Catatan:
Tulisan ini akan tampil dalam kumpulan esai perdana yang mengolah
Dunia Betawi karya CGR, "Kembang Kelapa: Kumpulan Catatan Budaya ~ Orang
Betawi dan Kampungnya" (2013)
MIMPI BETAWI
Tahun 2009 pemerintah kita mengeluarkan uang kertas baru dalam
pecahan nominal Rp. 2000. Bagus warnanya, bagus kertasnya, bagus tampilannya.
Ada wajah Pangeran Antasari di bagian
muka dan tarian adat Dayak di bagian belakang. Kita pun akhirnya menyadari
bahwa nominal yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di negeri ini
semakin tinggi saja standarnya.
Hingga awal dekade tahun 1990-an,
kita masih mengenal uang logam Rp. 50 sebagai nominal terkecil (oleh orang
Cina, Betawi dan Jakarta disebut gocap).
Waktu itu, dengan uang sejumlah itu kita masih bisa membayar untuk satu macam
penganan: Singkong goreng, ubi goreng, atau bakwan. Adapun uang logam Rp. 25
sudah tidak terlihat namun masih memiliki nilai bayar. Minimal seharga satu
buah permen dan biasanya orang membeli dua atau empat buah permen sekaligus.
Sebelumnya pada awal dekade tahun 1980-an, nominal terkecil adalah Rp. 5 dan
Rp. 10 (oleh orang Cina, Betawi dan Jakarta disebut gotun dan captun, yang
cukup untuk membayar selembar kerupuk dan es lilin. Bahkan pada pertengahan
dekade tahun 1970-an uang sejumlah tadi cukup untuk satu mangkuk bakso atau
sepiring siomay. Pada dekade-dekade sebelumnya di negeri ini dikenal goweng (0,25 sen), peser (0,50 sen), duwit
(0,85 sen), sen (1 sen), benggol (2,5 sen), seteng (3,5 sen), kelip
(5 sen), ketip (10 sen), talen (25 sen), suku (50 sen), perak (100
sen), ringgit (250 sen), serta ukon (1000 sen) yang sama dengan 10
gulden dan terbuat dari emas.
Dan kini nominal-nominal itu
telah menjadi bagian dari masa lalu kita.
Pada akhir dekade tahun 2000-an
ini, nominal terkecil yang kita kenal dan masih memiliki nilai bayar adalah
logam Rp. 100. Paling tidak dengan uang sejumlah itu kita masih bisa menelepon
satu kali di telepon umum atau membayar selembar kertas yang kita fotokopi.
Nominal Rp. 50 masih digunakan di supermarket atau hypermarket semata sebagai
alat pengembalian. Karena nyatanya mereka tidak mau menerima ketika pihak
konsumen menggunakannya sebagai alat pembayaran—yang oleh konsumen pun akhirnya
seringkali dibuang ke selokan, dikumpulkan di stoples kaca (mungkin untuk
hiasan), atau ditaruh di kotak amal kaca dekat pintu masuk masjid.
Tentu tidak lama lagi uang logam
Rp. 100 pun akan tidak digunakan, karena standarnya sudah beralih ke uang logam
Rp. 200. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Terlepas dari masalah-masalah
ekonomi yang melatarbelakangi, terbitnya uang kertas Rp. 2000 tadi kembali
menggugah kesadaran saya yang sudah ada sejak mengenal uang sebagai benda yang
dibawa tiap pergi ke SDN 02 Petang tempat saya bersekolah di Pondok Pinang
dahulu, dan utamanya saat Hari Lebaran ketika anak-anak kecil menerima uang
dari orang dewasa dari hasil ngider[1].
Waktu itu yang saya ingat uang kertas berwarna merah dengan nominal Rp. 100,
bergambar badak bercula satu[2].
"Kapan uang di negeri ini
menampilkan wajah Muhammad Husni Thamrin yang telanjur diangkat sebagai
Pahlawan Nasional, seniman Ismail Marzuki, Rumah Joglo Betawi, Tari Topeng,
atau hal-lain yang bernuansa Betawi? Minimal satu kali!”
CERPEN BETAWI
Saya menaruh harapan besar pada Fauzi Bowo, yang katanya berdarah
Betawi itu, sejak ia diangkat sebagai Gubernur DKI Jakarta, untuk bisa
memperjuangkan Betawi supaya lebih
dianggep dengan hadir di dalam uang bernuansa Betawi. Sebab saya yakin,
Betawi pasti bisa tampil di “media serius” semacam uang republik kita, setelah
sekian lama hanya tampil sebagai bahan lelucon di layar televisi dan
panggung-panggung hiburan. Muhammad Husni Thamrin jangan lagi sebatas diabadikan
namanya untuk jalan raya dan jalan-jalan kampung; Ismail Marzuki jangan hanya
menjadi nama pusat kesenian di Cikini (yang sama sekali tidak bernuansa Betawi
itu); Rumah Joglo Betawi jangan lagi sebatas ada replikanya di plaza dan mall
saat bulan Juni; Tari Topeng jangan lagi hanya ada di pertunjukan Topeng Betawi
atau peringatan HUT Jakarta; dan hal-hal lain yang bernuansa Betawi jangan lagi
berserakan entah di mana.
Saya pernah ditanya wartawan, apa
yang mendorong saya menulis cerpen bernuansa Betawi. Jawaban saya waktu itu
(dan jawaban itu tidak akan berubah) adalah: “Awalnya lantaran setiap membuka
suratkabar nasional edisi ahad yang memuat cerpen sastra, maka yang saya lihat
adalah adalah cerpen-cerpen bernuansa Minang, Melayu, Jawa, Bali, atau Sunda.
Lantas mana cerpen yang bernuansa Betawi?”
Terus-terang saya merasa miris
dengan kenyataan tersebut. Bayangkan, betapa ironis bila suratkabar-suratkabar
nasional yang terbit di Jakarta itu, berkantor di Jakarta itu,
pegawai-pegawainya hidup di Jakarta itu, dan Jakarta nota-bene adalah
kampungnya orang Betawi, tetapi tidak pernah menampilkan cerpen bernuansa
Betawi. Boro-boro ada media cetak
yang berbahasa Betawi.
Saya pun sesungguhnya terlambat
menyadari hal ini. Sebab pada awal karir sebagai penulis sastra, saya masih
menulis cerpen-cerpen bernuansa umum—bergaya
realis ataupun surealis—dan tanpa
kekhasan nuansa daerah. Akhirnya sejak tahun 2003 jerih-payah saya membela
Betawi lewat sastra mendapat pengakuan pertama kali dari Harian Republika dan
Dewan Kesenian Jakarta. Saya pun disebut sebagai Sastrawan Betawi lewat
suratkabar dan buku yang mereka terbitkan (kiranya untuk hal ini saya
menyatakan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ahmadun Y. Herfanda dari Harian Republika dan Henry Ismono dari Tabloid Nova—keduanya berdarah Jawa).
DUIT BETAWI
Perkara tampilnya uang kertas dan uang logam kita yang tidak
pernah bernuansa Betawi, juga membuat saya miris. Bukan kepada apa dan siapa
yang ditampilkan, tapi kepada pihak penyelenggara negara ini.
Bayangkan, betapa ironis bila
sejak republik ini berdiri dan kemudian menjadikan Jakarta sebagai ibukotanya
(yang artinya juga menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi), lalu Bank Indonesia
ada di Jakarta, berkantor di Jakarta, pegawai-pegawainya hidup di Jakarta, yang
nota-bene adalah kampungnya orang Betawi, namun tidak pernah satu kali pun
menampilkan wajah pahlawan berdarah Betawi semacam Muhammad Husni Thamrin dan Ismail
Marzuki, atau Rumah Joglo Betawi, atau Tari Topeng, atau hal-hal lain yang
bernuansa Betawi. Apakah badak dan orangutan lebih patut diabadikan dalam mata uang
kita daripada wajah Muhammad Husni Thamrin dan Ismail Marzuki, atau seni-budaya
Betawi sebagai sang tuan rumah?
Tulisan ini memang erat kaitannya
dengan minat kedaerahan saya—yang celakanya selalu disematkan hanya kepada orang
Betawi dengan alasan bahwa Jakarta adalah tempat berkumpulnya beragam etnis,
tapi tidak kepada suku-suku lain ketika mereka memperjuangkan keinginannya yang
berbau kedaerahan. Namun sesungguhnya tulisan ini lebih merupakan cermin untuk
para penyelenggara negara supaya lebih menghargai keberadaan Betawi dan orang
Betawi itu sendiri sebagai suku yang memiliki Jakarta—seperti suku Minang yang
memiliki Padang dan Sumatra Barat, suku Jawa yang memiliki Yogya dan Jawa
Tengah, suku Batak yang memiliki Medan dan Sumatra Utara, suku Sunda yang
memiliki Bandung dan Jawa Barat, dan lain-lain, dan lain lain.
Bukankah Betawi juga memiliki
Pahlawan Nasional dan seni-budaya?
Kita kadung kecewa bahwa sejak jaman Soekarno di orde lama dan Soeharto
di Orde Baru, orang Betawi sangat diminimalisir ruang geraknya di bidang
politik. Posisi-posisi mereka di pemerintahan sangat minim. Untuk di kampungnya
sendiri, mereka terkadang hanya sebatas menjadi Ketua RT atau Ketua RW. Padahal
banyak orang Betawi yang berpendidikan tinggi. Untuk kelas provinsi, paling banter hanya menjadi wakil
gubernur. Maka kita patut bersyukur karena dengan berubahnya angin politik,
maka Fauzi Bowo yang katanya berdarah Betawi itu, punya kesempatan sehingga
bisa menjadi Gubernur di DKI Jakarta.
Saya (dan mungkin banyak orang
Betawi lain) sangat berharap tidak lagi hanya bermimpi melihat uang kertas atau
uang logam republik ini menampilkan nuansa Betawi.
Tabe!
Pondok
Pinang, 2008-2010
Catatan:
Wacana Uang Betawi
pernah saya utarakan kepada H. Eddy Rusli
Thabrani dalam siarannya di Bens Radio, 30 Desember 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar