Rabu, 15 Desember 2010

KABAR BUKU: “Si Murai dan Orang Gila” (Kepustakaan Populer Gramedia & Dewan Kesenian Jakarta, Desember 2010)

MENUTUP tahun 2010, pada 15 Desember lalu selama 12 jam  lebih, dari pagi hingga malam, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Dewan Kesenian Jakarta dalam hal ini Komite Sastra DKJ yang diketuai Ahmadun Yosi Herfanda, menggelar hajatan “Panggung Sastra Komunitas” dengan tema “Komunitas sebagai Basis Pertumbuhan Sastra”.
             Dalam acara ini selain dilangsungkan diskusi, bazaar buku, dan pembacaan karya, diluncurkan pula dua buah buku terbitan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) yang bekerja sama dengan DKJ, masing-masing: “Si Murai dan Orang Gila” (bunga rampai cerpen) dan “Empat Amanat Hujan” (bunga rampai puisi), yang pengumpulan bahan-bahannya dilakukan melalui sebuah sayembara dengan seleksi yang dilakukan Eka Kurniawan selaku kurator pada cerpen, dan Zeffry Alkatiri selaku kurator pada puisi. Acara dibuka Firman Ichsan selaku Ketua DKJ, dihadiri kalangan birokrasi, akademisi, wartawan, pengamat sastra, dan tentunya para sastrawan itu sendiri. Acara berlangsung meriah, elegan dan sukses.
             Beragam tema, baik yang terpampang dalam bentuk cerpen maupun puisi, digarap dengan menarik oleh para penulis yang sudah memiliki nama di tingkat nasional bahkan internasional. Masing-masing tampil dengan kekhasan mereka, atau setidaknya diyakini sebagai kekhasan oleh diri mereka sendiri. Untuk cerpen misalnya, tampil “Lelaki Tua yang Lekat di Dinding” (Ahmad Sekhu), “Seorang Penari yang Membutakan Matanya Sendiri” (Andina Dwifatma), “Nasib Sang Algojo” (Anton Septian), “Tembok Bolong” (Aris Kurniawan), “Lenong, I Love You” (Aulya Elyasa), “Sepengal Kisah di Antara  Prolog dan Epilog” (Bamby Cahyadi), “Badak Merah di Hari Lebaran” (Chairil Gibran Ramadhan), “Malam Memorabilia” (Clara Ng), “Ambai-Ambai” (Damhuri Muhammad), “Purnama Bulan” (Happy Salma), “Sebuah Surau Masa Kecilku” (Harna Silwati), “Sigumoang” (Hotma J. Lumban Gaol), “Pak Pos” (Hujan Tarigan), “Matahari” (Imam Muhtarom), “Kepergian Sahabat” (Irfan Firnanda), “Pembawa Mayat” (Langgeng Prima Anggradinata), ““Orang Gila” (Laora Arkeman), ”Senyum Vagina” (Mahdiduri), “Haji” (Neneng Nurjanah), “Nyoman Rindi” (Ni Komang Ariani), ”Gaco”  (Niduparas Erlang), “Si Murai” (Nona Devi), “Drama Tiga Babak” (Pringadi Abdi Surya), “Gadis Kecilku” (Rita Dewi), “Orang-Orang Jakarta” (Syarif Hidayatullah), “Lingerie Merah” (Wa Ode Wulan Ratna), “Perempuan yang Kukenal di Desa di Atas Perbukitan” (Windo Wibowo), “Cik Nur” (Windry Ramadhina), “Tentang Sepenggal Rahasia Cinta” (Yanto Le Honzo), dan “Rawa Bajayau” (Yohana Gabe Siahaan).
