Minggu, 28 April 2013

ESAI: Duit Betawi


Catatan:
Tulisan ini akan tampil dalam kumpulan esai perdana yang mengolah Dunia Betawi karya CGR, "Kembang Kelapa: Kumpulan Catatan Budaya ~ Orang Betawi dan Kampungnya" (2013)




MIMPI BETAWI
Tahun 2009 pemerintah kita mengeluarkan uang kertas baru dalam pecahan nominal Rp. 2000. Bagus warnanya, bagus kertasnya, bagus tampilannya. Ada wajah Pangeran Antasari di bagian muka dan tarian adat Dayak di bagian belakang. Kita pun akhirnya menyadari bahwa nominal yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di negeri ini semakin tinggi saja standarnya.
Hingga awal dekade tahun 1990-an, kita masih mengenal uang logam Rp. 50 sebagai nominal terkecil (oleh orang Cina, Betawi dan Jakarta disebut gocap). Waktu itu, dengan uang sejumlah itu kita masih bisa membayar untuk satu macam penganan: Singkong goreng, ubi goreng, atau bakwan. Adapun uang logam Rp. 25 sudah tidak terlihat namun masih memiliki nilai bayar. Minimal seharga satu buah permen dan biasanya orang membeli dua atau empat buah permen sekaligus. Sebelumnya pada awal dekade tahun 1980-an, nominal terkecil adalah Rp. 5 dan Rp. 10 (oleh orang Cina, Betawi dan Jakarta disebut gotun dan captun, yang cukup untuk membayar selembar kerupuk dan es lilin. Bahkan pada pertengahan dekade tahun 1970-an uang sejumlah tadi cukup untuk satu mangkuk bakso atau sepiring siomay. Pada dekade-dekade sebelumnya di negeri ini dikenal goweng (0,25 sen), peser (0,50 sen), duwit (0,85 sen), sen (1 sen), benggol (2,5 sen), seteng (3,5 sen), kelip (5 sen), ketip (10 sen), talen (25 sen), suku (50 sen), perak (100 sen), ringgit (250 sen), serta ukon (1000 sen) yang sama dengan 10 gulden dan terbuat dari emas.
Dan kini nominal-nominal itu telah menjadi bagian dari masa lalu kita.
Pada akhir dekade tahun 2000-an ini, nominal terkecil yang kita kenal dan masih memiliki nilai bayar adalah logam Rp. 100. Paling tidak dengan uang sejumlah itu kita masih bisa menelepon satu kali di telepon umum atau membayar selembar kertas yang kita fotokopi. Nominal Rp. 50 masih digunakan di supermarket atau hypermarket semata sebagai alat pengembalian. Karena nyatanya mereka tidak mau menerima ketika pihak konsumen menggunakannya sebagai alat pembayaran—yang oleh konsumen pun akhirnya seringkali dibuang ke selokan, dikumpulkan di stoples kaca (mungkin untuk hiasan), atau ditaruh di kotak amal kaca dekat pintu masuk masjid.
Tentu tidak lama lagi uang logam Rp. 100 pun akan tidak digunakan, karena standarnya sudah beralih ke uang logam Rp. 200. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Terlepas dari masalah-masalah ekonomi yang melatarbelakangi, terbitnya uang kertas Rp. 2000 tadi kembali menggugah kesadaran saya yang sudah ada sejak mengenal uang sebagai benda yang dibawa tiap pergi ke SDN 02 Petang tempat saya bersekolah di Pondok Pinang dahulu, dan utamanya saat Hari Lebaran ketika anak-anak kecil menerima uang dari orang dewasa dari hasil ngider[1]. Waktu itu yang saya ingat uang kertas berwarna merah dengan nominal Rp. 100, bergambar badak bercula satu[2].
"Kapan uang di negeri ini menampilkan wajah Muhammad Husni Thamrin yang telanjur diangkat sebagai Pahlawan Nasional, seniman Ismail Marzuki, Rumah Joglo Betawi, Tari Topeng, atau hal-lain yang bernuansa Betawi? Minimal satu kali!”

CERPEN BETAWI
Saya menaruh harapan besar pada Fauzi Bowo, yang katanya berdarah Betawi itu, sejak ia diangkat sebagai Gubernur DKI Jakarta, untuk bisa memperjuangkan Betawi supaya lebih dianggep dengan hadir di dalam uang bernuansa Betawi. Sebab saya yakin, Betawi pasti bisa tampil di “media serius” semacam uang republik kita, setelah sekian lama hanya tampil sebagai bahan lelucon di layar televisi dan panggung-panggung hiburan. Muhammad Husni Thamrin jangan lagi sebatas diabadikan namanya untuk jalan raya dan jalan-jalan kampung; Ismail Marzuki jangan hanya menjadi nama pusat kesenian di Cikini (yang sama sekali tidak bernuansa Betawi itu); Rumah Joglo Betawi jangan lagi sebatas ada replikanya di plaza dan mall saat bulan Juni; Tari Topeng jangan lagi hanya ada di pertunjukan Topeng Betawi atau peringatan HUT Jakarta; dan hal-hal lain yang bernuansa Betawi jangan lagi berserakan entah di mana.
Saya pernah ditanya wartawan, apa yang mendorong saya menulis cerpen bernuansa Betawi. Jawaban saya waktu itu (dan jawaban itu tidak akan berubah) adalah: “Awalnya lantaran setiap membuka suratkabar nasional edisi ahad yang memuat cerpen sastra, maka yang saya lihat adalah adalah cerpen-cerpen bernuansa Minang, Melayu, Jawa, Bali, atau Sunda. Lantas mana cerpen yang bernuansa Betawi?”
Terus-terang saya merasa miris dengan kenyataan tersebut. Bayangkan, betapa ironis bila suratkabar-suratkabar nasional yang terbit di Jakarta itu, berkantor di Jakarta itu, pegawai-pegawainya hidup di Jakarta itu, dan Jakarta nota-bene adalah kampungnya orang Betawi, tetapi tidak pernah menampilkan cerpen bernuansa Betawi. Boro-boro ada media cetak yang berbahasa Betawi.
Saya pun sesungguhnya terlambat menyadari hal ini. Sebab pada awal karir sebagai penulis sastra, saya masih menulis cerpen-cerpen bernuansa umum—bergaya  realis ataupun surealis—dan  tanpa kekhasan nuansa daerah. Akhirnya sejak tahun 2003 jerih-payah saya membela Betawi lewat sastra mendapat pengakuan pertama kali dari Harian Republika dan Dewan Kesenian Jakarta. Saya pun disebut sebagai Sastrawan Betawi lewat suratkabar dan buku yang mereka terbitkan (kiranya untuk hal ini saya menyatakan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ahmadun Y. Herfanda dari Harian Republika dan Henry Ismono dari Tabloid Nova—keduanya  berdarah Jawa).

DUIT BETAWI
Perkara tampilnya uang kertas dan uang logam kita yang tidak pernah bernuansa Betawi, juga membuat saya miris. Bukan kepada apa dan siapa yang ditampilkan, tapi kepada pihak penyelenggara negara ini.
Bayangkan, betapa ironis bila sejak republik ini berdiri dan kemudian menjadikan Jakarta sebagai ibukotanya (yang artinya juga menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi), lalu Bank Indonesia ada di Jakarta, berkantor di Jakarta, pegawai-pegawainya hidup di Jakarta, yang nota-bene adalah kampungnya orang Betawi, namun tidak pernah satu kali pun menampilkan wajah pahlawan berdarah Betawi semacam Muhammad Husni Thamrin dan Ismail Marzuki, atau Rumah Joglo Betawi, atau Tari Topeng, atau hal-hal lain yang bernuansa Betawi. Apakah badak dan orangutan lebih patut diabadikan dalam mata uang kita daripada wajah Muhammad Husni Thamrin dan Ismail Marzuki, atau seni-budaya Betawi sebagai sang tuan rumah?
Tulisan ini memang erat kaitannya dengan minat kedaerahan saya—yang  celakanya selalu disematkan hanya kepada orang Betawi dengan alasan bahwa Jakarta adalah tempat berkumpulnya beragam etnis, tapi tidak kepada suku-suku lain ketika mereka memperjuangkan keinginannya yang berbau kedaerahan. Namun sesungguhnya tulisan ini lebih merupakan cermin untuk para penyelenggara negara supaya lebih menghargai keberadaan Betawi dan orang Betawi itu sendiri sebagai suku yang memiliki Jakarta—seperti suku Minang yang memiliki Padang dan Sumatra Barat, suku Jawa yang memiliki Yogya dan Jawa Tengah, suku Batak yang memiliki Medan dan Sumatra Utara, suku Sunda yang memiliki Bandung dan Jawa Barat, dan lain-lain, dan lain lain.
Bukankah Betawi juga memiliki Pahlawan Nasional dan seni-budaya?
Kita kadung kecewa bahwa sejak jaman Soekarno di orde lama dan Soeharto di Orde Baru, orang Betawi sangat diminimalisir ruang geraknya di bidang politik. Posisi-posisi mereka di pemerintahan sangat minim. Untuk di kampungnya sendiri, mereka terkadang hanya sebatas menjadi Ketua RT atau Ketua RW. Padahal banyak orang Betawi yang berpendidikan tinggi. Untuk kelas provinsi, paling banter hanya menjadi wakil gubernur. Maka kita patut bersyukur karena dengan berubahnya angin politik, maka Fauzi Bowo yang katanya berdarah Betawi itu, punya kesempatan sehingga bisa menjadi Gubernur di DKI Jakarta.
Saya (dan mungkin banyak orang Betawi lain) sangat berharap tidak lagi hanya bermimpi melihat uang kertas atau uang logam republik ini menampilkan nuansa Betawi.
Tabe!

Pondok Pinang, 2008-2010


Catatan:
Wacana Uang Betawi pernah saya utarakan kepada H. Eddy Rusli Thabrani dalam siarannya di Bens Radio, 30 Desember 2000.





[1] Berkeliling (Betawi). Maksudnya adalah nanggok, tradisi anak-anak dalam masyarakat Betawi di Hari Lebaran: Berlebaran dari rumah ke rumah sambil berharap mendapat uang ala kadarnya dari orang dewasa.
[2] Baca essay saya, “Lebaran Anak Betawi”, yang juga terdapat dalam buku ini.

ESAI: Orang Betawi: Kampungnya Ilang Diambil Orang?

Catatan:
Tulisan ini akan tampil dalam kumpulan esai perdana yang mengolah Dunia Betawi karya CGR, "Kembang Kelapa: Kumpulan Catatan Budaya ~ Orang Betawi dan Kampungnya" (2013)



Sebaris lirik dalam lagu pembuka sinetron Pepesan Kosong karya Ali Shahab yang ditayangkan TPI pada paruh pertama dekade 1990-an—“kampungnya ilang diambil orang”—menggugah pemikiran saya sebagai anak Betawi yang kebetulan sedikit-sedikit bisa menulis. Siapa yang mengambil kampung orang Betawi?

SOEKARNO, SOEHARTO, DAN ORANG BETAWI
Mempelajari kasus-kasusnya, baik yang terekam dalam ingatan pribadi melalui perantaraan mata maupun berdasarkan kabar yang disiarkan media komunikasi massa dan penuturan lisan orang-orang tua, tersimpulkan secara nyata bahwa hilangnya kampung-kampung orang Betawi di Jakarta secara perlahan-lahan setelah usainya masa revolusi fisik terjadi lantaran tiga sebab: Tindakan zalim penguasa, kerakusan pihak pengembang perumahan, dan kesediaan orang Betawi sendiri untuk melepas tanahnya. Antara sebab pertama dengan sebab kedua, sangat dapat dipastikan pendukung keberhasilannya lantaran sebuah kekuatan yang sama: Aparat keamanan.
Kezaliman penguasa negeri ini terhadap orang Betawi terjadi sejak jaman Orde Lama dimana Soekarno (1901-1970) yang dianggap “manusia setengah dewa” itu duduk sebagai pucuk pimpinannya. Ia misalnya, untuk menyebut salahsatu saja, mengidekan penggusuran empat kampung bernama Senayan, Petunduan, Kebun Kelapa, dan sebagian  Bendungan Hilir, demi ambisinya membangun sebuah kompleks olahraga lengkap dengan lapangannya yang besar dan megah untuk menghadapi Asian Games ke-IV, Agustus 1962.[1] Pemilihan kawasan seluas 270 hektar itu konon telah direncanakan sejak tahun 1960 dengan alasan bahwa saat itu Jakarta belum memiliki  sarana olahraga yang besar dan mewah, terlebih yang mampu menampung atlet dari 58 negara di Asia. Maka berdirilah Gelora Senayan dengan sarana-sarana pendukungnya.
Adapun orang Betawi yang menjadi penghuninya digusur dengan sangat semena-mena dengan uang pengganti sekedar saja untuk membangun rumah di kavling-kavling yang sudah disediakan di daerah Tebet—yang saat itu masih berupa rawa-rawa. Namun ternyata banyak yang tidak kerasan tinggal di sana disebabkan tingkat keamanan yang buruk yakni sering terjadinya perampokan terhadap “orang gusuran” yang dianggap membawa banyak uang. Mereka umumnya kemudian pindah ke kampung-kampung lain di Jakarta Selatan, semacam Kebayuran Lama[2], Pasar Minggu, atau Lenteng Agung, bahkan ke daerah Tambun di Bekasi dan Depok.
Kezaliman penguasa kita terhadap orang Betawi terus berlanjut dan semakin parah terjadi pada masa Orde Baru dengan Soeharto (1921-2008) sebagai “manusia setengah tuhan” pada pemerintahannya yang bersifat sentralistis bahkan berwujud menjadi personalisasi—dengan sosoknya sebagai nukleus sentral seluruh negeri. Soeharto—seperti “kebijakannya” pada semua hal—sangat sewenang-wenang dan sangat tidak mengindahkan orang Betawi di tanahnya sendiri, dalam bentuk-bentuk penghilangan unsur dan peran kebetawian yang begitu kentara. Mulai dari jabatan kepala kampung Betawi (baca: Gubernur DKI Jakarta) yang tidak pernah diberikan kepada orang Betawi,  penggusuran kampung-kampung orang Betawi yang didukung kekuatan tentara dan polisi, nama jalan yang sedikit sekali mengambil dari nama tokoh-tokoh Betawi, ornament gedung-gedung pemerintahan dan swasta di Jakarta yang kering dari nuansa Betawi, hingga uang RI yang tidak pernah menampilkan wajah Muhammad Husni Thamrin, Ismail Marzuki, atau hal-hal lain yang bernuansa Betawi.
Jurus kedua Bapak Bangsa ini dalam menghadapi dan memperlakukan orang Betawi, ironisnya, sangatlah mirip.
Soeharto sendiri terlihat hanya satu kali menghormati Betawi, yakni saat HUT ke-50 RI di tahun 1995—yang selama satu bulan penuh dirayakan secara gegap-gempita di seluruh pelosok negeri. Itu pun hanya sebatas untuk sebuah perayaan dalam rangkaian pesta besar-besaran yang menghabiskan dana bermilyar-milyar rupiah. Saat itu di Lapangan Monas, ia memakai busana khas keseharian lelaki Betawi yang berupa peci hitam, baju koko, sarung diselempangkan di pundak, celana batik, dan sandal. Pada hari itu Betawi memang dialem dan diempok-empok kagak ketulungan di tingkat nasional. Entah apa alasannya. Sebab biasanya seni-budaya Jawa atau Bali-lah yang ditonjolkan.
Namun di sisi lain…

KAPITEN ARAB, KAPITEN TIONGHOA, DAN “KAPITEN BETAWI”
Langkah Soekarno dan Soeharto dalam memperlakukan orang Betawi mengingatkan kita pada langkah pemerintah Hindia Belanda. Pada masa itu, untuk mengurangi bebannya dalam mengatur tiga suku bangsa Timur Asing—Arab, Tionghoa, serta Moor dan Bengali—yang  menjadi penduduk Batavia, pemerintah Hindia Belanda mengangkat seorang mayor atau kapiten dari masing-masing mereka  sebagai kepala warga. Maka muncullah nama-nama seperti Sjech Said bin Salim Naum (1844-1864) hingga Sjech Hassan bin Saleh Argoebi (1931-1942) sebagai Kapiten Arab; Lie Tiauw Ko (1817-1823) hingga Khouw Kim An (1910-1942) sebagai Kapiten Tionghoa; dan Hamied Lebe Ibnoo Boseen Candoo (1817-1825) hingga Pakirian Kattan (1912-1916) sebagai Kapiten Moor dan Bengali.
Kedudukan mereka berada di bawah Bestuur voor Vreemde Oosterlingen (pengaturan administrasi untuk orang Timur Asing) dan bertanggungjawab kepada Residen Batavia. Sedangkan komandan distrik dan wijkmeester (oleh lidah Betawi menjadi Bek, hingga mencuatkan istilah Tuan Bek) bertanggungjawab kepada asisten residen. Kedudukan-kedudukan ini dalam struktur administrasi orang pribumi disebut Inlandsch Beestur. Ironisnya, seperti juga ditulis Mona Lohanda dalam bukunya, sampai awal abad ke-20, Batavia tidak memiliki patih atau bupati sebagai kedudukan tertinggi dalam Indlandsch Beestuur untuk  wilayah administrasi Batavia. Posisi patih baru ada pada Mei 1908, dan bupati baru pada Maret 1924. Ini pun tidak pernah dijabat orang Betawi.
            Menurut catatan, para walikota, bupati dan patih di Batavia sejak 1925 hingga 1942 (tahun kedatangan Jepang), selalu dijabat oleh orang Belanda, Sunda, dan Jawa. Sedangkan Indlandsch Koomandant (Komandan Pribumi) hanya ada pada suku-suku lain hingga terdapat nama-nama yang menjadi Kapiten Melayu, Kapiten Ooster-Javanent, Kapiten Wester-Javanent, Kapiten Sumbawa dan Mandhar, Kapiten Ambon dan Bugis, Kapiten Bugis dan Makassar, serta Kapiten Bali. Tidak ada yang namanya Kapiten Betawi!
Lantaran orang Betawi belon ada, atau memang keberadaannya kagak dianggep?
            Mungkin hanya Thamrin Mohammad Thabrie—ayahanda  Mohammad Hoesni Thamrin—yang patut diingat sebagai orang Betawi yang termasuk dalam golongan orang pangkat-pangkat (istilah lama untuk orang yang memiliki jabatan di pemerintahan). Ia adalah wedana pertama di distrik Batavia (diangkat pada 1 Mei 1908, dan berakhir Pebruari 1911). Pada masa itu di Batavia ada enam Wedana Distrik, yakni: Wedana Distrik Batavia, Wedana Distrik Weltevreden (kini Jakarta Pusat), Wedana Distrik Tangerang, Wedana Distrik Meester Cornelis (kini Jatinegara), Wedana Distrik Kebayuran, dan Wedana Distrik Bekasi. Jabatan ini ada sejak 1908, dan berakhir ketika Jepang datang.  
            Dan sejarah telah mencatatnya.

PONDOK INDAH DI PONDOK PINANG
Beberapa kali saya pernah ditanya orang non-Betawi (atau Betawi) mengenai kampung asal sehubungan predikat saya sebagai sastrawan Betawi: “Betawi mana?” Ketika saya memberi jawaban “Betawi Pondok Pinang”, mereka bertanya kembali, “Cipinang ‘kali?” atau ”Pondok Pinang di mana, ya?”. Sering saya tersenyum terlebih dahulu sebelum benar-benar menjawab. Senyuman saya ini lantaran:  Pertama, apakah mungkin saya tidak bisa membedakan nama kampung sendiri dengan kampung orang lain, lantaran di telinga saja Cipinang jelas terdengar berbeda dengan Pondok Pinang? Kedua, Pondok Pinang itu sudah lama ada alias bukan hasil bentukan kemarin sore.
Ketika saya jelaskan bahwa Pondok Indah berada di Pondok Pinang lantaran sebagian Pondok Pinang dicaplok untuk menjadi perumahan Pondok Indah, barulah mereka mengangguk-angguk tanda mengerti: “O, begitu.” Sesungguhnya ada perasaan sedih dan kecil hati saya atas kejadian-kejadian seperti itu. Sebab sebuah kampung besar tempat saya dan keluarga besar saya lahir, besar, hidup, dan mungkin dimakamkan, ternyata kalah terkenal namanya oleh sebuah nama perumahan yang dibangun di atas airmata orang Betawi.[3] Saya juga sedih dan kecil hati  jika ada orang yang menganggap bahwa Pondok Indah itu semata nama daerah dan bukanlah nama perumahan. Namun biasanya saya akan kembali tersenyum, dan senyum saya itu semakin lebar, atas pengetahuan orang semacam ini, yang bagi saya sangat mengenaskan.
Hal menggenaskan lain (atau menggelikan) yang saya temui adalah setiap kali melihat papan nama sebuah pasar di Pondok Pinang dekat Kali Baru, yang oleh pemerintah dengan naifnya diberi nama Pasar Pondok Indah (mungkin lantaran dianggap berada dekat dengan  Perumahan Pondok Indah), atau melihat papan nama sebuah lembaga pendidikan yang menggunakan—tepatnya  mencatut—nama  Pondok Indah sebagai alamat jalannya. Padahal jelas-jelas bangunannya berada di Pondok Pinang, di sisi Jalan Ciputat Raya yang tepat membelah kampung saya. Celakanya, pihak kelurahan yang sesungguhnya memiliki kewenangan untuk membereskan hal-hal ini, ternyata diam saja dalam “keluguannya”.
(Persoalan menjual dan mencatut nama memang tidak hanya terjadi pada nama seseorang yang dianggap bisa memberi keuntungan, tetapi juga nama tempat. Ini mengingatkan saya pada nama Bintaro yang dicatut untuk nama-nama perumahan yang berada jauh dari Perumahan Bintaro Jaya, hingga mengesankan tempat itu dekat atau merupakan bagian dari Perumahan Bintaro Jaya yang dimaksud.)
Keberadaan nama Pondok Pinang yang kalah terkenal oleh nama Pondok Indah, mengingatkan saya pada banyak cerita kelam yang telah lama saya dengar dari seorang encing saya (suami dari adik perempuan ibu saya). Ia berasal dari kampung yang kini menjadi Perumahan Pondok Indah. Menurut encing saya itu, awalnya penggusuran yang terjadi di sana dikatakan oleh orang-orang pemerintahan kepada orang-orang kampung adalah untuk pembangunan jalan.[4] Sama sekali tidak disebut-sebut untuk pembangunan kompleks perumahan. Orang-orang Betawi di sana, terbuktikan lewat banyak fakta, digusur dengan sangat semena-mena oleh kaki-tangan pemerintah, dalam hal ini tentara dan polisi, dengan ancaman kata-kata, senjata api, dan juga tindakan kekerasan dan teror yang kelewat batas. Selain itu, jawara-jawara Betawi yang ada juga turut membantu mengancam orang-orang yang sesungguhnya sekampung dengan mereka. Persis centeng-centeng pada masa tuan tanah di jaman Hindia Belanda. Cerita serupa juga sering saya dengar dari orang-orang di Pondok Pinang sebelah timur yang merupakan tetangga lama encing saya tersebut, atau mereka yang tinggal di Pondok Pinang sebelah barat dekat Kali Pesanggrahan.  
Menurut cerita almarhum engkong saya yang wafat  tahun 1981 (dan dikuatkan oleh cerita nyai saya yang wafat tahun 2007), jawara-jawara yang umumnya sebaya dengannya itu dan dikenalnya dengan baik, kemudian menemui ajal dengan cara-cara yang sangat buruk. Engkong dan nyai saya menyakini, itu sangat erat hubungannya dengan perbuatan mereka yang ketika hidup menzalimi hak orang lain, dalam hal ini tanah. Maka dalam perkara tanah, almarhum engkong dan nyai saya, seperti juga orang Betawi lain yang kebetulan paham agama, sering mengingatkan: “Jangan maen-maen ama urusan tanah. Balesannyah kontan.”
Engkong saya sendiri kebetulan tidak terlibat sebagai “centeng” lantaran ia hanya penggemar burung perkutut dan kutilang yang memiliki pekerjaan sebagai “tukang ngebersihin kuburan” di pemakaman kampung kami dan tanahnya sangat luas dengan hasil kebun yang beragam. Kedua orangtua saya, dalam banyak pembicaraan, membahas hal serupa mengenai sepak terjang para jawara tadi dan ajal buruk yang menimpa mereka.

MAKAN TANAH DAN PUSAKO TINGGI
Setelah sebab pertama dan sebab kedua yang merupakan sebab ekstern, sebab ketiga atas hilangnya kampung-kampung orang Betawi secara perlahan-lahan adalah kesediaan mereka sendiri untuk melepas tanahnya—sebab intern. Bukan rahasia lagi bahwa orang Betawi begitu mudah menjual tanah miliknya untuk keperluan sesaat, seperti biaya pernikahan anak atau dirinya, menikah lagi, pergi haji, membeli motor, membeli barang-barang pengisi rumah peningkat harga diri, atau bahkan untuk makan dan biaya hidup sehari-hari (saya mengistilahkannya sebagai “makan tanah”), meski tanah itu merupakan warisan satu-satunya yang ditinggalkan orangtua. Ini berbeda sekali dengan budaya matrilineal seperti yang dikenal pada masyarakat Minangkabau dimana tanah dipegang oleh pihak perempuan secara turun-temurun dan hampir tidak pernah diperjualbelikan lantaran bisa menghilangkan jejak keturunan mereka. Tanah ini disebut sebagai pusako tinggi.
            Seorang teman kecil di Pondok Pinang, belasan tahun lalu pernah saya ingatkan untuk tidak menjual rumah keluarga besarnya, lantaran nama jalan yang kami tempati diambil dari nama buyutnya. Sebab saat itu terdengar kabar bahwa orangtua dan encang-encing-nya, berniat menjual rumah itu untuk dibagi-bagikan sebagai warisan setelah wafatnya sang engkong. Mereka berniat pindah ke daerah lain di Ciputat yang harga tanahnya masih lebih murah. Saya berpendapat, rumah itu sangat besar maka bisa ditempati banyak orang. Mereka yang sudah berkeluarga, mungkin sebaiknya mengontrak di tempat lain sehingga privasi pun bisa terjaga.  
            Saya mengingatkan betul hal ini lantaran pertimbangan jangan sampai orang tidak tahu dimana keberadaan anak-cucu-cicit dari sang empunya nama jalan dan jejak keturunan mereka pun hilang. Waktu itu saya mengistilahkan, ibarat singkong yang tercerabut seluruhnya maka tidak akan ada lagi bekasnya. Mungkin orang asli Pondok Pinang, atau endonan (pendatang) yang sudah puluhan tahun tinggal di sana, akan tahu siapa sang buyut dan siapa saja keturunannya. Tapi orang yang baru beberapa bulan tinggal? Tentu jangan diharapkan tahu.
            Namun apa daya, sang teman tidak mampu menahan keluarga besarnya untuk mengurungkan niat. Kini mereka hidup berpencaran dengan mengontrak rumah. Tidak tersisa lagi satu orang pun keturunan itu di sana. Hanya tersisa nama sang buyut sebagai nama jalan.   
            Begitulah…

ANJING-ANJING KOMPENI DAN SALAH SENDIRI
Saya tidak menyalahkan dan mempermasalahkan penggusuran yang terjadi di kampung-kampung orang Betawi yang dilakukan pemerintah. Lantaran sebagai ibukota negara atau bukan, Jakarta pasti akan berubah dan tidak mungkin terus menjadi kampung sederhana dengan bangunan-bangunan yang juga sederhana sehingga tertinggal dibanding kota-kota lain. Dan perubahan ini pasti terjadi pula di daerah-daerah lain yang mengalami pembangunan. Saya hanya menyalahkan dan mempermasalahkan bagaimana proses penggusuran itu, yang kerap diwarnai intimidasi dan kekerasan fisik, dengan uang pengganti yang amat sangat seadanya. Termasuk juga yang dilakukan oleh pihak swasta dalam hal ini konglomerat perumahan—yang dibeking penuh “anjing-anjing kompeni”.[5]
Pada kasus-kasus seperti ini kiranya masuk akal dan termaklumi jika orang Betawi mengatakan “kampungnya ilang diambil orang”. Namun pada kasus tanah-tanah yang dijual dengan cara sah atas kesediaan sendiri lantaran kebutuhan ekonomi—seperti untuk biaya pernikahan, menikah lagi, pergi haji, membeli barang-barang peningkat harga diri, atau bahkan untuk makan dan biaya hidup sehari-hari—tentunya sangat keliru jika orang Betawi menyalahkan orang lain lantas mengatakan “kampungnya ilang diambil orang”.
Pan emang kemaoannyah kendiri!
Akhirul kalam, di sisi lain saya hanya mengernyitkan dahi melihat orang-orang yang membuat kekacauan di daerah-daerah lain nusantara dan menuntut ini-itu dengan meminta pemakluman orang seluruh negeri bahwa hidupnya lebih buruk dibanding orang lain khususnya di Jakarta, dan merasa dirinya lebih menderita dan lebih ditindas oleh penguasa. Sebab bukan hanya mereka yang ditindas, bukan hanya mereka yang menderita. Tidakkah mereka membaca, salahsatunya saja, sejarah penindasan berupa penggusuran tempat tinggal dan penyampingan peranan yang dilakukan oleh penguasa Orde Lama dan Orde Baru terhadap orang Betawi di tanahnya sendiri—layaknya Indian di Amerika dan Aborigin di Australia?
Tabe!

Pondok Pinang, 280211





[1] Tahun berikutnya, November 1963, di tempat yang sama Soekarno menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) untuk menyaingi Olimpiade Dunia. Ajang ini ia adakan setelah Indonesia menyatakan diri keluar dari International Olympiade Commite lantaran IOC menganggap Indonesia membawa politik kedalam olahraga—dengan menolak Israel dan Taiwan pada Asian Games IV. Penyelenggaraan Asian Games IV memang penuh nuansa politik, lantaran saat itu hubungan Indonesia dengan negara-negara barat—yang berpihak pada Malaysia sejak Indonesia berkonfrontasi dengan negara itu—sedang memanas.
[2] Kesalahkaprahan telah menjadikannya sebagai “Kebayoran”, yang diambil dari ejaan Belanda “Kebajoran”. Padahal “Kebayuran” berasal dari “bayur” (sejenis pohon jati, pterosprmum javanicum). Hingga kini dalam penyebutan lisan, orang Betawi menyebutnya dengan “Kebayuran”, karena memang tidak ada kosa kata “bayor”.
[3] Pada awal dekade tahun 1990-an sempat ramai terdengar kabar bahwa penghuni Perumahan Pondok Indah meminta kode pos sendiri—yang  berarti  tidak lagi bergabung dengan Pondok Pinang (12310). Lantaran saat itu mini-seri “Beverly Hills 90210” sedang digemari dan para remaja di sana tiru-tiru gaya pergaulan dan pakaian para pemerannya, seorang teman sempat berkata kepada saya, sebaiknya Pondok Indah diberi kode pos 90210 supaya borjuis mudanya semakin serasa tinggal di Beverly Hills.
[4] Alasan “untuk fasilitas umum” juga terjadi ketika akan digusurnya Kuningan dan daerah-daerah lain di Jakarta.
[5] Dipinjam dari istilah yang digunakan Pitung dan Dji’ih untuk oppas dan antek-antek kompeni dalam film Si Pitung  (PT Dewi Film, 1970, Warna, 131 Menit, sutradara: Nawi Ismail, cerita: Lukman Karmani, skenario: SM Ardan). Pitung dan Dji’ih diperankan aktor Dicky Zulkarnaen dan Sandy Suwardi Hassan. Kini keduanya telah tiada.

CERPEN: Roema Dasima

Catatan:  
Cerpen ini telah dimuat di Jurnal Sastra, edisi perdana, September 2012. Akan tampil dalam antologi tunggal kedua bernuansa Betawi karya CGR, "Djali-Djali Bintang Kedjora" (Penerbit Padasan, Oktober 2013)


Rembrandt Theatre. Pertoendjoekan film jang dikloearken oleh Batavia Motion Picture, Batavia. Roema Dasima dengen Reggieseuer dipegang sama satoe ahli nama Lie Mo Tie. Dari hari Senen tanggal 8 September 1930 sampe hari Minggoe tanggal 14 September 1930. Liat bagimana bangsa Indonesier tjoekoep pande boeat maen film, tida kala dari laen-laen film kloearan Europa atawa Amerika. Ini ada satoe tjerita jang betoel soeda kedjadian di Tana Betawi[1].

***

Boeroeng dalem Koeroengan.
Ini temponja boeat saja istirahat. Sagala roepa kepoesingan jang ada di dalem saja poenja kapala, termasoek sagala roepa rasa kapengen jang ada di dalem dada saja, soeda waktoenja diberhentiken, lantaran sekarang ada temponja saja misti penoehken haknja saja poenja badan, haknja saja poenja mata teroetamanja.
Saja soeda tentoe tida merasa latjoer[2] tinggal di sini, saöepama jang diliat sama orang-orang laennja sekadar boewat kasenangan dan kamewahan, lantaran di sini samoewa-samoewa apa jang saja dan prampoean-prampoean laen boeat kapengen sampe termimpi-mimpi di dalem tidoernja, djoega tentoenja lelaki-lelaki jang poenja pikiran waras, ada tersedia dengen lantas, makanja tida perloe sampe poesing kepala boeat pikirken itoe.
Tida tjoema itoe sagala roepa makanan-makanan enak beroepa ikan, telor, ajam, daging sampi atawa kerbo, sagala matjem pakean beroepa kabaja, slendang, kaen-kaen batik Cheribon, Pekalongan, Lasem, dan Solo, kaen songket, selop klengkam, melengken djoega sagala roepa periasan emas jang tida koerang beroepa giwang, rante, gelang, tjintjin, termasoek djoega inten-berlian. Maka troesa[3] dibilang lagi sekadar tjoema pantek konde[4] model kembang roos[5], peniti mata inten, selepa, dan kontji-kontji emas jang harga samoewa-moewanja ada lebi dari f.3.000.[6] Djadi saja tida perloe lagi pake jang namanja soewasa atawa emas sepoehan di tangan, leher dan koeping saja, boeat aboei orang soepaja terkagoem-kagoem terhadep diri saja. Belon lagi oewang blandja jang saban boelan dikasiken sama swami saja sadjoembla f.100, oewang mana saja simpen di dalem saja poenja tjelengan.
Pakerdjahan saja sehari-hari di ini roema tjoema beromong-omong sama Ma Boejoeng, saja poenja baboe[7] kapertjajaän, liat-liat kembang-kembang di dalem kebon kembang, awasken ikan-ikan pada bernang di dalem kolam, preksa kaädahan di dalem roema, pergi blandja ka pasar naek delman, temenin maen boneka pada saja poenja anak prampoean nama Nancy, atawa merenoeng-renoeng sadja di dalem saja poenja kamar, lantaran samoewa pakerdjahan roema soeda dioeroes beres sama itoe samoewa baboe dan djongos[8].
Saja poenja swami sama sakali tida kasi tangan saja pegang sagala pakerdjahan-pakerdjahan kotor apalagi berat, kerna katanja saja itoe ada istrinja, boekan baboenja.
Toean Williams, saja poenja swami, jang atsalnja ada orang dari Negri Inggris dan soeda lama tinggal di ini Negri Hindia-Olanda[9], memang ada sangat sajang kapada diri saja. Tida bole saja kliatan lemes atawa poetjet barang sedikit, atawa romannja soeda kliatan bingoeng dan ia soeda lekas-lekas panggil dokter kenalannja soepaja sigra dateng boeat preksa saja poenja kawarasan. Dia tida sakali pertjaja sama pakerdjahannja sagala tabib[10]  atawa sinshe[11]  lantaran katanja orang Europa lebi poenjaken kabisaän boeat obatin orang. Apalah lagi kapada sagala doekoen-doekoen Slam[12] jang katanja tjoema bisa kasi djampe-djampe boeat oesir setan-memedi sembari kasi obat dari akar-akar pepoehoenan sama daon-daonan.
Kapada Nancy, kitaorang poenja anak samengga-mengganja, dia djoega tida koerang telatennja. Perna satoe tempo moekanja Nancy ada rada sedikit poetjet kerna masoep angin dan badannja dingin, saja poenja swami sigra panggil dateng doea dokter sekaligoes. Padahal saja soeda bilang jang itoe penjakit sama sakali tida berbahaja, dan di kampoeng, sawaktoe saja masi ketjil, saja tjoema perloe dikerokin pake doewit gobangan[13], diolesin bawang merah jang diparoet, teroes ditjampoer sama minjak klapa. Maka tida perloe preksa kloearken alat-alat, moeloet disoeroe boeka, mata disoeroe liat, atawa kapala diraba-raba, lantas kloearken oewang.
Sabelonnja tinggal di sini kitaorang tinggal di Desa Tjoeroeg bilangan Tangerang, tida djaoe dari roema tempat saja perna berkerdja, ijalah roemanja Toean Bonnet di mana saja perna mendjadi baboe dan dia sebagai kerani[14]. Lantaran Toean Williams senang sama saja poenja kabisaän memasak dan mendjaït sagala roepa pakean, kabisaän jang saja dapet dari Njonja Bonnet, dia minta saja bersadia boewat mendjadi istrinja, katanja salaennja saja poenja roepa ada bagoes, koelit saja poeti-koening, dan ramboet saja djoega pandjang item, sahingga membikin dia sampe termimpi-mimpi saban malem. Tetapi nantinja saja tinggal satoe roema sama dia tanpa menika pake tjara orang Slam di depan Imam[15]  atawa pake tjara orang Serani[16] di dalem gredja, lantaran saja ini tjoemalah satoe istri piaraän, jang orang sini biasa seboet “njaï”. Itoe tempo Toean Williams kasi saja sagala matjem djandji boeat saja poenja kasenangan nanti, saöepama saja tida kaberatan.
Tida taoenja saja ada poenja babah[17]  mara besar waktoe mendenger tjeritaän saja itoe.
“Kaloe loe kawin ama kapir[18] berarti loe djadi kapir! Orang lelaki kapir kaga soenat! Goea kaga redo poenja anak kapir! Mendingan loe mati adjah ama toeh kapir!”
Achirnja saja kloear dari roema tempat saja dilahirken sama saja poenja enja[19]  dan dikasi nama sama saja poenja babah, jang pernanja ada di Kampoeng Koeripan, Desa Paroeng, Residentie Buitenzorg[20].
Sebabnja ijalah saja soenggoe soeda bosen idoep soesa.
Ternjata keboektian bahoea Toean Williams bener-bener ada orang jang baik lagi djoedjoer dan bisa pegang samoewa perkatahannja.
Sasoedanja delapan tahon berkerdja di roemanja Toean Bonnet, achirnja Toean Williams pinda di Betawi, lantaran itoe toean tana Tjoeroeg soeda djoeal samoewa tananja. Di Betawi dia kemoedian bli satoe roema besar di bilangan Gambir, di pinggiran Kali Tjiliwoeng. Dia dapet pakerdjahan lagi di Kota, di satoe toko kapoenjahannja orang Inggris; saban hari pergi dari pagi sampe poekoel lima sore baroe kombali.
Tapi di ini roema jang besarnja boekan maen, megah dan mewahnja tida terkira, jang orang-orang kampoeng biasa seboet “gedong”[21], saja rasaken betoel diri saja soenggoe kesepian. Betoel, koetika Toean Williams sehari-hari berada di loear itoe saja bisa mengobrol sama orang-orang bangsa saja jang djadi boedjang[22], oetamanja Ma Boejoeng, tetapi saja rasaken betoel bagitoe soengkan atawa takoetnja marika terhadap saja, soeda tentoe kerna saja ada iaorang poenja madjikan, maka saja tida bisa deket sama marika. Tetangga-tetangga djoega tida ada satoe jang soeka dateng sekadar boeat mengobrol di galerij[23] blakang, tentoe sadja lantaran marika takoet sama saja poenja swami maski dia lagi tida ada di roema.
Di waktoe malem memang sering djoega ada banjak tetamoe dateng, apalagi hari Saptoe malem Minggoe, tetamoe lelaki dan prampoean jang pesta minoem-minoem sampe mabok sembari ketawa-ketawa sampe poekoel tiga, makanja roema mendjadi rame. Tapi en toch tetap sadja saja merasa kesepian, sebab saja tida bisa toeroet bitjara sama marika, lantaran saja tida mengarti bahasa marika, dan marika djoega tida ada mengarti saja poenja omongan. Salaennja itoe Toean Williams djoega slaloe pesen wanti-wanti soepaja saja tida terlaloe deket dengen dia poenja tetamoe, sebab dikoeatir saja nanti sala bitjara.
Tentoe sadja, sebabnja jang bener, ada lantaran saja tjoema orang kampoeng jang bodo, tida sakola, lagian tjoema satoe istri piaraän.
Sering saja peratiken boeroeng di dalem koeroengan, jang digantoeng di moeka roema saja sendiri. Boeloenja teramat bagoes, begitoe poela swaranja, lantaran djongos selaloe sediaken makanan dan minoem jang selaloe baroe, bersih lagi banjak. Tapi kaloe matanja itoe boeroeng saja perhatiken, dia kliatan sedih padahal bagoes betoel dia poenja koeroengan, begitoe djoega dia poenja boeloe.
Tentoelah itoe poela jang itoe boeroeng pikirken tentang diri saja.

