung), “Seperti Natnitnole” (Benny Arnas, Lubuklinggau, Sumatera Selatan), “Babad Mejayan” (Beni Setia, Caruban, Madiun, Jawa Timur), “Djali-Djali Bintang Kedjora” (Chairil Gibran Ramadhan, DKI Jakarta), “Kembalinya Anakku yang Hilang” (Endang Purnama Sari, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Anggorok dan Anggodot” (Fahrudin Nasrulloh, Jombang, Jawa Timur), “Semburat Petang di Lagoi” (Fakhrunnas MA Jabbar, Pekanbaru, Riau), “Koleksi 932013: Fina Sato” (Fina Sato, Bandung, Jawa Barat), “Kisah si Pemotong Rumput [Seniman Plat Baja]” (Gol A. Gong, Serang, Banten), “15 Hari Bulan” (Hasan Al Bana, Medan, Sumatera Utara), “Perempuan Petelur” (Igoy el Fitra, Padang, Sumatera Barat), “Setelah Rumah” (Indrian Koto, Yogyakarta, DI Yogyakarta), “Hamsat Mencuri Jambu Klutuk” (Idris Pasaribu, Medan, Sumatra Utara), “Lelaki dengan Kopiah Resam” (Koko P. Bhairawa, Pangkalpinang, Bangka-Belitung), “Senandung Perih Dendang Saluang” (M. Raudah Jambak, Medan, Sumatera Utara), “Ujung Laut Perahu Kalianget” (Mahwi Air Tawar, Yogyakarta, DI Yogyakarta), “Bai Liang”  (Marsel Robot, Kupang, NTT), “Sandal Jepit Yong Dolah” (Maswito, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Pacar Elektrik” (Miral Shamsara Ratuloli, Kupang, NTT), “Melawan Rumput” (Mustofa W. Hasyim, Yogyakarta, DI Yogyakarta), “Lingkaran Luka” (Panda MT Siallagan, Pematang Siantar, Sumatera Utara), “Tanam Pinang Tumbuh Gading” (Pion Ratulolly, Kupang, NTT), “Kucing Tua” (Ragdi F. Daye, Padang, Sumatera Barat), “Bentan” (Riawani Elyta, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Musim Ikan” (Sunlie Thomas Alexander, Belinyu, Bangka-Belitung), “Aroma Bangkai di Depan Rumah Mantan Penghulu” (Tarmizi rumahhitam, Batam, Kepulauan Riau), “Kecapi Terakhir di Malam Minggu” (Thompson Hs, Pematang Siantar, Sumatera Utara), “Tetangga Baru” (Unizara, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Malina Dalam Bus Tua” (Yetti A.KA, Padang, Sumatera Barat), dan “Air Mata Lelaki Tua di Barak Pengungsi” (Yoss Gerard Lema, Kupang, NTT).
           Dari daftar di atas dapat terlihat bahwa daerah kedatangan masing-masing penulis tidaklah sama jumlahnya: Sulawesi Barat (1), Kalimantan Timur (1), Kepulauan Riau (6), Lampung (1), Sumatera Selatan (1), Jawa Timur (2), DKI Jakarta (1), Riau (1), Jawa Barat (1), Banten (1), Sumatera Barat (3), DI Yogyakarta (3), Sumatera Utara (5), Bangka-Belitung (2), dan NTT (4).
           Lepas dari itu, “Ujung Laut Pulau Marwah” terbilang menarik lantaran memuat begitu banyak cerpen bernuansa lokal yang membawa nilai-nilai budaya etnik dari masing-masing sastrawan. Wajah keragaman Nusantara pun tercermin di dalam buku setebal 362 halaman ini. Maka buku ini sedikit-banyak berhasil menyodorkan fakta tentang sisi lain dunia kesusastraan Indonesia masa kini yang ternyata tak selalu dimenangi oleh cerpen-cerpen bernuansa nasional yang tidak kentara setting tempatnya.
           Namun sangat disesalkan terjadinya ketidaktelitian dalam hal penggarapan isi, hingga terjadi kesalahan penulisan nama yang sangat fatal pada dua orang sastrawan. “Chairil Gibran Ramadhan” misalnya, pada daftar isi dan halaman dalam ditulis “Chairil Gilang Ramadhan” (penulisan secara benar, “Chairil Gibran Ramadhan”, hanya terjadi pada “kesempatan terakhir”, yang terdapat dalam bagian biodata). Sedangkan “Yoss Gerard Lema” yang pada daftar isi dan halaman dalam ditulis sama, ternyata pada bagian biodata ditulis “Yos Gamalama”. Mungkinkah saat pengerjaannya nama kedua sastrawan ini mengingatkan penggarapnya pada drummer Gilang Ramadhan dan komedian Dorce Gamalama? Lantas dengan cara apa dan bagaimana orang-orang yang terlibat sebagai panitia dalam TSI III melakukan ralat atas hal ini?
            Pada bagian bawah sampul belakang buku “Ujung Laut Pulau Marwah” terdapat kalimat yang diambil dari Pengantar  Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Drs. Abdul Kadir Ibrahim, MT selaku Ketua Pelaksana TSI III: Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III/2010 yang dilangsungkan di Kota Tanjungpinang, dapat dipandang sebagai upaya menyigi kembali kejayaan sastra Melayu yang pada era Kerajaan Riau pernah meninggi dan memucuk. Raja Ali Haji adalah salah seorang tokoh, yang berbabit, dengan masa itu, dengan sejumlah karya pemuncak; ilham bagi masa kini. (Catatan CGR: menyigi adalah sisipan atau celah, berbabit adalah ikut serta/terlibat secara langsung atau tidak langsung)
           Jika tidak ada aral-melintang, “Temu Sastrawan Indonesia IV” akan digelar 2011 di Ternate. Sampai jumpa!
Tabe!

(Catatan: Tulisan ini dapat disimak pula di facebook "chairil gibran ramadhan") 


Chairil Gibran Ramadhan, lahir dan besar di Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Mantan wartawan, kini sastrawan, eseis, dan editor. Cerpennya tampil di berbagai media nasional serta antologi bersama untuk pasar internasional terbitan The Lontar Foundation: “Menagerie 5” (ed. Laora Arkeman, 2003) dan “I Am Woman” (ed. John H. McGlynn, 2011). Antologi tunggal pertamanya “Sebelas Colen di Malam Lebaran” (Masup Jakarta, Oktober 2008), berisi 17 cerpen sastra bernuansa Betawi. Sebuah cerpen di dalamnya, “Stambul Panjak”, kemudian oleh BLK Jakarta Selatan dipentaskan sebagai topeng betawi di Yogyakarta (Juli 2010). Akhir 2010 terbit 3 bukunya dalam antologi bersama: “Ujung Laut Pulau Marwah” (Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia III, Tj. Pinang, Oktober 2010)—dengan kesalahan penulisan nama pada daftar isi dan halaman dalam (kecuali pada biodata); “Kahlil Gibran di Indonesia” (ed. Eka Budianta, RUAS, November 2010); serta akan menyusul buku terbitan DKJ dari ajang “Panggung Sastra Komunitas” di TIM Jakarta (15 Desember 2010).  

Rabu, 03 November 2010

Teroka: Optimisme dalam Prosa Betawi, Kompas, Sabtu, 18 Juli 2009 (Oleh Damhuri Muhammad)

Khazanah Betawi yang terhidang dalam prosa tidak lepas dari peran kepengarangan SM Ardan (1932- 2006) sebagaimana terlihat dalam bukunya Terang Bulan Terang di Kali (1955, cetak ulang oleh Masup Jakarta, 2007). HB Jassin mencatat, karya-karya Ardan sangat membantu ahli ilmu bahasa, ilmu bangsa-bangsa dan kemasyarakatan dalam penelitian tentang Jakarta.Dialek lahir, tumbuh, dan mati. Adat dan kebiasaan muncul, berubah, dan hilang. Begitu pula permainan anak-anak Betawi yang lahir, tumbuh, sirna. Amat besar jasa Ardan dalam mendokumentasikannya.Menurut Ajip Rosidi (2007), istilah ”cerita” pada antologi cerita pendek SM Ardan itu kurang tepat karena (kecuali satu-dua cerpen) tidak ada ceritanya sama sekali. Periksalah ”Pulang Pesta”, ”Pulang Siang”, atau ”Bang Senan Mau ke Mekah”, tak menjalin cerita sehingga yang terasa hanya ”suasana”.Gambang Jakarte karya Firman MuntacoKalaupun ada cerpennya yang mengandung ”cerita”, bagi Ajip, cerita itu tidak seru, menyehari, gampang dijumpai dalam keseharian orang-orang kecil Jakarta masa itu. Tapi, justru di sinilah keistimewaan Ardan. Boejoeng Saleh (1955), dikutip JJ Rizal (2007), mencatat, ibarat seorang kameramen, Ardan punya lensa tajam. Ia tak hanya memotret realitas eksotik-romantik, tapi juga realistik; kenyataan yang sepahit-pahitnya.

Betawi masa kiniApabila pengalaman baca terhadap karya-karya Aman Dt Majoindo (1896-1969), M Balfas (1921-1975), Firman Muntaco, hingga SM Ardan menimbulkan kesan: ”Ternyata orang Betawi seperti itu ya”, prosa-prosa berlatar Betawi garapan para pengarang masa kini mendedahkan sebentuk keheranan: ”Ternyata orang Betawi udah nggak kayak gitu ya…”.

Tengoklah Rumah Kawin (2004) dalam antologi cerpen Zen Hae, Sebelas Colen di Malam Lebaran (2008) karya Chairil Gibran Ramadhan, Rosid dan Delia (2008) novel karya Ben Sohib, dan yang paling mutakhir, Kronik Betawi (2009) karya Ratih Kumala. Resistensi masyarakat Betawi terhadap modernisasi Jakarta yang semakin mengaburkan identitas dan kejatidirian mereka ditampakkan karya-karya pengarang muda itu.Zen Hae dalam ”Kelewang Batu”, misalnya, melakukan demitologisasi kisah usang tentang para pemburu mestika api milik naga raksasa. Maka, pertarungan hebat tak terhindarkan, hingga naga itu tumbang. Selepas pertarungan itu, danau kering, tanah tempat matinya naga itu menjadi sebuah kampung yang kelak disebut Kampung Naga.Bekas-bekas jejak naga menjelma sungai yang kelak dikenal ”Kali Bangkai”. Penduduk setempat menyebutnya Kali Bangke, dan keturunan berikutnya melafalkannya Kali Angke. Begitu salah satu versi riwayat Kali Angke yang kini telah dilupakan.Para pendatang hanya tahu ”Menteng” sebagai kawasan gedongan, hunian orang-orang tajir dan berada , padahal ”menteng” sejatinya adalah nama buah. Begitu pula ”bintaro” yang sesungguhnya adalah nama pohon. Seiring dengan semakin menterengnya wajah Jakarta, tak hanya khazanah tanaman itu yang terlupakan, tetapi sejarah, kearifan, dan memori kolektif tentang Jakarta juga tenggelam dalam ingar-bingar panggung kosmopolitanisme.Suasana nostalgik—sekaligus ironik—semacam ini tergambar dalam novel Kronik Betawi (2009), karya Ratih Kumala, yang memperlihatkan wajah Jakarta sebagai ironi.Kronik Betawi mengisahkan sebuah keluarga Betawi, pewaris usaha peternakan sapi perah. Setelah berkali-kali mengelak dari bujuk goda dan iming-iming untuk jangan melepas tanahnya di daerah Kuningan, Jaelani—kepala keluaga itu—akhirnya takluk juga, menyusul sejawat dan kerabat yang telah lebih dahulu angkat kaki.Keluarga Jaelani pindah ke Ciganjur, sementara sapi-sapi perah itu diboyongnya ke Pondok Rangon. Meski telah tersingkir, Jaelani tidak tertarik membangun rumah-rumah kontrakan seperti sejawat-sejawatnya yang ujuk-ujuk telah menjadi juragan. Tapi, bertahan dengan etos kemandirian orang Betawi ternyata tidak gampang. Japri dan Juned, dua anak laki-lakinya, lebih tergiur menjadi tukang ojek ketimbang mengurus sapi sehingga usahanya itu nyaris bangkrut. Optimisme BetawiSetiap tokoh dalam Kronik Betawi memikul beban persoalan orang Betawi masa kini. Jika Jaelani harus menerima kenyataan tentang anak-anak yang tidak punya etos mandiri, Jarkasi (adik Jaelani) berhadapan dengan betapa sulitnya mempertahankan kesenian tradisional Betawi pada kurun R & B dan Jazz ini. Ia mendedikasikan hidupnya demi kelestarian gambang keromong, semacam orkes, perpaduan antara gamelan, musik Barat, dan corak kesenian China.Jarkasi jatuh bangun sebagai seniman Betawi. Baginya, tanah kelahiran bolehlah lenyap ditelan gemuruh perubahan Jakarta, tetapi Betawi masih punya lenong dan gambang keromong, yang sedapat-dapat harus tetap hidup. Seni satu-satunya milik mereka yang belum terbeli. Optimisme dalam menyongsong masa depan Betawi yang gemilang tampak kentara pada kerja keras Salomah guna melanjutkan pendidikan anaknya (Fauzan) hingga jenjang universitas, bahkan mendapat beasiswa ke Amerika Serikat.Bagian ujung Kronik Betawi menampilkan Salomah-Jaelani sebagai manusia Betawi yang terobsesi hendak mencetak kaum intelek agar orang Betawi tidak sekadar menjadi juragan kontrakan, calo tanah, atau tukang ojek. Sebagaimana dibuktikan oleh sejarah terkini, Jaelani ingin kaumnya menjadi orang-orang yang diperhitungkan, disegani, dan bukan kuli di kampung sendiri.

* Penulis adalah cerpenis, editor, buku terbarunya "Juru Masak" (2009)
Tulisan ini juga dimuat dalam "Darah-Daging Sastra Indonesia" (Jalasutra, Maret 2010)--kumpulan esei Damhuri Muhammad.

Selasa, 02 November 2010

Anak Betawi Sebagai Sastrawan Oleh JJ Rizal (KORAN TEMPO, Rubrik Cerita Sampul-Ruang Baca, Selasa,1 Juli 2008)

1
Betul juga Zefry Alkatiri, yang bilang dalam sajaknya, "Anda Memasuki Wilayah...", bahwa masuk wilayah Jakarta itu ada saja syaratnya. Disebutnya rupa-rupa tempat di Jakarta yang mesti dimasuki dengan rupa-rupa syarat. Kalau tidak, bakal ketiban pulung. Tetapi, dalam sajak itu Zefry tak menyebutkan kalau Jakarta pun menuntut syarat kepada teman-teman atau pendahulunya sesama sastrawan ketika mau masuk.

Jakarta, yang dianggap sastrawan seantero Tanah Air sebagai ikon modernitas, mensyaratkan mereka sebelum masuk untuk mencopot tradisi dan masa lalu yang dibawa dari kampung halaman. Tengoklah pengakuan Goenawan Mohamad. Ketika masuk Jakarta di tahun 1960, sebagai seorang penyair "kemarin sore" dengan segerobak ambisi sastra, ia mengaku mesti menggosok-gosokkan punggungnya hingga beberapa sisa masa lalu yang melekat seperti daki itu kikis, makin pudar.

Asrul Sani menghardik orang kampungnya supaya meninggalkan ia sendiri di Jakarta dan jangan menganggunya lagi. Sedasawarsa sebelum Asrul menulis Surat Kepercayaan Gelanggang (1946) yang kritis (kalau tidak bisa disebut apriori) dengan masa lalu, kampung halaman dan tradisi, eksponen Polemik Kebudayaan, Takdir Alisjahbana dan Achdiat Karta Mihardja, mengajukan tesis yang serupa. Demi terbentuknya "manusia baru" dan seni yang betul-betul baru serta terinspirasi dari Barat, bersikap kritislah terhadap tradisi. Tesis yang laris manis.

Apakah bagi Zefry dagangan laris manis dari zaman ke zaman itu tak ada artinya? Atau dirasa tak perlu menyebutkannya, lantaran sebagai anak Betawi ia tak pernah merasakan ketegangan dengan masa lalu, tradisi, dan juga kampungnya? Lebih jauh lagi, apakah sikap mental Zefry itu merupakan sikap mental kolektif mayoritas anak Betawi yang mengambil jalan sastra: kukuh pada tradisi dan setia pada akar kebetawiannya?

2
Tanpa mempedulikan kecenderungan perkembangan puisi Indonesia mutakhir, Zefry merintis jalan sastranya sendiri dalam peta sastra Indonesia dengan memanfaatkan sumber-sumber sejarah lisan maupun tulisan. Namun, jika diperhatikan sajak-sajak dalam kumpulan Dari Batavia Sampai Jakarta (2001), ia sesungguhnya telah mengambil peran persis tukang cerite yang hidup dalam tradisi Betawi.

Sajak-sajaknya naratif. Bahkan menjurus epik. Dalam epik tukang cerite berisi petualangan jin dalam pelbagai kaliber. Sedangkan dalam sajak Zefry dapat dinikmati petualangan sejumlah petinggi Kompeni, seperti J.P. Coen, Valckenier, dan Reineir, saksi tikus yang berpesta saban hari di graanpakhuizen Kompeni. Termasuk petualangan dari zaman pasca-Belanda minggat, seperti Mat Item benggolan tukang santron, cokek Teluk Naga, Habib kampung Arab, dukun Betawi dan Bang Ali pembangun Jakarta.

Pada keseluruhan karya Zefry terpantul hubungan antara penyair dengan lingkungan sosial-budayanya. Karyanya adalah perhatian dan penghayatan si penyair akan kehidupan budaya Batavia-Betawi-Jakarta yang plural. Masa lalu bagi Zefry bukan beban, tetapi alat untuk memahami identitas dan artinya menjadi selaras zaman. Tengok sajaknya "Lorong Waktu". Meski bergaya polos, tapi judulnya tidak kekanak-kanakan. Pilihan judul "Lorong Waktu" mengisyaratkan sebuah rumus filsafat tentang waktu. Lorong waktu adalah refleksi di mana siapa pun bisa ke masa lalu dan ke masa depan dengan sejarah. Membaca sajak ini--seperti juga sajak-sajaknya yang lain--bisa dirasakan refleksi tentang waktu, tentang kefanaan dalam konteks Jakarta sebagai kemasyarakatan dalam berabad-abad.
Dengan masa lalu itu pula mata batinnya Zefry terus dalam kepekaan dan nalurinya terasah mencerap kemanusiaan yang membawanya kepada keharuan. Sehingga sejarah yang ada dalam sajak-sajaknya bukanlah sejarah dengan S besar. Sejarah yang ditunjukkannya itu adalah sejarah perikemanusiaan di atas tragedi pertentangan penjajahan dan orang-orang yang dijajah, di atas pembunuhan yang dilakukan Valcnier terhadap orang-orang Cina, bukan sekadar derita eks-PKI yang dianggap lepra keparat, atau serangan membabi buta tentara terhadap mahasiswa di Semanggi tahun 1998. Segala muatan tragedi itu diperlihatkan Zefry, bahkan yang kecil sekalipun, seperti dalam sajaknya, "Buah Jambu dari Pasar Minggu".

Zefry pun melahirkan sejenis sajak yang dalam bangsa mana pun di dunia sampai abad ke-21 masih hidup dan dikenal sebagai sajak yang berorientasi terhadap folklor. Beberapa contohnya sajak "Legenda Mat Item", "Keroncong Tugu", "Habib", "Jampi Dukun Bayi Betawi", "Pantun Mainan Anak Blande, Indo, dan Pribumi Betawi".

3
Pada generasi sastrawan Betawi yang lebih muda dari Zefry keterikatan dengan akar tradisi, masa lalu dan lingkungan budayanya pun terlihat kuat. Cerpenis Zen Hae dalam Rumah Kawin(2004) memperlihatkan betapa asyik ia mengawinkan pengalaman masa lalu, lengkap dengan tradisi-budayanya sebagai orang Betawi pinggir. Dari sana ia--saya pinjam ungkapan Nirwan Dewanto--menjelma menjadi narator.

Ya, lewat caranya sendiri Zen Hae pun--seperti disebut dalam cerpennya, "Kelewang Batu"--telah mengaitkan diri pada tradisi sahibul hikayat alias si ampunya cerita atau tukang cerite. Dan, sebagai yang ampunya cerita Zen Hae berjasa besar memperlihatkan dunia batiniah Betawi pinggir, yang dalam sejarah, juga sastra, masih sedikit sekali mendapat perhatian (kalau tidak bisa disebut belum pernah).

Dalam cerpen "Rumah Kawin" tergambar kehidupan cokek (penyanyi gambang) dan perkaitannya dengan dunia jago yang menjadi bagian dari tradisi khas masyarakat Cina Benteng Tanggerang. Bisa tahu pula tradisi nyambut (berlaga) lengkap dengan gaya dan corak maen pukulan (silat) Betawi yang hidup di antara para jago dari kulon (barat) Jakarta yang dilukiskan dalam "Hikayat Petarung Kampung". Termasuk ihwal kesurupan dalam "Rumah Jagal" dan "Kelewang Batu" soal peninggalan prasejarah Jakarta yang hidup dan dikenali penduduk Betawi secara khas serta dihidupkan dalam mitos-mitos.

Segenerasi dengan Zen Hae adalah Chairil Gibran Ramadhan. Anak Betawi Pondok Pinang, Jakarta Selatan, ini pun membawa set Betawi dalam cerpen-cerpennya yang sejak 1997 tersebar di surat kabar nasional.

Seperti halnya Zefry dan Zen Hae, ia pun mengolah mitos dan folklor serta menangkap "pengalaman otentik" masyarakat Betawi-Jakarta menjadi kisah kesaksian, namun dengan nada kegelisahan yang kuat akan keburukan-keburukan nasibnya di tengah metropolis Jakarta. Wabil khusus cerpennya ihwal perkaitan tradisi Betawi dengan Islam, yang sering disebut sebagai napas hidup orang Betawi, tentu akan menjadi dokumen sosial menarik, seperti "Tarawih", "Malam Lebaran", "Dzikir".

4
Zefry, Zen Hae dan Gibran adalah kabar menggembirakan jika membicarakan masa depan dan percaturan anak Betawi sebagai sastrawan. Generasi baru yang telah mengambil estafet dengan caranya sendiri-sendiri dari sastrawan Betawi terdahulu, seperti S.M. Ardan dan Firman Muntaco, namun dengan sikap dasar dan tempat berangkat yang sama, yaitu masa lalu, tradisi, dan kampung halaman sendiri.

Dan, seumpama ujian kepengarangan adalah kritik dan waktu, maka ketiganya telah mendapat tempat dan pandangan positif dari masyarakat luas, juga kritikus sastra. Hal yang menarik adalah, dengan orientasi penciptaan yang mengakar pada akar kebetawiannya, mereka tidak mengalami nasib seperti sastrawan Yogyakarta yang setia pada akar kejawaannya. Mereka tak dikucilkan, dipandang sinis dan tak bernilai oleh barisan kritikus sastra nasional, sebagaimana yang dilukiskan menjadi pengalaman pahit, mengecewakan, bahkan bikin dendam sastrawan Yogyakarta oleh Farida Soemargono dalam Groupe de Yogya les voies javanaises d'une literature Indonesienne (1979).

Pada akhir 1954 dan awal 1955, cerpen-cerpen bertema dan berdialek Betawi-Jakarta S.M. Ardan ketika dimuat di majalah Kisah, yang sudah dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari usaha penyebarluasan sastra Indonesia modern, memang menuai kritik keras yang terus berlanjut menjadi polemik. Namun, H.B. Jassin selaku redaksi Kisah membelanya, sebab karya Ardan akan memperkaya kesusastraan Indonesia. Sastra Indonesia mencakup juga karya yang tertulis dalam dialek Jakarta, karena itu Kisah tetap memuat cerita-cerita Ardan. Sebab itu pula mungkin Jassin enteng saja menyebut nama Ardan, juga Firman Muntaco dengan Gambang Jakarte-nya yang pol Betawinya itu, dalam pembahasannya mengenai sastra Indonesia.

Ada banyak kemungkinan sebab penerimaan ramah dan apresiasi di aras nasional terhadap sastrawan Betawi. Mungkin karena mereka ada di "pusat"; mungkin juga lantaran kritikus lebih dekat dan mengenal tradisi budaya Betawi-Jakarta, sebab di kota itulah mereka mukim; mungkin juga sebab bahasa Melayu dialek Jakarta itu sudah menjadi bahasa ngoko-nya orang Indonesia dalam perkembangan bahasa Indonesia yang mengalami kromoisasi.
Yang jelas, dalam karya-karya anak Betawi sebagai sastrawan sejak S.M. Ardan, Firman Muntaco, hingga ke Zefry, Zen Hae serta Gibran, pembaca dan kritikus bukan saja disajikan sastra sebagai belles letters. Lebih jauh lagi sesuatu yang disebut Denys Lombard dalam Histoires courtes d'Indonesie sebagai karya-karya yang dianggap sumber yang bisa mengantarkan kepada sejarah sosial masyarakat Indonesia di suatu periode dalam keanekaan budaya dan masyarakatnya, khususnya Betawi-Jakarta. Sebab mereka memiliki "cara merasakan semesta Betawi-Jakarta". Tradisi Betawi-Jakarta, dalam hal ini, rupanya "telah jadi" dalam nilai yang seterusnya terpadu dalam batin mereka.

Akhirnya, dalam karya-karya mereka, siapa pun dapat menemukan sebuah jaringan dari referensi-referensi secara puitis, budaya dan antropologi yang nyata dan mempunyai pengaruh yang menentukan sebagai simbol semua cinta mereka dan perih mereka atas kejahatan dan keburukan kota Jakarta yang sedang dimodernisasi (kalau tidak bisa disebut diwesternisasi). Dan, ini bukan saja memungkin mereka dapat menangkap dengan tepat gambaran khas masyarakat asli dan kaum urban Jakarta, tetapi juga mampu membuat karya mereka disemangati pengamatan rasa kemanusiaan yang inklusif, merangkul dan memiliki kesadaran kemanusiaan yang satu.

* Penulis adalah peneliti sejarah dan sastra Komunitas Bambu

Peta Kecenderungan Cerpen Indonesia Terkini Oleh Ahmadun Yosi Herfanda (REPUBLIKA, Rubrik Wacana, Ahad, 28 Mei 2006)

Menarik sekali untuk mengamati secara lebih jauh beberapa kecenderungan tematik cerpen-cerpen Indonesia terkini. Pada cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu, misalnya, tampak menonjol tema-tema seksual dengan semangat pemberontakan terhadap moralitas tradisional dan batasan-batasan ketabuan.

Cerpen-cerpen Djenar umumnya berada dalam mainstream yang sama dengan novel-novel Ayu Utami. Mereka mengusung feminisme untuk 'membongkar' norma-norma sosial yang dianggap kaku, dan dengan enteng mereka berbicara tentang 'wilayah-wilayah lokal' -- sejak payudara hingga kelamin.

Mainstream lain yang juga kuat adalah fenomena cerpen-cerpen Islami, yang mengangkat tema-tema moralitas dan ajaran agama (Islam), seperti tampak pada cerpen-cerpen Helvy Tiana Rosa, Abidah el Khalieqy, Asma Nadia, Gola Gong, Pipiet Senja, Irwan Kelana, dan hampir semua cerpen karya anggota FLP yang jumlahnya mencapai 5000 lebih.

Kemunculan mainstream fiksi Islami seperti sengaja mengimbangi kecenderungan fiksi seksual yang dirambah oleh Ayu Utami dkk. Namun, tidak seperti fiksi-fiksi seksual yang banyak diperbincangkan para kritisi sastra, fiksi-fiksi Islami tidak begitu banyak diperbincangkan di ranah kritik sastra. Meskipun begitu, terutama karena daya tarik pasarnya, kecenderungan fiksi Islami memiliki lebih banyak pengikut, termasuk mereka yang semula bukan penulis fiksi Islami.

Di antara kedua mainstrean di atas, tidak kurang jumlahnya cerpen-cerpen yang tetap bermain di ranah humanisme universal, yang mengangkat masalah-masalah sosial, cinta, keluarga, dan memperjuangkan keadilan serta harkat dan martabat kemanusiaan. Misalnya, cerpen-cerpen Kuntowijoyo, Danarto, Putu Wijaya, Ratna Indraswari Ibrahim, Seno Gumira Ajidarma, Yanusa Nugroho, Kurnia Effendi, Shoim Anwar, Isbedy Stiawan ZS, dan Maroeli Simbolon -- untuk menyebut beberapa saja. Mereka tampak kukuh dengan pilihan tematik-estetiknya sendiri, tanpa terpengaruh untuk masuk ke fenomena cerpen seksual maupun Islami.
Kecendrungan lain yang juga menarik untuk diamati adalah cerpen-cerpen bernuansa lokal dengan nilai-nilai budaya etniknya, seperti karya-karya Oka Rusmini (Bali), Taufik Ikram Jamil (Melayu-Riau), Chairil Gibran Ramadhan (Betawi), Korrie Layun Rampan (Dayak), Kuntowijoyo (Jawa) dan Danarto (Islam kejawen) -- juga untuk menyebut beberapa saja.

Belakangan, kecenderungan cerpen bernuansa lokal bahkan telah mendorong munculnya semacam 'kesadaran untuk kembali ke kekayaan budaya sendiri' dan makin banyak mendapatkan pengikut, seperti terlihat dalam Kongres Cerpen Indonesia (KCI) 2005 di Pekanbaru. Sebagian besar cerpen pemenang dan nomine Sayembara Penulisan Cerpen CWI 2005 juga bernuansa lokal. (Lihat, La Runduma, kumpulan cerpen Kreativitas Pemuda, Creative Writing Institute dan Kementerian Pemuda dan Olahraga, Jakarta, 2005).

Dalam semangat 'kembali ke budaya Timur' itu, pada dasawarsa 1970-an dan awal 1980-an, Danarto sempat memunculkan fenomena cerpen sufistik, atau tepatnya Islam kejawen yang cenderung panteistik. Cerpen-cerpen berkecenderungan demikian dapat ditemukan pada karya-karya Danarto yang terkumpul dalam Godlob (1976) dan Adam Makrifat (1982). Karya-karya Danarto itu, bersama karya-karya dan pemikiran Abdul Hadi WM, sempat mendorong berkembangnya mainstream sastra sufistik dalam kesastraan Indonesia, yang berhasil menghimpun banyak 'pengikut' dari kalangan penulis muda, terutama para penyair.

Dari aspek estetik, cerpen-cerpen Indonesia mutakhir menunjukkan kecenderungan gaya (style) penuturan yang cukup beragam. Antara lain, gaya realis, romantis, puitis, simbolik, surealistik, dan masokis. Namun, tidak gampang untuk memasukkan seseorang ke dalam satu gaya estetik tertentu secara tegas, karena para cerpenis kebanyakan menulis cerpen dalam berbagai gaya. Seno Gumira Ajidarma, misalnya, banyak menulis cerpen realis, tapi juga menulis beberapa cerpen romantis dan simbolik. Putu Wijaya juga dikenal sebagai cerpenis bergaya absurd, tapi belakangan juga banyak menulis cerpen realis. Begitu juga Danarto. Cerpen-cerpen pada masa awal kepengarangannya sangat simbolik. Namun, belakangan juga banyak menulis cerpen realis.

Cerpen bergaya realis (realisme) adalah cerpen yang menyodorkan realitas yang ada dalam masyarakat sebagai kebenaran yang faktual. Misalnya, cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma dalam Saksi Mata (1994) dan Penembak Misterius (1993), serta cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu dalam Mereka Bilang Aku Monyet (2003) dan Jangan Main-main dengan Kelaminmu (2004). Contoh lain adalah cerpen-cerpen Putu Wijaya dalam kumpulan cerpen Tidak (1999), dan Kuntowijoyo dalam Hampir Sebuah Subversi (1999).

Cerpen bergaya romantis adalah cerpen yang sangat mengutamakan perasaan, dengan pencitraan-pencitraan tokoh yang serba cantik dan sempurna, serta obyek dan latar yang serba indah, dengan impian-impian hidup yang serba ideal. Misalnya cerpen-cerpen Irwan Kelana dalam Kelopak Mawar Terakhir (2004), cerpen-cerpen Asma Nadia dan cerpen-cerpen remaja (teenlit) pada umumnya.

Cerpen bergaya puitis adalah cerpen yang mengutamakan narasi-narasi yang puitis dalam melukiskan latar (setting) dan pengadegannya. Dari awal sampai akhir kadang-kadang mirip puisi panjang atau prosa liris. Gaya cerpen puitis sempat menjadi kecenderungan sesaat dalam sastra Indoensia pada awal 2000-an, misalnya cerpen-cerpen Maroeli Simbolon, Azhari, dan Kurnia Effendi dalam kumpulan cerpen Menari di Bawah Bulan (2004). Cerpen-cerpen para pemenang dan nomine Sayembara Penulisan Cerpen CWI 2003 dan 2004 sebagian besar juga bergaya puitis.

Cerpen bergaya simbolik adalah cerpen yang mengungkapkan gagasan, kebenaran atau menafsirkan realitas dengan simbol-simbol. Sebagai contoh adalah cerpen-cerpen saya dalam Sebelum Tertawa Dilarang (1997) dan Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (2004). Cerpen-cerpen sufistik Danarto dalam Godlob (1976) dan Adam Makrifat (1982) umumnya juga dikemas dalam gaya simbolik. Dalan novel, yang masuk gaya ini adalah Cala Ibi (2003) karya Nukila Amal.

Cerpen bergaya surealistik adalah cerpen yang mencampuradukkan antara realitas dan irrasionalitas, antara kenyataan dan impian. Misalnya, cerpen-cerpen teror psikologisnya Putu Wijaya yang mengungkap alam bawah sadar manusia (stream of conciousness). Dalam tingkatan yang ekstrem, realitas yang diungkap menjadi jungkir balik sehingga terkesan absurd. Cerpen-cerpen Putu yang bergaya demikian terkumpul dalam Bom (1978).

Gaya lain yang belakangan sempat muncul adalah cerpen masokis, yakni cerpen yang memanfaatkan narasi-narasi kekerasan seksual, baik sebagai simbol absurditas kehidupan maupun sebagai potret realitas sosial yang bobrok akibat hancurnya tatanan moral. Misalnya, cerpen-cerpen Hudan Hidayat dalam Keluarga Gila (2003). Dalam novel, gaya masokis ada pada Ode untuk Leopol von Sacher-Masoch (2002) karya Dinar Rahayu.

Membaca fiksi (cerita rekaan) tentang kehidupan, siapapun penulisnya, selalu menarik. Sebab, manusia pada dasarnya suka 'bercermin' untuk lebih mengenali dirinya sendiri dan lingkungannya. Dan, fiksi -- cerita pendek (cerpen) maupun novel -- seperti pernah dikatakan Umar Kayam, pada dasarnya adalah refleksi (cermin) kehidupan pengarang dan lingkungannya.

Sejak zaman nenek-moyang dulu sampai sekarang, manusia suka mendengar dan membaca dongeng. Dalam tradisi lisan, dulu, dongeng hidup dan diwariskan dari mulut ke mulut sampai berabad-abad. Dunia rekaan yang disajikan dongeng pada umumnya adalah 'mimpi-mimpi indah' tentang kebahagiaan, yang mampu melambungkan perasaan dan imaji penikmatnya dari realitas keseharian yang pahit. Ke dalam 'mimpi-mimpi indah' itu manusia bertamasya secara imajinatif untuk sesaat melupakan realitas hidup sehari-hari yang getir.

Bagi masyarakat terpelajar yang memiliki budaya baca tinggi, fiksi, cerpen maupun novel, menggantikan kebutuhan mereka akan dongeng. Cerpen maupun novel, menurut Korrie Layun Rampan, sesungguhnya memang merupakaan metamorfosis dongeng. Maka wajar, kalau yang laris di pasar buku adalah fiksi-fiksi romantis yang cenderung 'mendongeng' (menjual mimpi) semacam novel pop, novel remaja, chicklit dan teenlit, serta kumpulan cerpen remaja.

Chicklit dan teenlit, yang sekarang marak di Amerika, Australia, dan merebak di Indonesia, sebenarnya adalah dongeng-dongen kontemporer yang berhasil memadukan dua kebutuhan di atas: kebutuhan masyarakat akan cermin diri sekaligus kebutuhan masyarakat akan 'dunia mimpi'. Sedangkan cerpen-cerpen yang serius dapat memenuhi kebutuhan untuk 'rekreasi emosional dan intelektual' sekaligus 'refleksi diri' pembacanya.

Karena itu, tradisi penulisan cerpen, apapun gaya dan temanya, akan terus hidup untuk memenuhi kebutuhan pembacanya akan dongeng, refleksi diri, sekaligus rekreasi emosional dan intelektual mereka.
Tulisan ini merupakan makalah untuk seminar sastra Perhimpunan Penulis Tionghoa Indonesia (Yin Hua Zuo Xie), di Jakarta, 11 Maret 2006.

* Penulis adalah sastrawan dan wartawan Republika.

Jumat, 01 Oktober 2010

KABAR BUKU: SUKARNO DAN MODERNISME ISLAM

“Sukarno dan Modernisme Islam” (Komunitas Bambu, Oktober 2010, editor: Chairil Gibran Ramadhan, pengantar: Goenawan Mohammad; penutup: Giat Wahyudi)


SUKARNO, ISLAM, DAN LAINNYA

1
PENCITRAAN terhadap Sukarno yang selama ini turut dibangun lewat cerita dari mulut ke mulut, kiranya salah besar. Selama puluhan tahun sejak masa kejayaannya, kejatuhan, terlebih setelah kematiannya, tokoh yang dianggap “manusia setengah dewa” ini seringkali disandingkan dengan dunia irasional semacam klenik dan hal-hal yang berbau mistik—sesuatu yang justru sangat dibenci Sukarno. Bahkan atribut-atribut yang dikenakannya, tidak luput dari cerita-cerita “mengagumkan” itu: Peci hitam yang menjadi ciri khasnya, konon dapat memberi kewibawaan sangat besar pada orang yang memakainya; Kacamata hitamnya, dikisahkan tembus pandang dan mampu melihat bahkan di balik tembok sekalipun (ini kerap dihubungkan dengan kebiasaan Sukarno memperistri perempuan cantik); Tongkat komando-nya dikatakan mampu menjadikan orang yang menyimpan dan memegangnya sebagai pemimpin negeri ini. Cerita-cerita ini masih tumbuh subur dalam pembicaraan sehari-hari, terutama di kalangan yang menyukai dunia mistik, klenik, dan bisnis barang antik. Tersebar pula cerita-cerita khayali tentang Sukarno yang dikatakan belum mati, maka masih sering terlihat di Tugus Monas atau Istana Bogor; Sukarno lahir lewat perut ibunya yang disayat (semacam operasi caesar masa kini, namun ghaib); Sukarno yang mengalihbentuk menjadi orang lain.

Sementara di kalangan yang lebih rasional dan kalangan media, pencitraan terhadap Sukarno lebih beragam dan cerdas. Mulai dari seorang politikus ulung, orator ulung, nasionalis, hingga negarawan—meski ia juga seorang arsitek, seniman, dan pecinta karya seni. Di akhir hayatnya ia juga sempat disebut sebagai komunis oleh rezim yang menjatuhkannya. Sisi religius Sukarno sendiri jarang diangkat media atau orang-orang saat membicarakannya, baik sisi pemikiran maupun keseharian. Ternyata Sukarno seorang muslim dengan tauhid sangat mengagumkan dan memiliki pandangan-pandangan sangat modern terhadap Islam. Hal-hal inilah yang ditulis M. Ridwan Lubis dalam buku “Sukarno dan Modernisme Islam” (ed: Chairil Gibran Ramadhan, Komunitas Bambu, Oktober 2010). Buku ini sebelumnya terbit dengan judul “Pemikiran Sukarno tentang Islam (CV. Haji Masagung, 1992).

Penerbitan kembali buku ini masih relevan mengingat pemikiran-pemikiran Sukarno tetap menjadi salah satu acuan dalam kehidupan bernegara di Indonesia, dan “menjadi baru” karena kita memang kekurangan sumber mengenai ke-beragama-an Sukarno. Di dalamnya dijelaskan berbagai konsep pemikiran Sukarno tentang Islam. Salah satunya mengupas kalimat Islam is progress, yang ditulisnya di majalah Pandji Islam, April 1940.

“Pendapat Sukarno bahwa Islam adalah kemajuan mempunyai makna tersendiri dalam pemikiran keislamananya. Ia memegang prinsip bahwa kemajuan peradaban umat manusia bukan saja sesuai dengan Islam, tetapi lebih jauh lagi yaitu Islam itu sendiri berarti kemajuan. Karena itu kemajuan identik dengan Islam dan kemajuan tidak mungkin bertentangan dengan Islam. Pendapat yang agak bernada apologis ini sesungguhnya dapat dipahami apabila diingat betapa seriusnya kritikan yang ditujukan kepada Islam yang menyamakan Islam dengan kebodohan, kemunduran dan sebagainya. Hal ini berarti Islam itu mengandung potensi kebodohan dan kemunduran. Kritikan inilah yang juga berkembang di Indonesia dan itulah yang ingin dijawab Sukarno. Oleh karena yang dihadapinya adalah kelompok intelektual hasil didikan pola Barat, maka tidak mengherankan kalau cara yang dipakainya sangat menekankan peranan pemahaman akal pikiran. Pola berpikir yang seperti ini pulalah yang menyebabkan para pengritiknya meragukan ketulusan sikap Sukarno terhadap islam.”

Cara berpikir Sukarno tentang Islam ini dipengaruhi oleh dua tokoh pembaruan di Mesir: Muhammad Abduh dan Farid Wajdi. Menurut Abduh, peradaban yang sejati sesuai dengan Islam, sementara menurut Wajdi, Islam yang sejati sesuai dengan peradaban. Dalam hal ini tampaknya Sukarno cenderung pada orientasi pemikiran Wajdi yang sering dikutipnya, bahwa Islam hanya dapat berkembang bila umatnya memperhatikan tiga hal: Kemerdekaan roh, kemerdekaan akal, dan kemerdekaan pengetahuan. Selain Abduh dan Wajdi di sisi Islam, Sukarno juga dipengaruhi Mustafa Kemal (Turki) dan Gamal Abdul Nasser (Mesir) di sisi nasionalis.


2
MESKI seorang muslim sejati, namun Sukarno menganggap Islam tidak perlu dijadikan sebagai dasar negara. Ia semata menekankan bahwa yang harus ditangkap dari Islam adalah esensi-nya (ruh Islam), untuk dijadikan sebagai dasar negara. Inilah yang membuat ia menyetujui langkah Mustafa Kemal yang meruntuhkan kekhalifahan Dinasti Usmani (1923) dan membentuk sebuah negara nasionalis Turki.

Tindakan Kemal yang melepaskan agama dari negara menurut Sukarno harus dipandang sebagai itikad baik, yaitu memerdekakan Islam dari ikatan agama, agar Islam bukan hanya agama yang memutar tasbih di masjid saja, tetapi menjadikan Islam sebagai gerakan yang membawa ke arah perjuangan. Untuk mencapai tujuan itu, maka hal yang harus dilakukan adalah merombak cara berpikir umat Islam yang sejak lama telah diikat oleh berbagai pandangan tradisional. Melepaskan agama dari negara adalah wujud kemerdekaan negara dari anggapan-anggapan agama yang jumud (kebekuan berpikir), yakni memerdekakan negara dari hukum-hukum tradisi dan paham-paham islam yang kolot—yang sebenarnya bertentangan dengan Islam.

Sukarno meyakini, dalam Al Qur'an tidak ada ayat yang mengharuskan menyatukan agama dengan negara. Bahkan kata negara sendiri menurutnya tidak ditemukan. Kata daulah yang ada diartikannya bukan sebagai negara tapi kedaulatan. Ini didasarkan pada buku Al-Islam wa Ushul Al-Hukm karya Ali Abd Al-Raziq. Dalam analisanya, Sukarno menyebut bahwa kesultanan-khalifah (caesaro-papisme) di dalam Dinasti Turki Usmani bukan berasal dari Islam namun perpaduan tiga peradaban: Grieks-Byzantijn, Arab (Islam), dan Iran.

Hal menarik dari buku ini salah satunya karena menyajikan kutipan-kutipan asli pemikiran Sukarno dari surat-surat, pidato-pidato, dan tulisan-tulisannya. Namun sisi lain, oleh M. Ridwan Lubis, Sukarno tidak dibiarkan melenggang sendirian dengan pendapat-pendapatnya yang terdengar “nyeleneh” itu. Simak pendapat para ulama yang hidup sezaman dengannya: Sirajuddin Abbas, Kiai Machfoedz Shiddiq, A. Moechlis (nama samara M. Natsir), Tengkoe Mhd. Hasbi, MS. Adil (nama samaran Ahmad Hasan), Agus Salim, hingga Ahmad Syafi'i Maarif pada masa sesudahnya—yang disajikan sebagai penyeimbang. Jikapun ada kelemahan, hanyalah memiliki gaya penulisan yang agak berbeda dengan dekade kini. Namun hal ini tetap dipertahankan oleh editor dengan pertimbangan supaya pembaca mengetahui gaya bertutur masa ketika buku ini pertama diterbitkan—selain untuk mempertahankan gaya khas sang penulis, yang salah satunya sering menggunakan kata “ sungguhpun”.

Akhirul kalam, menurut Sukarno, Islam adalah pedoman tertinggi yang pernah dimiliki oleh umat manusia untuk membawa mereka menelusuri perjalanan hidup di dunia sampai akhirat. Islam juga bersifat dinamis untuk terus berkembang menyesuaikan diri dengan perkembangan modern. Bagi Sukarno, sangat tidak tepat mempertentangkan Islam dengan perkembangan peradaban modern khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Keduanya saling membutuhkan. Jadi, menurut Sukarno, Islam is progress. (Chairil Gibran Ramadhan, sastrawan dan mantan wartawan)



CATATAN:
"Selama enam bulan sebelum buku ini terbit, kami berupaya mencari penulis atau keluarganya guna mendapatkan izin. Kami hubungi berbagai pihak dimana penulis pernah meninggalkan jejak, seperti Universitas Sumatra Utara (USU), Departemen Agama, UIN Syarif Hidayatullah dan Yayasan Bung Karno (YBK). Dari YBK malahan telah membantu menggunakan jaringannya yang luas. Sejumlah info didapat, tetapi semua berakhir nihil sampai akhirnya tanpa bermaksud tidak hormat, buku ini diputuskan untuk dicetak. Kami mohon maaf dan berharap apabila ada yang mengetahui keberadaan dan alamat kontak penulis atau keluarganya, kami dapat diinformasikan. Besar harapan kami, penulis sendiri atau sanak keluarga yang membaca dapat menghubungi alamat kami."

KOMUNITAS BAMBU:
Jl. Pala No. 4B, Beji Timur, Depok
Telp: 021-7720-6987
email: komunitasbambu@yahoo.com
website: www.komunitasbambu.com



Minggu, 19 September 2010

RESENSI NOVEL PERANG (SEMI-SEJARAH)

NOVEL: Iini Bukan Perangku, PENULIS: Dainar Wahid, EDITOR: Laora Arkeman, PENERBIT: Bacalah!

Memegang buku ini, kita seolah memegang buku yang dicetak dari masa lalu, atau serasa berada di masa lalu itu sendiri. “Kulit” ini tentu dihasilkan bukan tanpa pertimbangan. Pihak penerbit tahu benar bagaimana harus mengemasnya. Dengan cerita yang mengambil setting masa lalu, kiranya hanya dengan tampilan “kuno” seperti inilah “Ini Bukan Perangku” pantas disajikan. Perhatikan tata letak keseluruhan pada sampul depan, halaman dalam, dan sampul belakang. Juga foto yang ditampilkan.

Novel ini mengambil setting antara tahun 1955 hingga 1960, melalui kacamata seorang perempuan bernama Dainar Wahid (kelahiran Indrapura, Sumatra Barat, 1934). Dari masa revolusi fisik yang diwarnai pemberontakan PRRI Permesta, hingga masa ketika komunisme mulai kuat bercokol di negeri ini. Menurut Chairil Gibran Ramadhan, novel ini sejajar dengan “Pertempuran Penghabisan”-nya Ernest Hemingway.

Semua diceritakan lancar dengan gaya bertutur “orang dulu”. Jika penulis masa sekarang susah-payah melakukan riset untuk mendapatkan gaya ini—termasuk riset mengenai detail-detail pendukungnya—maka Dainar Wahid murni menuliskannya berdasarkan pengetahuan yang dilaluinya. Dan ini, adalah salah satu unsur kekuatan novel ini. Namun pembaca dari masa sekarang, kiranya tak perlu khawatir terjebak dalam kebingungan memahami detail-detail masa lalu yang ada, karena catatan kaki yang diperlukan turut ditampilkan untuk memberi informasi yang cukup.

Buku ini pada halaman belakangnya dikomentari oleh empat orang yang begitu tahu dunia kata dan kalimat: Henry Ismono (Redaktur Sastra Tabloid Nova), Prof. Amir Hakim Usman (Ahli Bahasa Indonesia), Puti Balqis Alisjahbana (mantan wartawati dan sastrawati yang lama tinggal di Prancis), dan Chairil Gibran Ramadhan (Sastrawan). Selamat membaca!
* chairil gibran ramadhan, sastrawan betawi dan mantan wartawan. Tulisan ini sebelumnya tampil lewat facebook.

Minggu, 05 September 2010

REKOMENDASI SEMILOKA KEBUDAYAAN BETAWI 2010

REKOMENDASI
SEMILOKA KEBUDAYAAN BETAWI


Pengantar

Seminar dan Lokakarya (Semiloka) Kebudayaan Betawi berlangsung di Hotel Borobudur, Jakarta, 26—28 Juni 2010 dan diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.

Setelah mendengar dan memperhatikan:

Sambutan-sambutan yang disampaikan oleh:
1 Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Dr. Arie Budiman
2 Gubernur DKI Jakarta Dr. Ing. Fauzi Bowo

Makalah/paparan langsung yang disampaikan oleh:
1. Marco Kusumawijaya, “Ruang Khalayak dan Kebudayaan”.
2. Hendry M. Ali, pengalam kemiskinan di Jakarta (paparan langsung).
3. Fachry Ali, Keislaman Orang Betawi (paparan langsung).
4. Cecep Effendi, “Mencari Ruang dan Identitas Politik Warga Betawi di Antara Tumpang-tindih Peran Provinsi DKI Jakarta”.
5. Yulianti Parani, “Identitas Etnik Budaya Urban Jakarta”.

Pembahasan, tanggapan, dan tanya jawab dalam sidang-sidang:

1) . Pembahas dan Narasumber:
a. Tommy Christommy, Zeffry Alkatiri, Ade Darmawan dan Nirwono Yoga terhadap makalah Marco Kusumawijaya.
b. Paulus Wirotomo, Mona Lohanda, Lutfi Hakim, Suma Mihardja terhadap pengalaman langsung Hendry M. Ali.
c. K.H. Syaifuddin Amsir dan Hj. Tuti Alawiyah terhadap paparan Fachry Ali.
d. J.J. Rizal, Tamrin Amal Tomagola, Amarullah Asbah, dan Wanda Hamidah terhadap makalah Cecep Effendi.
e. Zen Hae, Yahya Andi Saputra, David Kwa, Jali Jalut, dan Ali Sabeni terhadap makalah Yulianti Parani.

2). Tanggapan-tanggapan dan tanya-jawab dari para peserta.


MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
Kesimpulan-kesimpulan Semiloka Kebudayaan Betawi 2010 sebagai berikut:

I
PENGANTAR
II
Semiloka ini bertujuan untuk membahas secara mendalam dan ilmiah perkembangan mutakhir masyarakat dan kebudayaan Betawi, terutama dalam hubungannya dengan perkembangan metropolitan Jakarta. Juga untuk melanjutkan tradisi pemikiran kritis tentang masyarakat dan kebudayaan Betawi yang pernah ada di masa-masa sebelumnya.
III
Kebudayaan Betawi adalah hasil pertemuan dan persilangan berbagai anasir kebudayaan suku-bangsa yang datang dan mendiami wilayah Jakarta dan sekitarnya yang diwariskan melalui proses sejarah.
Kebudayaan Betawi adalah keseluruhan sistem pengetahuan masyarakat Betawi yang maujud dalam berbagai bentuk, seperti bahasa, cerita rakyat, musik rakyat, kepercayaan, teater rakyat, tarian, adat-istiadat, perayaan dan ritual daur hidup, pencak silat, arsitektur, obat dan pengobatan, kuliner, busana, sistem kekerabatan, sistem kepemimpinan, permainan rakyat, dan lain-lain.


REKOMENDASI

POLITIK

1 Mendesak Pemerintah Pusat untuk segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah berkaitan dengan UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, khususnya pasal 26 ayat 6 tentang melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat Betawi.
2 Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk segera membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang budaya masyarakat Betawi untuk menjalankan amanat UU No. 29 Tahun 2007.
3Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk segera membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang muatan lokal budaya masyarakat Betawi merujuk UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional/Permendiknas No.19 Tahun 2007.
4 Mendesak Gubernur dan DPRD Pemprov DKI Jakarta agar mengalokasikan anggaran proporsional, adil, dan sesuai dengan kebutuhan, sekurang-kurangnya 20% untuk budaya masyarakat Betawi.
5 Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk segera membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang Festival Budaya Betawi dan Lebaran Betawi.

SOSIAL BUDAYA

1. Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan penguatan dan pemberdayaan yang lebih intensif terhadap Bamus Betawi, Lembaga Kebudayaan Betawi, dan organisasi masyarakat Betawi serta potensi masyarakat Betawi lainnya.
2. Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk membangun Pusat Kebudayaan Betawi dan Gedung Kesenian Betawi.
3. Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk menginventarisasikan Seni & Budaya Betawi serta mendaftarkan Hak Kekayaan Tradisional Indonesia ke DEPKUMHAM RI.
4. Pemberian jaminan sosial kepada seniman dan budayawan Betawi.
5Pemberian dana bantuan pembinaan terhadap sanggar-sanggar seni budaya Betawi.
6. Melestarikan lingkungan dan bangunan cagar budaya di Jakarta dengan melibatkan potensi masyarakat Betawi.
7. Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk melaksanakan Kongres Kebudayaan Betawi dan segera membentuk POKJA (kelompok kerja) yang bertugas menyiapkan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan Kongres Kebudayaan Betawi pada tahun 2011
8. Mengoptimalisasikan kinerja Balai Latihan Kesenian (BLK) di lima (5) wilayah Kota/ Kabupaten untuk kesenian Betawi.
9. Mendesak Dewan Kesenian Jakarta untuk mengoptimalisasikan pementasan seni-budaya Betawi di Taman Ismail Marzuki.
10. Mendorong Lembaga Kebudayaan Betawi untuk menjadi lembaga sertifikasi kesenian Betawi.


PENDIDIKAN

1. Mendesak Pemprov DKI Jakarta mengalokasikan beasiswa untuk pelajar dan mahasiswa Betawi
2. Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk membangun asrama mahasiswa Betawi yang ada di daerah (di luar Provinsi DKI Jakarta).
3. Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk memfasilitasi perguruan tinggi yang memiliki lembaga kajian/pusat studi budaya Betawi
4. Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk mendirikan Sekolah Menengah Kejuruan Seni dan Budaya Betawi.


AGAMA

1. Menempatkan potensi masyarakat Betawi yang berkompeten dan berkualitas di Jakarta Islamic Center (JIC).
2. Optimalisasi kebudayaan Betawi yang kental dengan kebudayaan Islam di Jakarta Islamic Center (JIC).
3. Melestarikan dan mengembangkan halqoh dan majelis taklim kaum Betawi.
4. Melakukan inventarisasi dan mensosialisasikan hasil karya ulama Betawi.


Jakarta, 30 Juni 2010

Tim Perumus

1. Chairil Gibran Ramadhan
2. JJ Rizal
3. Muhammad Ichwan Ridwan
4. Zeffry Alkatiri
5. Zen Hae


FOTO:
Semiloka Kebudayaan Betawi di Hotel Borobudur, Jakarta, 26-28 Juni 2010. Kika: Yahya Andi Saputra (UI), Zen Hae (DKJ), David Kwa (budayawan Tionghoa), CGR, Bpk. Rojali (seniman gambang kromong), Bpk. Ali Sabeni (seniman sambrah), Ibu Yulianti Parani Ph. D (IKJ). Foto: Latief Mahmud.

KABAR BETAWI: TEATER TOPENG BETAWI DI YOGYAKARTA

“Tarik ketupat lepas di atas piring, pukul gendang mainin topeng."


Pada 22-26 Juli 2010 ini, kelompok teater yang melakukan workshop “Sastra Pertunjukan" dengan membawakan Topeng Betawi di Balai Latihan Kesenian (BLK) Jakarta Selatan, akan memamerkan hasil latihannya di SMKI 1, Bantul, Yogyakarta. Turut serta dalam rombongan itu adalah Dindon WS (sutradara), Jaya Noin dan Atien Kisam (praktisi Topeng Betawi), dan tentunya Chairil Gibran Ramadhan (sastrawan dan budayawan Betawi), yang naskahnya diadaptasi untuk pertunjukan ini. Kegiatan ini awalnya digagas Yusuf Sugito selaku Kepala BLK Jakarta Selatan, yang kini sudah digantikan Dyah Damayanti.
Di tengah ketenggelamannya, pemilihan Topeng Betawi sebagai bahan workshop di kalangan generasi muda—yang naskahnya didasarkan pada karya sastra—patutlah mendapat pujian. Selain untuk pengembangan, workshop ini juga dimaksudkan untuk meregenerasi pemain topeng selagi nara sumbernya masih ada. Sebab dari segi jumlah, untuk Jakarta Selatan saja hanya ada dua grup Topeng Betawi yang masih aktif.


TOPENG DAN LENONG
Di ranah budaya nasional bahkan Betawi sendiri, Topeng Betawi memang telah lama berada jauh di bawah Lenong Betawi, hingga Lenong pun dikira sebagai satu-satunya seni teater dalam budaya Betawi. Lebih jauh lagi adalah: Blantek, Jinong, Jipeng, Tonil Samrah, Ubrug, Wayang Dermuluk, Wayang Senggol, Wayang Si Ronda, Wayang Sumedar, dan Wayang Wong. Padahal dalam perkembangannya, keduanya pernah berjalan beriringan.
Topeng tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Betawi dengan sub-dialek Betawi Pinggir (disebut juga Betawi Ora), dengan cerita yang dibawakan seputar masalah rumah tangga, serta musik pengiring (disebut Gamelan Topeng) dan irama lagu beraroma Sunda. Sedangkan Lenong tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Betawi dengan sub-dialek Betawi Tengah (disebut juga Betawi Kota), dengan cerita yang dibawakan seputar action, serta musik pengiring (disebut Gambang Kromong) dan irama lagu beraroma Cina.
Hingga pertengahan dekade 1980-an, keduanya masih sering dipanggil keluarga-keluarga kaya Betawi untuk memeriahkan pesta pernikahan dan khitanan, dengan panggung yang didirikan di pelataran rumah sang empunya hajat. Namun seiring berkembangnya layar tancap yang lebih mudah pelaksanaannya dan lebih murah biayanya, keduanya pun tak lagi ditanggap. Nama Lenong sendiri bertahan lantaran jasa komersil media elektronik, diantaranya lewat tontonan Lenong Rumpi (RCTI) dan Lenong Bocah (TPI) pada awal dekade 1990-an—yang entah dimana letak Lenong-nya. Jangan lupakan pula jasa Sumantri Sastrosuwondo dan Djaduk Djajakusuma yang sejak 1968 memperkenalkan Lenong kepada khalayak non-betawi lewat pementasan-pementasan di TIM dan mengadakan festival-festival Lenong.

PANJAK DAN THE JAK
Menarik dicermati bahwa sebagian besar peserta workshop bukanlah orang Betawi. Mereka berdarah Jawa, Sunda, dan Batak. Tercatat hanya beberapa orang saja yang berdarah Betawi. Maka aroma khas Betawi serta kelenturan mimik dan tubuh seorang panjak (pelaku seni pertunjukan dalam budaya Betawi, lelaki atau perempuan), belum terpancar dari mereka. Meski secara kemampuan berakting cukuplah lumayan, namun mereka tentu tak diharapkan menjadi pelawak-pelawak karbitan seperti yang kini muncul di layar TV kita dari gelap hingga gelap. Menjadi panjak topeng jelas berbeda dengan sekedar menjadi pelawak. Bokir, Nasir, Bodong, Nori, Malih, Nirin, Bolot, adalah panjak-panjak topeng alami yang lahir dari udara Betawi dan sukar dicari tandingannya. Dan jiga (kemampuan panjak menjiwai perannya) adalah sebuah keharusan.
Sesugguhnya ini pekerjaan berat bagi para pengajar dan terlebih para peserta workshop. Membuat orang tertawa dengan kelucuan-kelucuan spontan yang membawa kekhasan sebuah kultur jelas memerlukan intuisi tinggi. Kecuali jika seseorang sudah memiliki darah itu—yang didapatnya dari semesta keseharian. Untuk hal ini tentunya orang Betawi terah teruji kefasihannya. Sebab kesusahan saja bisa menjadi sebuah kejenakaan di tangan mereka.
Pendek kata para peserta non-Betawi harus berakting dua kali, dobel: Sebagai orang Betawi dengan segala spontanitas berpikir, bersikap dan berucapnya; dan sebagai tokoh yang diperaninya. Mungkinkah kebesaran grup Topeng Betawi Setia Warga yang pernah berjaya hingga pertengahan dekade 1980-an--dengan Haji Bokir sebagai maskotnya—dalam berapa persennya bisa muncul dari workshop ini? Wallahu a’lam bi shawab.
Lantas apa motivasi para peserta workshop, mengingat sebagian besar dari mereka bukan berdarah Betawi? Murni melestarikan budaya Betawi ‘kah? Apapun motivasinya—meluaskan pergaulan, mendapat pengalaman berjalan-jalan, kesempatan berakting pada media yang lebih kuat efek komunikasinya dan lebih besar jumlah penikmatnya—setidaknya kita cukup berbangga hati bahwa anak-anak muda non-Betawi dalam kisaran umur 18-22 tahun ini menaruh minat pada Topeng Betawi. Bandingkan dengan kebanyakan anak muda Betawi yang sehari-hari memilih hilir-mudik di atas motor, bermain gitar di mulut-mulut gang, memegang kail di pemancingan, atau berteriak dengan wig warna orange dan kaos berwarna senada bertuliskan “The Jak Mania”. Tentu kita berharap para peserta akan mengakrabi dan membawa Topeng Betawi dalam kejujuran nurani seninya, seperti Haji Bokir dan teman-temannya yang mengusung dengan hati dan dedikasi teramat tinggi budaya kampungnya.


STAMBUL KOMPROMI
Stambul Panjak adalah cerita yang diadaptasi menjadi bahan workshop di Jalan Asem Baris, Tebet ini. Seperti 16 cerpen lainnya dalam antologi “Sebelas Colen di Malam Lebaran” (Chairil Gibran Ramadhan, Masup Jakarta, 2008), SP pun tak mengandung unsur humor. SP sangat menyayat: Menceritakan kejatuhan sebuah grup Lenong milik seorang Cina-Betawi akibat gempuran layar tancap lebih 20 tahun silam di Bekasi. Namun dalam workshop ini SP kemudian dipindahkan menjadi Topeng Betawi, dengan sentuhan komedi yang kental dan cerita yang mengalami “penyesuaian”. Maka kesedihan dan kegundahan The Teng Hui sang pemilik Bintang Kedjora hanya tampak sekelebat. Meminjam istilah Arswendo Atmowiloto, SP telah mengalami kreapromitas alias kreativitas kompromi (Jurnal Kalam, edisi 9, 1997), melebihi jika seandainya naskah ini dipentaskan oleh Teater Koma.
Sebuah cerita, dalam segala detailnya, memang hanya bisa dinikmati secara utuh lewat teks aslinya. Karena ketika dipindahkan ke dalam bahasa gambar atau ke atas pentas, maka akan selalu berkompromi. Bahkan dengan fakta itu sendiri.***