Minggu, 28 April 2013

ESAI: Duit Betawi


Catatan:
Tulisan ini akan tampil dalam kumpulan esai perdana yang mengolah Dunia Betawi karya CGR, "Kembang Kelapa: Kumpulan Catatan Budaya ~ Orang Betawi dan Kampungnya" (2013)




MIMPI BETAWI
Tahun 2009 pemerintah kita mengeluarkan uang kertas baru dalam pecahan nominal Rp. 2000. Bagus warnanya, bagus kertasnya, bagus tampilannya. Ada wajah Pangeran Antasari di bagian muka dan tarian adat Dayak di bagian belakang. Kita pun akhirnya menyadari bahwa nominal yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di negeri ini semakin tinggi saja standarnya.
Hingga awal dekade tahun 1990-an, kita masih mengenal uang logam Rp. 50 sebagai nominal terkecil (oleh orang Cina, Betawi dan Jakarta disebut gocap). Waktu itu, dengan uang sejumlah itu kita masih bisa membayar untuk satu macam penganan: Singkong goreng, ubi goreng, atau bakwan. Adapun uang logam Rp. 25 sudah tidak terlihat namun masih memiliki nilai bayar. Minimal seharga satu buah permen dan biasanya orang membeli dua atau empat buah permen sekaligus. Sebelumnya pada awal dekade tahun 1980-an, nominal terkecil adalah Rp. 5 dan Rp. 10 (oleh orang Cina, Betawi dan Jakarta disebut gotun dan captun, yang cukup untuk membayar selembar kerupuk dan es lilin. Bahkan pada pertengahan dekade tahun 1970-an uang sejumlah tadi cukup untuk satu mangkuk bakso atau sepiring siomay. Pada dekade-dekade sebelumnya di negeri ini dikenal goweng (0,25 sen), peser (0,50 sen), duwit (0,85 sen), sen (1 sen), benggol (2,5 sen), seteng (3,5 sen), kelip (5 sen), ketip (10 sen), talen (25 sen), suku (50 sen), perak (100 sen), ringgit (250 sen), serta ukon (1000 sen) yang sama dengan 10 gulden dan terbuat dari emas.
Dan kini nominal-nominal itu telah menjadi bagian dari masa lalu kita.
Pada akhir dekade tahun 2000-an ini, nominal terkecil yang kita kenal dan masih memiliki nilai bayar adalah logam Rp. 100. Paling tidak dengan uang sejumlah itu kita masih bisa menelepon satu kali di telepon umum atau membayar selembar kertas yang kita fotokopi. Nominal Rp. 50 masih digunakan di supermarket atau hypermarket semata sebagai alat pengembalian. Karena nyatanya mereka tidak mau menerima ketika pihak konsumen menggunakannya sebagai alat pembayaran—yang oleh konsumen pun akhirnya seringkali dibuang ke selokan, dikumpulkan di stoples kaca (mungkin untuk hiasan), atau ditaruh di kotak amal kaca dekat pintu masuk masjid.
Tentu tidak lama lagi uang logam Rp. 100 pun akan tidak digunakan, karena standarnya sudah beralih ke uang logam Rp. 200. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Terlepas dari masalah-masalah ekonomi yang melatarbelakangi, terbitnya uang kertas Rp. 2000 tadi kembali menggugah kesadaran saya yang sudah ada sejak mengenal uang sebagai benda yang dibawa tiap pergi ke SDN 02 Petang tempat saya bersekolah di Pondok Pinang dahulu, dan utamanya saat Hari Lebaran ketika anak-anak kecil menerima uang dari orang dewasa dari hasil ngider[1]. Waktu itu yang saya ingat uang kertas berwarna merah dengan nominal Rp. 100, bergambar badak bercula satu[2].
"Kapan uang di negeri ini menampilkan wajah Muhammad Husni Thamrin yang telanjur diangkat sebagai Pahlawan Nasional, seniman Ismail Marzuki, Rumah Joglo Betawi, Tari Topeng, atau hal-lain yang bernuansa Betawi? Minimal satu kali!”