              Dari karya-karya di atas, “Si Murai” tercatat sebagai cerpen terpendek: Hanya dua halaman. Dan “Orang Gila”, yang dipuji habis-habisan Ibnu Wahyudi, (sastrawan dan juga dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (d/h Fakultas Sastra), terbilang merupakan cerpen yang paling mendalam penjiwaannya, layaknya cerpen itu ditulis oleh seorang gila. Atas kedua keunikan ini, tidaklah salah jika keduanya kemudian dijadikan sebagai cerpen utama. Kedua nama ini pun terbilang unik. Nona Devi atau Siti Deviyani misalnya, di halaman akhir buku sedikit sekali biodata yang bisa kita ketahui tentang dirinya. Sedangkan Laora Arkeman, yang pernah menjadi editor tamu pada antologi cerpen untuk pasar internasional “Menagerie 5” (The Lontar Foundation, 2003) dan termasuk pelit berkarya, termasuk comeback dengan sangat mengejutkan dalam dunia sastra nasional.
             Namun secara isi, “Si Murai dan Orang Gila”  bukanlah tanpa cacat. Seperti yang dikeluhkan salah seorang penanya pada saat diskusi peluncurannya, buku ini “kaya” akan kesalahan pada hal-hal teknis yang seharusnya merupakan tanggungjawab penuh penyunting. Belum lagi kesimpulan penyunting yang mengatakan bahwa “komunitas-komunitas ini berhasil melahirkan potensi-potensi terbaiknya”. Meski ajang “Panggung Sastra Komunitas” bertema “Komunitas sebagai Basis Pertumbuhan Sastra”, perlu diketahui betul bahwa tidak semua penulis di dalam buku ini terlibat sebagai pendiri, pengurus, atau hanya anggota dari sebuah komunitas sastra sekalipun. Ada penulis-penulis yang tidak pernah bersinggungan dengan komunitas sastra manapun alias lebih gemar berjuang sendiri(an) termasuk juga menyendiri di dunia sepi. Merekalah yang berhasil menembuskan karya-karyanya ke berbagai media nasional ataupun bahkan tampil dalam sebuah buku antologi tunggal ataupun gabungan, di tingkat nasional atau internasional, tanpa membawa embel-embel nama komunitas manapun dan semata lantaran menjadi “presiden, menteri, dan rakyat” suatu komunitas sastra. Atau dengan kata lain, karya para “penyendiri” ini ditampilkan semata hanya karena kekuatan karya. Bukan kedekatan personal dengan pengelola rubrik sastra, atau antara pihak penerbit dengan gemerlap nama komunitas sastra, atau yang diterbitkan sendiri oleh komunitas sastra sebagai penunjuk bahwa eksistensi bahwa komunitas mereka mampu menerbitkan buku dan penulis-penulis anggotanya mampu berkarya.
             Ataukah “komunitas” yang dimaksudkan penyunting di sini tidak hanya terbatas pada “komunitas sastra” tetapi juga “komunitas suku” atau “komunitas pemikiran”?
             Akhirul kalam, semoga kemunculan nama-nama di dalam buku “tutup tahun” DKJ ini dapat menjadi pem(a)icu mereka untuk terus berkarya dalam dunia kesusastraan nasional, memberi “rasa” dan “nuansa” pada negeri ini. Ini kemestian, demi menjaga “Si Murai dan Orang Gila” tidak sekedar menjadi penambah memorabilia dalam jejak langkah mereka. Karena sesungguhnya kesetiaan mereka atas kekayaan bathin yang dimiliki, dan kemudian merangkaikannya dalam kata-kata tulisan, turut memberi warna dalam kekayaan dunia budaya kita. Dan di sisi lain, jejak mereka dalam jalan setapak menuju puncak mestinya juga menjadi jalur aman yang dilalui “para pendaki” lain, meski jalur-jalur yang belum terbuka begitu memberi mereka peluang untuk terus melangkah sampai di tujuan.
            Tabe!

* Chairil Gibran Ramadhan, mantan wartawan, kini sastrawan, eseis, dan editor. Tulisan ini dapat disimak pula di facebook "chairil gibran ramadhan".

Kamis, 02 Desember 2010

KABAR BUKU: Ujung Laut Pulau Marwah (Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia III, Oktober 2010)

Cerpen-cerpen di dalam buku ini memiliki keragaman ekspresi yang sungguh jamak. Cerpen warna lokal di antaranya masih tampak dijadikan andalan lantaran memang memberi banyak kemungkinan, lihat saja cerpen bermuatan lokal Betawi, Melayu, Timor, Madura dan Minang di sini. Meski masih belum terlalu jauh dieksplorasi, namun sudah cukup menunjukkan bahwa lokalitas memberi kegairahan penciptaan yang tak kunjung padam. Jika setia digeluti, perangkat semacam ini niscaya akan menjadi pembeda dengan cerpen umumnya. Apa yang mereka lakukan mencerminkan masih ada ruang eksplorasi yang luas bagi penulis Indonesia yang diuntungkan oleh, antara lain, ragam budaya kita yang kaya.

BEGITULAH tulisan pada bagian atas sampul belakang buku “Ujung Laut Pulau Marwah” yang diambil dari Pengantar Kuratorial, “Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman”. Buku ini diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang dalam rangkaian sebuah hajatan budaya, “Temu Sastrawan Indonesia III” (TSI III) di Kota Gurindam Negeri Pantun itu, pada 28-31 Oktober lalu—setelah TSI I (Jambi, 2008) dan TSI II (Pangkalpinang, 2009).
            Acara yang digelar bertepatan dengan Oktober sebagai bulan bahasa itu dihadiri para sastrawan dari kota-kota besar dan kecil di seluruh Indonesia, yang diundang oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang, atas hasil rekomendasi tim kurator TSI III yang beranggotakan: Abdul Kadir Ibrahim (Tanjungpinang), Hoesnizar Hood (Tanjungpinang), Joni Ariadinata (Yogyakarta), Mezra E. Polllondou (Kupang), Raudal Tanjung Banua (Yogyakarta), Said Parman (Tanjungpinang), Saut Situmorang (Yogyakarta), Syafaruddin (Tanjungpinang), Tan Lioe Ie (Bali), Triyanto Triwikromo (Semarang), dan Zen Hae (Jakarta).
           Tampilnya Tanjungpinang sebagai tuan rumah bukan oleh sebab keberuntungan ataupun “sistem arisan”. Kota kecil nan indah ini dipilih lantaran sejak beratus tahun lalu mewariskan bahasa Melayu sebagai lingua franca (bahasa pengantar), yang dikenal kemudian hingga hari ini sebagai Bahasa Indonesia. Dari Tanjungpinang pula lahir tokoh bahasa dalam sastra klasik Melayu, Raja Ali Haji (1708-1783), yang karya monumentalnya, “Gurindam Dua Belas” (1847), lalu disusul “Bustan’l Katibin” (1857), dan “Kitab Pengetahuan Bahasa” (1859), telah mengantarkan ia sebagai Bapak Bahasa Indonesia dan oleh Pemerintah RI kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2004.
           Dan jauh sebelum TSI III digelar, tepatnya sejak akhir Juli 2010, Walikota Tanjungpinang, Hj. Suryatati A. Manan, dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Drs. Abdul Kadir Ibrahim, MT, telah mengirimkan kepada 150 orang sastrawan yang diundang, surat pemberitahuan berisi perihal sisik-melik TSI III disertai himbauan untuk mengirimkan karya puisi atau cerpennya lantaran akan dibukukan—setelah melalui proses seleksi tentunya. Dan hasilnya, ketika acara berlangsung, para peserta yang hadir sudah memegang buku berisi karya-karya itu. Karya mereka sendiri, atau karya rekan sastrawan yang lain.
           Adalah Joni Ariadinata, Raudal Tanjung Banua, Said Parman, dan Triyanto Triwikromo, yang menjadi kurator cerpen untuk “Ujung Laut Pulau Marwah”. Merekalah yang menetapkan 33 cerpen karya 33 orang penulis untuk dapat tampil di dalamnya. Karya-karya tersebut disusun di dalam buku berdasarkan abjad nama para penulisnya, yakni: “Tuan Guru Sulaiman” (Adi Alimin Arwan, Mamuju, Sulawesi Barat), “Kemarau pun Singgah di Kampung Kami” (Agustinus Wahyono, Balikpapan, Kalimantan Timur), “Di Ujung Simpul Rafia” (Andri Medianyah, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Kabut Kembahang” (Arman AZ, Bandarlampung, Lampung), “Seperti Natnitnole” (Benny Arnas, Lubuklinggau, Sumatera Selatan), “Babad Mejayan” (Beni Setia, Caruban, Madiun, Jawa Timur), “Djali-Djali Bintang Kedjora” (Chairil Gibran Ramadhan, DKI Jakarta), “Kembalinya Anakku yang Hilang” (Endang Purnama Sari, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Anggorok dan Anggodot” (Fahrudin Nasrulloh, Jombang, Jawa Timur), “Semburat Petang di Lagoi” (Fakhrunnas MA Jabbar, Pekanbaru, Riau), “Koleksi 932013: Fina Sato” (Fina Sato, Bandung, Jawa Barat), “Kisah si Pemotong Rumput [Seniman Plat Baja]” (Gol A. Gong, Serang, Banten), “15 Hari Bulan” (Hasan Al Bana, Medan, Sumatera Utara), “Perempuan Petelur” (Igoy el Fitra, Padang, Sumatera Barat), “Setelah Rumah” (Indrian Koto, Yogyakarta, DI Yogyakarta), “Hamsat Mencuri Jambu Klutuk” (Idris Pasaribu, Medan, Sumatra Utara), “Lelaki dengan Kopiah Resam” (Koko P. Bhairawa, Pangkalpinang, Bangka-Belitung), “Senandung Perih Dendang Saluang” (M. Raudah Jambak, Medan, Sumatera Utara), “Ujung Laut Perahu Kalianget” (Mahwi Air Tawar, Yogyakarta, DI Yogyakarta), “Bai Liang”  (Marsel Robot, Kupang, NTT), “Sandal Jepit Yong Dolah” (Maswito, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Pacar Elektrik” (Miral Shamsara Ratuloli, Kupang, NTT), “Melawan Rumput” (Mustofa W. Hasyim, Yogyakarta, DI Yogyakarta), “Lingkaran Luka” (Panda MT Siallagan, Pematang Siantar, Sumatera Utara), “Tanam Pinang Tumbuh Gading” (Pion Ratulolly, Kupang, NTT), “Kucing Tua” (Ragdi F. Daye, Padang, Sumatera Barat), “Bentan” (Riawani Elyta, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Musim Ikan” (Sunlie Thomas Alexander, Belinyu, Bangka-Belitung), “Aroma Bangkai di Depan Rumah Mantan Penghulu” (Tarmizi rumahhitam, Batam, Kepulauan Riau), “Kecapi Terakhir di Malam Minggu” (Thompson Hs, Pematang Siantar, Sumatera Utara), “Tetangga Baru” (Unizara, Tanjungpinang, Kepulauan Riau), “Malina Dalam Bus Tua” (Yetti A.KA, Padang, Sumatera Barat), dan “Air Mata Lelaki Tua di Barak Pengungsi” (Yoss Gerard Lema, Kupang, NTT).
           Dari daftar di atas dapat terlihat bahwa daerah kedatangan masing-masing penulis tidaklah sama jumlahnya: Sulawesi Barat (1), Kalimantan Timur (1), Kepulauan Riau (6), Lampung (1), Sumatera Selatan (1), Jawa Timur (2), DKI Jakarta (1), Riau (1), Jawa Barat (1), Banten (1), Sumatera Barat (3), DI Yogyakarta (3), Sumatera Utara (5), Bangka-Belitung (2), dan NTT (4).
           Lepas dari itu, “Ujung Laut Pulau Marwah” terbilang menarik lantaran memuat begitu banyak cerpen bernuansa lokal yang membawa nilai-nilai budaya etnik dari masing-masing sastrawan. Wajah keragaman Nusantara pun tercermin di dalam buku setebal 362 halaman ini. Maka buku ini sedikit-banyak berhasil menyodorkan fakta tentang sisi lain dunia kesusastraan Indonesia masa kini yang ternyata tak selalu dimenangi oleh cerpen-cerpen bernuansa nasional yang tidak kentara setting tempatnya.
           Namun sangat disesalkan terjadinya ketidaktelitian dalam hal penggarapan isi, hingga terjadi kesalahan penulisan nama yang sangat fatal pada dua orang sastrawan. “Chairil Gibran Ramadhan” misalnya, pada daftar isi dan halaman dalam ditulis “Chairil Gilang Ramadhan” (penulisan secara benar, “Chairil Gibran Ramadhan”, hanya terjadi pada “kesempatan terakhir”, yang terdapat dalam bagian biodata). Sedangkan “Yoss Gerard Lema” yang pada daftar isi dan halaman dalam ditulis sama, ternyata pada bagian biodata ditulis “Yos Gamalama”. Mungkinkah saat pengerjaannya nama kedua sastrawan ini mengingatkan penggarapnya pada drummer Gilang Ramadhan dan komedian Dorce Gamalama? Lantas dengan cara apa dan bagaimana orang-orang yang terlibat sebagai panitia dalam TSI III melakukan ralat atas hal ini?
            Pada bagian bawah sampul belakang buku “Ujung Laut Pulau Marwah” terdapat kalimat yang diambil dari Pengantar  Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Drs. Abdul Kadir Ibrahim, MT selaku Ketua Pelaksana TSI III: Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III/2010 yang dilangsungkan di Kota Tanjungpinang, dapat dipandang sebagai upaya menyigi kembali kejayaan sastra Melayu yang pada era Kerajaan Riau pernah meninggi dan memucuk. Raja Ali Haji adalah salah seorang tokoh, yang berbabit, dengan masa itu, dengan sejumlah karya pemuncak; ilham bagi masa kini. (Catatan CGR: menyigi adalah sisipan atau celah, berbabit adalah ikut serta/terlibat secara langsung atau tidak langsung)
           Jika tidak ada aral-melintang, “Temu Sastrawan Indonesia IV” akan digelar 2011 di Ternate. Sampai jumpa!
Tabe!

(Catatan: Tulisan ini dapat disimak pula di facebook "chairil gibran ramadhan") 


Chairil Gibran Ramadhan, lahir dan besar di Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Mantan wartawan, kini sastrawan, eseis, dan editor. Cerpennya tampil di berbagai media nasional serta antologi bersama untuk pasar internasional terbitan The Lontar Foundation: “Menagerie 5” (ed. Laora Arkeman, 2003) dan “I Am Woman” (ed. John H. McGlynn, 2011). Antologi tunggal pertamanya “Sebelas Colen di Malam Lebaran” (Masup Jakarta, Oktober 2008), berisi 17 cerpen sastra bernuansa Betawi. Sebuah cerpen di dalamnya, “Stambul Panjak”, kemudian oleh BLK Jakarta Selatan dipentaskan sebagai topeng betawi di Yogyakarta (Juli 2010). Akhir 2010 terbit 3 bukunya dalam antologi bersama: “Ujung Laut Pulau Marwah” (Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia III, Tj. Pinang, Oktober 2010)—dengan kesalahan penulisan nama pada daftar isi dan halaman dalam (kecuali pada biodata); “Kahlil Gibran di Indonesia” (ed. Eka Budianta, RUAS, November 2010); serta akan menyusul buku terbitan DKJ dari ajang “Panggung Sastra Komunitas” di TIM Jakarta (15 Desember 2010).