***

Koentoem Boenga Lajoe.
Ini waktoenja boeat saja istirahat. Sagala matjem kepoesingan jang ada di dalem saja poenja kepala, termasoeknja sagala matjem kamaoeän jang ada di dalem dada saja, soeda waktoenja diberhentiken, lantaran sekarang waktoenja saja misti penoehken hak saja poenja badan, hak saja poenja mata teroetamanja. Ini roema kaïdoepan saja sekarang.
Saja kepikiran, soenggoe latjoer betoel idoep saja sekarang. Saja soeda terdjato ka dalem djoerang lantaran itoe piliän, roepa-roepanja soelit boeat saja kombali mandjat ka atas. Tapi itoe samoewa ialah kasalaän saja sendiri, lantaran pertjaja sadja sama segala perkatahannja Samioen, siapa tempo hari djandjiken idoep tentrem sama lelaki Slam, selamet doenia acherat. Dia djoega bilang jang dia bakal tjereïn istrinja nama Hajati boeat menika sama saja, lantaran katanja itoe Hajati ada satoe prampoean tida bermoraal, jang kasar moeloetnja, teramat djelek ati-boedinja, tida poenja rasa hormat terhadep dia poenja swami, djoega terhadep dia poenja mertoea, artinja Samioen poenja enja nama Embok[24] Saleha siapa soeda mendjadi djanda, lagi poela Hajati soenggoe kegilaän betoel maen tjeki[25].
Seäri-ari di sini saja ada mendjadi boedaknja marika bertiga, ijalah Samioen, Embok Saleha sama Hajati. Moeloetnja itoe doea prampoean ada sabegitoe kasarnja terhadep diri saja sampe saja merasa dianggep saperti boedak matjem si Koentoem, satoe prampoean jang tida poenja hak apa-apa katjoewali boewat diprenta lakoeken ini-itoe maoenja dia poenja toean dan njonja[26].
Pakean saja sekarang tjoema badjoe tjita boenga Siam[27] serta kaen item bekas dipake Hajati, sebab itoe saja poenja samoewa kabaja, slendang, kaen-kaen batik, kaen songket, dan selop klengkam, menoeroet perkatahannja Samioen, saja tida bole lagi pake, lantaran katanja itoe samoewa ada pakeannja orang kafir. Makan djoega tjoema sama ikan asin atawa sajoer asem, tida perna lagi makan makanan enak beroepa ikan, telor, ajam, daging sampi atawa kerbo.
Itoe doea prampoean poenja sikep ada begitoe keliwatan sama diri saja sahingga sepertinja masing-masing anggep dirinja ada satoe njonja besar jang deradjatnja melebihi istrinja Toean Besar[28] dan saja tjoema satoe orang bodo jang tida poenja deradjat. Padahal saja ada poenja barang-barang jang saja ada bawa dari gedong beroepa giwang, rante, gelang, tjintjin, inten berlian, pantek konde model kembang roos, peniti mata inten, selepa, kontji-kontji emas, termasoek di dalemnja oewang, jang kaloe ditaksir samoewa ada berdjoembla lebi dari f.58.600, brikoet satoe tempat tidoer dengen klamboenja, satoe medja dan enam krosi, samoewanja ada dipegang Samioen lantaran katanja begitoe atoeran igama.
Tapi itoe Samioen djarang liat saja dikasi presen kekasaran perkatahan lagi poekoelan. Dia djoega tjoema diam sadja koetika saja bilang bahoea saja sering dikasi perlakoean dan perkatahan kasar.
Di ini roema jang temboknja tjoema beroepa bedeg[29] jang dikelilingin djaro[30] bamboe jang dianjam sama di depannja ada toemboe poehoen kokosan[31] dan mangga, saja jang doeloe itoe begitoe dihormat dan disajang sama saja poenja swami, djoega saja poenja boedjang-boedjang, sekarang misti djadi baboenja orang-orang jang tida bermoraal lagi koerang adjar sama saja poenja deradjat.
Sering sekarang saja kepikiran, saja ada sama sadja dengen itoe koentoem boenga jang soeda lajoe koentjoepnja dari jang doeloenja perna megar.
Tentoelah itoe poela jang si Koentoem pikirken tentang diri saja.

***

Roema Kaäbadian Dasima.
Ini waktoenja boeat saja istirahat. Sagala matjem kepoesingan jang ada di dalem saja poenja kepala, termasoek sagala matjem kamaoeän jang ada di dalem dada saja, soeda waktoenja diberhentiken, lantaran sekarang waktoenja saja misti penoeken panggilan poelang. Saja nanti tidoer lama lantaran inilah roema kaäbadian saja, dan djoega roema kaäbadian orang-orang, kerna samoewa orang nanti bakal tinggal salamanja di dalem ini roema kaäbadian.
Satoe lelaki nama Poewasa, jang orang seboet Djago Kampoeng Kwitang, taoe-taoe dia sabet leher saja dengen dia poenja piso sekin,[32] di kebon belakang roemanja Ma Moesanip jang berwates kali, koetika rombongan lagi pada pergi ka Kampoeng Ketapang boeat mendenger topeng dalang[33] batjain Hikajat Amir Hamdjah[34]  jang dibawaïnnja bagoes sekali.
Darah saja moentjrat bikin merah dia poenja pakean, kemoedian dia dan Samioen angkat saja poenja lajon[35] dan boewang ka kali dengen diaörang poenja kekoeatan. Si Koentoem jang ikoet pergi pegang tjolen[36] diantjem soepaja djangan brani boeka swara, maka dia manggoet-manggoet sembari romannja poetjet panas-dingin lantaran tida maoe menderita.
Mendenger itoe samoewa warta jang orang sampeïn, orangtoea saja djato pangsan, dan orang-orang djoega djadi takoet liwat di sitoe lantaran saja diseboet-seboet telah djadi memedi.
Mengartilah saja sekarang sama swaranja boeroeng koetjitja, jang orang Soenda namaken manoek haoer, jang saban pagi kemaren-kemaren mentjlok di atas poehoen mangga di pinggir roemanja Samioen toekang delman, jang sering ditimpoek pake batoe sama si Koentoem, tetapi dia tida maoe pergi djaoe, dan sabentar-sabentar berboeni deket roema begitoe djelasnja pamer swara boekannja gagoe:
“Dasima lari! Loe mati! Dasima lari! Loe mati!”
Nanti saja bakal bikin peritoengan sama Poewasa, di Padang Ma’sjar tempat seleseken sagala oeroesan. Saja bakal menagi dia poenja kebiadaban, soepaja dia mengarti terang bahoea njawa menoesia itoe ada kepoenjaannja Toehan Allah Jang Koewasa.
Saja tida ridlah dibikin mati dengen tjara kedji, lantaran saja tida poenja sala sama dia barang sabidji.
Nanti saja bakal tanjaken kapada dia jang djahat, siapa jang soeroe sama kasi dia oepahan batangan emas atawa sekaroeng pasmat[37]:
Hajati jang maoe koeasaï saja poenja harta-banda lantaran kesoeroepan setan tjeki, atawa Toean Williams jang saja tinggalken makanja mendjadi sakit hati?

***

(Saja ada Tan Seng Hoat, saörang Tionghoa Peranakan jang lahir di Gang Petjenongan, Batavia, di dalem tahon Mesihie 1872. Saja merasa misti toelisken itoe kedjadian, lantaran ada kasi banjak peladjaran kapada saja serta orang-orang laennja, makanja djangan sampe terloepaken oleh sebab terbawa angin ka kiri dan ka kanan. Ini tjerita saja dapet denger koetika masi ketjil dari moeloetnja satoe prampoean jang perna berkerdja djadi baboe tjoetji di roema gedongnja Toean Edward Williams, artinja Njai Dasima poenja swami. Saja toelisken ini tanpa saja kasi lebi atawa kasi koerang. Aken tetapi, kaloe memang boekan begitoe kedjadian jang sasoenggoenja, maka saja moehoen mahap sabesar-besarnja kapada samoewa orang jang ada sempet membatja, kerna ini soeda djadi tjerita boekannja lagi berita. Batavia, Minggoe, 11 September 1927).

Pondok Pinang, 060511

Catatan:
1. W.V. Sykorsky dalam tulisannya, “Some Additional Remarks on Antecedents of Modern Indonesian Literature” (BKI, 1980) meragukan sosok G. Francis sebagai penulis Tjerita Njai Dasima dan Kho Tjeng Bie & Co sebagai pihak yang menerbitkannya di Batavia pada 1896. Sebab dalam buku Tjerita Njai Dasima: Soewatoe Korban daripada Pemboedjoek, nama G. Francis hanya ditulis sebagai “jang mengeloewarken” dan Kho Tjeng Bie & Co tidak tercantum. Meski demikian banyak orang meyakini bahwa G. Francis adalah pengarang sekaligus penerbit lantaran pada akhir abad ke-19 sudah dikenal luas toko buku G. Francis di “Molenvliet (Kebon Djeroek) 10/63, Batavia” (Disarikan dari “Fenomena Dasima” karya Ibnu Wahyudi).  
2. Pada tahun 1960 sastrawan Betawi SM Ardan membuat versi baru dengan judul Njai Dasima dan dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Warta Bakti di tahun yang sama. Lima tahun kemudian dimuat ulang sebagai cerita bersambung di Majalah Varia dan dibukukan Triwarsana (1965)—kembali diterbitkan Pustaka Jaya (1971) dan Masup Jakarta (2007).
3. Karya G. Francis sendiri pernah difilmkan pada masa film bisu hitam-putih lewat Njai Dasima (Lie Tek Swie, Tan’s Film, 1929, dengan Noerhani pemeran Nyai Dasima, yang hanya sekali ini saja main film)—yang menurut pihak studio untuk menarik perhatian penonton-penonton Boemipoetra dari klas moerah”—setelah terkenal dalam banyak pertunjukan lenong dan toneel Melajoe (sandiwara Melayu) di Betawi. Keberhasilannya diikuti Njai Dasima II (Lie Tek Swie, Tan’s Film, 1930) dan Nancy Bikin Pembalesan (Lie Tek Swie, Tan’s Film, 1930). Pada masa film bicara hitam-putih muncul Njai Dasima (Bachtiar Effendy, Tan’s Film, 1932), serta sebuah film yang ceritanya sangat berbeda dengan versi G. Francis hingga disebut “modern versie”, Dasima (Tan Tjoei Hock, Action Film & Java Industrial Film, 1940). Pada masa film bicara warna juga dibuat Samiun dan Dasima (Hasmanan, Chitra Dewi Film Production, 1970).





[1] Cerpen ini ditulis dalam bahasa Melayu Tionghoa (biasa disebut juga Melayu Pasar atau Melayu Rendah) yang populer digunakan pada tahun 1870-an hingga tahun 1940-an. Pramoedya Ananta Toer menyebutnya sebagai Melayu Lingua Franca, Melayu Asimilatif, atau Melayu Pra-Indonesia (Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia, Lentera Dipantara, 2003). Struktur dan kosa katanya berbeda dengan bahasa Melayu Balai Pustaka (biasa disebut juga Melayu Tinggi, Melayu Diplomasi, atau Melayu Kitab). David Kwa, pemerhati budaya Tionghoa Peranakan, menjadi penyunting untuk cerpen ini.
[2] Sial.
[3] Tidak usah.
[4] Tusuk sanggul.
[5] Bunga mawar.
[6] F merupakan singkatan dari “florijn” (Belanda), simbol untuk mata uang gulden pada jaman Hindia Belanda.
[7] Pembantu perempuan untuk urusan dalam rumah (memasak dan lainnya).
[8] Pembantu laki-laki untuk urusan luar rumah (kebun, ternak dan lainnya).
[9] Hindia Belanda, nama untuk Indonesia pada jaman penjajahan Belanda.
[10] Sebutan untuk juru pengobatan dari etnis Arab.
[11] Sebutan untuk juru pengobatan dari etnis Tionghoa.
[12] Islam, maksudnya Bumiputra atau Pribumi.
[13] Disebut juga benggolan. Satuan mata uang logam senilai 2,5 sen.
[14] Juru tulis. Orang Belanda menyebutnya klerk.
[15] Maksudnya penghulu.
[16] Nasrani dalam lidah Betawi.
[17] Babah atau Baba adalah penyebutan dan panggilan untuk “ayah” dalam bahasa Betawi dengan sub-dialek Betawi Pinggir (Betawi Ora). Sedangkan dalam bahasa Betawi dengan sub-dialek Betawi Tengah (Betawi Kota) adalah “babeh” atau “babe”.
[18] Kafir dalam lidah Betawi. Merujuk pada orang yang beragama non-Islam.
[19] Enyak atau nyak adalah penyebutan dan panggilan untuk “ibu” dalam bahasa Betawi, baik dalam sub-dialek Betawi Pinggir (Betawi Ora) maupun Betawi Tengah (Betawi Kota).
[20] Karesidenan Bogor, kini sudah tidak ada. Hanya ada Kabupaten Bogor.
[21] Maksudnya “gedung”, rumah besar dengan dengan tembok batu.
[22] Sebutan untuk babu dan jongos.
[23] Beranda.
[24] Serupa dengan Mpok, hanya saja untuk perempuan yang usianya sudah agak tua.
[25] Permainan judi dengan menggunakan kartu.
[26] Pada masa itu perbudakan masih berlangsung dan baru dihapuskan Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Januari 1860.
[27] Kain bermotif bunga-bunga buatan Siam (nama lama Thailand). Cita atau cit adalah kain atau bahan kain (Betawi).
[28] Maksudnya Gubernur Jenderal. Biasa disebut juga GG (Gouverneur Generaal).
[29] Anyaman bambu berbentuk lembaran besar, biasa digunakan sebagai dinding rumah. Dari satu batang bambu umumnya dihasilkan delapan bagian yang diambil dari keempat sisinya.
[30] Pagar (Betawi).
[31] Pohon besar dengan buah seperti dukuh.
[32] Sejenis pisau berukuran pendek.
[33] Pendongeng bayaran/pencerita sahibul hikayat.
[34] Hikayat Amir Hamzah, salahsatu judul hikayat dari khasanah kisah penyebar dan pahlawan Islam. Judul lain yang dikenal adalah Hikayat Iskandar Zulkarnain dan Hikayat Muhammad Hanafiyyah. Sastra pada jaman setelah masuknya Islam juga mengenal khasanah kisah para nabi sebelum Nabi Muhammad, kisah Nabi Muhammad dan keluarganya, kisah para sahabat Nabi Muhammad, serta kisah  khayalan dengan tokoh dari Nusantara. Umumnya tidak diketahui nama pengarang dan tahun pembuatannya. Seluruhnya, naskah-naskah hikayat dalam beragam jaman dan tema yang ada berjumlah ratusan.
[35] Mayat.
[36] Obor (Betawi).
[37] Maksudnya Spaansch mat, mata uang logam yang digunakan di Hindia Belanda ketika berada dalam pengaruh Spanyol dan Portugis (abad 16-18). Hingga setengah abad setelahnya masih beredar di kalangan pribumi sebagai mata uang yang laku meski tidak sah. Pada 26 Oktober 1811 kemudian diganti dengan rupiah Hindia Belanda dengan nominal 15 picis (satu picis nilainya 10 sen), dicetak di Surabaya. Nama lain dari picis adalah ketip.