CERPEN BETAWI
Saya menaruh harapan besar pada Fauzi Bowo, yang katanya berdarah Betawi itu, sejak ia diangkat sebagai Gubernur DKI Jakarta, untuk bisa memperjuangkan Betawi supaya lebih dianggep dengan hadir di dalam uang bernuansa Betawi. Sebab saya yakin, Betawi pasti bisa tampil di “media serius” semacam uang republik kita, setelah sekian lama hanya tampil sebagai bahan lelucon di layar televisi dan panggung-panggung hiburan. Muhammad Husni Thamrin jangan lagi sebatas diabadikan namanya untuk jalan raya dan jalan-jalan kampung; Ismail Marzuki jangan hanya menjadi nama pusat kesenian di Cikini (yang sama sekali tidak bernuansa Betawi itu); Rumah Joglo Betawi jangan lagi sebatas ada replikanya di plaza dan mall saat bulan Juni; Tari Topeng jangan lagi hanya ada di pertunjukan Topeng Betawi atau peringatan HUT Jakarta; dan hal-hal lain yang bernuansa Betawi jangan lagi berserakan entah di mana.
Saya pernah ditanya wartawan, apa yang mendorong saya menulis cerpen bernuansa Betawi. Jawaban saya waktu itu (dan jawaban itu tidak akan berubah) adalah: “Awalnya lantaran setiap membuka suratkabar nasional edisi ahad yang memuat cerpen sastra, maka yang saya lihat adalah adalah cerpen-cerpen bernuansa Minang, Melayu, Jawa, Bali, atau Sunda. Lantas mana cerpen yang bernuansa Betawi?”
Terus-terang saya merasa miris dengan kenyataan tersebut. Bayangkan, betapa ironis bila suratkabar-suratkabar nasional yang terbit di Jakarta itu, berkantor di Jakarta itu, pegawai-pegawainya hidup di Jakarta itu, dan Jakarta nota-bene adalah kampungnya orang Betawi, tetapi tidak pernah menampilkan cerpen bernuansa Betawi. Boro-boro ada media cetak yang berbahasa Betawi.
Saya pun sesungguhnya terlambat menyadari hal ini. Sebab pada awal karir sebagai penulis sastra, saya masih menulis cerpen-cerpen bernuansa umum—bergaya  realis ataupun surealis—dan  tanpa kekhasan nuansa daerah. Akhirnya sejak tahun 2003 jerih-payah saya membela Betawi lewat sastra mendapat pengakuan pertama kali dari Harian Republika dan Dewan Kesenian Jakarta. Saya pun disebut sebagai Sastrawan Betawi lewat suratkabar dan buku yang mereka terbitkan (kiranya untuk hal ini saya menyatakan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ahmadun Y. Herfanda dari Harian Republika dan Henry Ismono dari Tabloid Nova—keduanya  berdarah Jawa).

DUIT BETAWI
Perkara tampilnya uang kertas dan uang logam kita yang tidak pernah bernuansa Betawi, juga membuat saya miris. Bukan kepada apa dan siapa yang ditampilkan, tapi kepada pihak penyelenggara negara ini.
Bayangkan, betapa ironis bila sejak republik ini berdiri dan kemudian menjadikan Jakarta sebagai ibukotanya (yang artinya juga menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi), lalu Bank Indonesia ada di Jakarta, berkantor di Jakarta, pegawai-pegawainya hidup di Jakarta, yang nota-bene adalah kampungnya orang Betawi, namun tidak pernah satu kali pun menampilkan wajah pahlawan berdarah Betawi semacam Muhammad Husni Thamrin dan Ismail Marzuki, atau Rumah Joglo Betawi, atau Tari Topeng, atau hal-hal lain yang bernuansa Betawi. Apakah badak dan orangutan lebih patut diabadikan dalam mata uang kita daripada wajah Muhammad Husni Thamrin dan Ismail Marzuki, atau seni-budaya Betawi sebagai sang tuan rumah?
Tulisan ini memang erat kaitannya dengan minat kedaerahan saya—yang  celakanya selalu disematkan hanya kepada orang Betawi dengan alasan bahwa Jakarta adalah tempat berkumpulnya beragam etnis, tapi tidak kepada suku-suku lain ketika mereka memperjuangkan keinginannya yang berbau kedaerahan. Namun sesungguhnya tulisan ini lebih merupakan cermin untuk para penyelenggara negara supaya lebih menghargai keberadaan Betawi dan orang Betawi itu sendiri sebagai suku yang memiliki Jakarta—seperti suku Minang yang memiliki Padang dan Sumatra Barat, suku Jawa yang memiliki Yogya dan Jawa Tengah, suku Batak yang memiliki Medan dan Sumatra Utara, suku Sunda yang memiliki Bandung dan Jawa Barat, dan lain-lain, dan lain lain.
Bukankah Betawi juga memiliki Pahlawan Nasional dan seni-budaya?
Kita kadung kecewa bahwa sejak jaman Soekarno di orde lama dan Soeharto di Orde Baru, orang Betawi sangat diminimalisir ruang geraknya di bidang politik. Posisi-posisi mereka di pemerintahan sangat minim. Untuk di kampungnya sendiri, mereka terkadang hanya sebatas menjadi Ketua RT atau Ketua RW. Padahal banyak orang Betawi yang berpendidikan tinggi. Untuk kelas provinsi, paling banter hanya menjadi wakil gubernur. Maka kita patut bersyukur karena dengan berubahnya angin politik, maka Fauzi Bowo yang katanya berdarah Betawi itu, punya kesempatan sehingga bisa menjadi Gubernur di DKI Jakarta.
Saya (dan mungkin banyak orang Betawi lain) sangat berharap tidak lagi hanya bermimpi melihat uang kertas atau uang logam republik ini menampilkan nuansa Betawi.
Tabe!

Pondok Pinang, 2008-2010


Catatan:
Wacana Uang Betawi pernah saya utarakan kepada H. Eddy Rusli Thabrani dalam siarannya di Bens Radio, 30 Desember 2000.





[1] Berkeliling (Betawi). Maksudnya adalah nanggok, tradisi anak-anak dalam masyarakat Betawi di Hari Lebaran: Berlebaran dari rumah ke rumah sambil berharap mendapat uang ala kadarnya dari orang dewasa.
[2] Baca essay saya, “Lebaran Anak Betawi”, yang juga terdapat dalam buku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar