Rabu, 03 November 2010

Teroka: Optimisme dalam Prosa Betawi, Kompas, Sabtu, 18 Juli 2009 (Oleh Damhuri Muhammad)

Khazanah Betawi yang terhidang dalam prosa tidak lepas dari peran kepengarangan SM Ardan (1932- 2006) sebagaimana terlihat dalam bukunya Terang Bulan Terang di Kali (1955, cetak ulang oleh Masup Jakarta, 2007). HB Jassin mencatat, karya-karya Ardan sangat membantu ahli ilmu bahasa, ilmu bangsa-bangsa dan kemasyarakatan dalam penelitian tentang Jakarta.Dialek lahir, tumbuh, dan mati. Adat dan kebiasaan muncul, berubah, dan hilang. Begitu pula permainan anak-anak Betawi yang lahir, tumbuh, sirna. Amat besar jasa Ardan dalam mendokumentasikannya.Menurut Ajip Rosidi (2007), istilah ”cerita” pada antologi cerita pendek SM Ardan itu kurang tepat karena (kecuali satu-dua cerpen) tidak ada ceritanya sama sekali. Periksalah ”Pulang Pesta”, ”Pulang Siang”, atau ”Bang Senan Mau ke Mekah”, tak menjalin cerita sehingga yang terasa hanya ”suasana”.Gambang Jakarte karya Firman MuntacoKalaupun ada cerpennya yang mengandung ”cerita”, bagi Ajip, cerita itu tidak seru, menyehari, gampang dijumpai dalam keseharian orang-orang kecil Jakarta masa itu. Tapi, justru di sinilah keistimewaan Ardan. Boejoeng Saleh (1955), dikutip JJ Rizal (2007), mencatat, ibarat seorang kameramen, Ardan punya lensa tajam. Ia tak hanya memotret realitas eksotik-romantik, tapi juga realistik; kenyataan yang sepahit-pahitnya.

Betawi masa kiniApabila pengalaman baca terhadap karya-karya Aman Dt Majoindo (1896-1969), M Balfas (1921-1975), Firman Muntaco, hingga SM Ardan menimbulkan kesan: ”Ternyata orang Betawi seperti itu ya”, prosa-prosa berlatar Betawi garapan para pengarang masa kini mendedahkan sebentuk keheranan: ”Ternyata orang Betawi udah nggak kayak gitu ya…”.

Tengoklah Rumah Kawin (2004) dalam antologi cerpen Zen Hae, Sebelas Colen di Malam Lebaran (2008) karya Chairil Gibran Ramadhan, Rosid dan Delia (2008) novel karya Ben Sohib, dan yang paling mutakhir, Kronik Betawi (2009) karya Ratih Kumala. Resistensi masyarakat Betawi terhadap modernisasi Jakarta yang semakin mengaburkan identitas dan kejatidirian mereka ditampakkan karya-karya pengarang muda itu.Zen Hae dalam ”Kelewang Batu”, misalnya, melakukan demitologisasi kisah usang tentang para pemburu mestika api milik naga raksasa. Maka, pertarungan hebat tak terhindarkan, hingga naga itu tumbang. Selepas pertarungan itu, danau kering, tanah tempat matinya naga itu menjadi sebuah kampung yang kelak disebut Kampung Naga.Bekas-bekas jejak naga menjelma sungai yang kelak dikenal ”Kali Bangkai”. Penduduk setempat menyebutnya Kali Bangke, dan keturunan berikutnya melafalkannya Kali Angke. Begitu salah satu versi riwayat Kali Angke yang kini telah dilupakan.Para pendatang hanya tahu ”Menteng” sebagai kawasan gedongan, hunian orang-orang tajir dan berada , padahal ”menteng” sejatinya adalah nama buah. Begitu pula ”bintaro” yang sesungguhnya adalah nama pohon. Seiring dengan semakin menterengnya wajah Jakarta, tak hanya khazanah tanaman itu yang terlupakan, tetapi sejarah, kearifan, dan memori kolektif tentang Jakarta juga tenggelam dalam ingar-bingar panggung kosmopolitanisme.Suasana nostalgik—sekaligus ironik—semacam ini tergambar dalam novel Kronik Betawi (2009), karya Ratih Kumala, yang memperlihatkan wajah Jakarta sebagai ironi.Kronik Betawi mengisahkan sebuah keluarga Betawi, pewaris usaha peternakan sapi perah. Setelah berkali-kali mengelak dari bujuk goda dan iming-iming untuk jangan melepas tanahnya di daerah Kuningan, Jaelani—kepala keluaga itu—akhirnya takluk juga, menyusul sejawat dan kerabat yang telah lebih dahulu angkat kaki.Keluarga Jaelani pindah ke Ciganjur, sementara sapi-sapi perah itu diboyongnya ke Pondok Rangon. Meski telah tersingkir, Jaelani tidak tertarik membangun rumah-rumah kontrakan seperti sejawat-sejawatnya yang ujuk-ujuk telah menjadi juragan. Tapi, bertahan dengan etos kemandirian orang Betawi ternyata tidak gampang. Japri dan Juned, dua anak laki-lakinya, lebih tergiur menjadi tukang ojek ketimbang mengurus sapi sehingga usahanya itu nyaris bangkrut. Optimisme BetawiSetiap tokoh dalam Kronik Betawi memikul beban persoalan orang Betawi masa kini. Jika Jaelani harus menerima kenyataan tentang anak-anak yang tidak punya etos mandiri, Jarkasi (adik Jaelani) berhadapan dengan betapa sulitnya mempertahankan kesenian tradisional Betawi pada kurun R & B dan Jazz ini. Ia mendedikasikan hidupnya demi kelestarian gambang keromong, semacam orkes, perpaduan antara gamelan, musik Barat, dan corak kesenian China.Jarkasi jatuh bangun sebagai seniman Betawi. Baginya, tanah kelahiran bolehlah lenyap ditelan gemuruh perubahan Jakarta, tetapi Betawi masih punya lenong dan gambang keromong, yang sedapat-dapat harus tetap hidup. Seni satu-satunya milik mereka yang belum terbeli. Optimisme dalam menyongsong masa depan Betawi yang gemilang tampak kentara pada kerja keras Salomah guna melanjutkan pendidikan anaknya (Fauzan) hingga jenjang universitas, bahkan mendapat beasiswa ke Amerika Serikat.Bagian ujung Kronik Betawi menampilkan Salomah-Jaelani sebagai manusia Betawi yang terobsesi hendak mencetak kaum intelek agar orang Betawi tidak sekadar menjadi juragan kontrakan, calo tanah, atau tukang ojek. Sebagaimana dibuktikan oleh sejarah terkini, Jaelani ingin kaumnya menjadi orang-orang yang diperhitungkan, disegani, dan bukan kuli di kampung sendiri.

* Penulis adalah cerpenis, editor, buku terbarunya "Juru Masak" (2009)
Tulisan ini juga dimuat dalam "Darah-Daging Sastra Indonesia" (Jalasutra, Maret 2010)--kumpulan esei Damhuri Muhammad.

Selasa, 02 November 2010

Anak Betawi Sebagai Sastrawan Oleh JJ Rizal (KORAN TEMPO, Rubrik Cerita Sampul-Ruang Baca, Selasa,1 Juli 2008)

1
Betul juga Zefry Alkatiri, yang bilang dalam sajaknya, "Anda Memasuki Wilayah...", bahwa masuk wilayah Jakarta itu ada saja syaratnya. Disebutnya rupa-rupa tempat di Jakarta yang mesti dimasuki dengan rupa-rupa syarat. Kalau tidak, bakal ketiban pulung. Tetapi, dalam sajak itu Zefry tak menyebutkan kalau Jakarta pun menuntut syarat kepada teman-teman atau pendahulunya sesama sastrawan ketika mau masuk.

Jakarta, yang dianggap sastrawan seantero Tanah Air sebagai ikon modernitas, mensyaratkan mereka sebelum masuk untuk mencopot tradisi dan masa lalu yang dibawa dari kampung halaman. Tengoklah pengakuan Goenawan Mohamad. Ketika masuk Jakarta di tahun 1960, sebagai seorang penyair "kemarin sore" dengan segerobak ambisi sastra, ia mengaku mesti menggosok-gosokkan punggungnya hingga beberapa sisa masa lalu yang melekat seperti daki itu kikis, makin pudar.

Asrul Sani menghardik orang kampungnya supaya meninggalkan ia sendiri di Jakarta dan jangan menganggunya lagi. Sedasawarsa sebelum Asrul menulis Surat Kepercayaan Gelanggang (1946) yang kritis (kalau tidak bisa disebut apriori) dengan masa lalu, kampung halaman dan tradisi, eksponen Polemik Kebudayaan, Takdir Alisjahbana dan Achdiat Karta Mihardja, mengajukan tesis yang serupa. Demi terbentuknya "manusia baru" dan seni yang betul-betul baru serta terinspirasi dari Barat, bersikap kritislah terhadap tradisi. Tesis yang laris manis.

Apakah bagi Zefry dagangan laris manis dari zaman ke zaman itu tak ada artinya? Atau dirasa tak perlu menyebutkannya, lantaran sebagai anak Betawi ia tak pernah merasakan ketegangan dengan masa lalu, tradisi, dan juga kampungnya? Lebih jauh lagi, apakah sikap mental Zefry itu merupakan sikap mental kolektif mayoritas anak Betawi yang mengambil jalan sastra: kukuh pada tradisi dan setia pada akar kebetawiannya?

2
Tanpa mempedulikan kecenderungan perkembangan puisi Indonesia mutakhir, Zefry merintis jalan sastranya sendiri dalam peta sastra Indonesia dengan memanfaatkan sumber-sumber sejarah lisan maupun tulisan. Namun, jika diperhatikan sajak-sajak dalam kumpulan Dari Batavia Sampai Jakarta (2001), ia sesungguhnya telah mengambil peran persis tukang cerite yang hidup dalam tradisi Betawi.

Sajak-sajaknya naratif. Bahkan menjurus epik. Dalam epik tukang cerite berisi petualangan jin dalam pelbagai kaliber. Sedangkan dalam sajak Zefry dapat dinikmati petualangan sejumlah petinggi Kompeni, seperti J.P. Coen, Valckenier, dan Reineir, saksi tikus yang berpesta saban hari di graanpakhuizen Kompeni. Termasuk petualangan dari zaman pasca-Belanda minggat, seperti Mat Item benggolan tukang santron, cokek Teluk Naga, Habib kampung Arab, dukun Betawi dan Bang Ali pembangun Jakarta.

Pada keseluruhan karya Zefry terpantul hubungan antara penyair dengan lingkungan sosial-budayanya. Karyanya adalah perhatian dan penghayatan si penyair akan kehidupan budaya Batavia-Betawi-Jakarta yang plural. Masa lalu bagi Zefry bukan beban, tetapi alat untuk memahami identitas dan artinya menjadi selaras zaman. Tengok sajaknya "Lorong Waktu". Meski bergaya polos, tapi judulnya tidak kekanak-kanakan. Pilihan judul "Lorong Waktu" mengisyaratkan sebuah rumus filsafat tentang waktu. Lorong waktu adalah refleksi di mana siapa pun bisa ke masa lalu dan ke masa depan dengan sejarah. Membaca sajak ini--seperti juga sajak-sajaknya yang lain--bisa dirasakan refleksi tentang waktu, tentang kefanaan dalam konteks Jakarta sebagai kemasyarakatan dalam berabad-abad.
Dengan masa lalu itu pula mata batinnya Zefry terus dalam kepekaan dan nalurinya terasah mencerap kemanusiaan yang membawanya kepada keharuan. Sehingga sejarah yang ada dalam sajak-sajaknya bukanlah sejarah dengan S besar. Sejarah yang ditunjukkannya itu adalah sejarah perikemanusiaan di atas tragedi pertentangan penjajahan dan orang-orang yang dijajah, di atas pembunuhan yang dilakukan Valcnier terhadap orang-orang Cina, bukan sekadar derita eks-PKI yang dianggap lepra keparat, atau serangan membabi buta tentara terhadap mahasiswa di Semanggi tahun 1998. Segala muatan tragedi itu diperlihatkan Zefry, bahkan yang kecil sekalipun, seperti dalam sajaknya, "Buah Jambu dari Pasar Minggu".

Zefry pun melahirkan sejenis sajak yang dalam bangsa mana pun di dunia sampai abad ke-21 masih hidup dan dikenal sebagai sajak yang berorientasi terhadap folklor. Beberapa contohnya sajak "Legenda Mat Item", "Keroncong Tugu", "Habib", "Jampi Dukun Bayi Betawi", "Pantun Mainan Anak Blande, Indo, dan Pribumi Betawi".

3
Pada generasi sastrawan Betawi yang lebih muda dari Zefry keterikatan dengan akar tradisi, masa lalu dan lingkungan budayanya pun terlihat kuat. Cerpenis Zen Hae dalam Rumah Kawin(2004) memperlihatkan betapa asyik ia mengawinkan pengalaman masa lalu, lengkap dengan tradisi-budayanya sebagai orang Betawi pinggir. Dari sana ia--saya pinjam ungkapan Nirwan Dewanto--menjelma menjadi narator.

Ya, lewat caranya sendiri Zen Hae pun--seperti disebut dalam cerpennya, "Kelewang Batu"--telah mengaitkan diri pada tradisi sahibul hikayat alias si ampunya cerita atau tukang cerite. Dan, sebagai yang ampunya cerita Zen Hae berjasa besar memperlihatkan dunia batiniah Betawi pinggir, yang dalam sejarah, juga sastra, masih sedikit sekali mendapat perhatian (kalau tidak bisa disebut belum pernah).

Dalam cerpen "Rumah Kawin" tergambar kehidupan cokek (penyanyi gambang) dan perkaitannya dengan dunia jago yang menjadi bagian dari tradisi khas masyarakat Cina Benteng Tanggerang. Bisa tahu pula tradisi nyambut (berlaga) lengkap dengan gaya dan corak maen pukulan (silat) Betawi yang hidup di antara para jago dari kulon (barat) Jakarta yang dilukiskan dalam "Hikayat Petarung Kampung". Termasuk ihwal kesurupan dalam "Rumah Jagal" dan "Kelewang Batu" soal peninggalan prasejarah Jakarta yang hidup dan dikenali penduduk Betawi secara khas serta dihidupkan dalam mitos-mitos.

Segenerasi dengan Zen Hae adalah Chairil Gibran Ramadhan. Anak Betawi Pondok Pinang, Jakarta Selatan, ini pun membawa set Betawi dalam cerpen-cerpennya yang sejak 1997 tersebar di surat kabar nasional.

Seperti halnya Zefry dan Zen Hae, ia pun mengolah mitos dan folklor serta menangkap "pengalaman otentik" masyarakat Betawi-Jakarta menjadi kisah kesaksian, namun dengan nada kegelisahan yang kuat akan keburukan-keburukan nasibnya di tengah metropolis Jakarta. Wabil khusus cerpennya ihwal perkaitan tradisi Betawi dengan Islam, yang sering disebut sebagai napas hidup orang Betawi, tentu akan menjadi dokumen sosial menarik, seperti "Tarawih", "Malam Lebaran", "Dzikir".

4
Zefry, Zen Hae dan Gibran adalah kabar menggembirakan jika membicarakan masa depan dan percaturan anak Betawi sebagai sastrawan. Generasi baru yang telah mengambil estafet dengan caranya sendiri-sendiri dari sastrawan Betawi terdahulu, seperti S.M. Ardan dan Firman Muntaco, namun dengan sikap dasar dan tempat berangkat yang sama, yaitu masa lalu, tradisi, dan kampung halaman sendiri.

Dan, seumpama ujian kepengarangan adalah kritik dan waktu, maka ketiganya telah mendapat tempat dan pandangan positif dari masyarakat luas, juga kritikus sastra. Hal yang menarik adalah, dengan orientasi penciptaan yang mengakar pada akar kebetawiannya, mereka tidak mengalami nasib seperti sastrawan Yogyakarta yang setia pada akar kejawaannya. Mereka tak dikucilkan, dipandang sinis dan tak bernilai oleh barisan kritikus sastra nasional, sebagaimana yang dilukiskan menjadi pengalaman pahit, mengecewakan, bahkan bikin dendam sastrawan Yogyakarta oleh Farida Soemargono dalam Groupe de Yogya les voies javanaises d'une literature Indonesienne (1979).

Pada akhir 1954 dan awal 1955, cerpen-cerpen bertema dan berdialek Betawi-Jakarta S.M. Ardan ketika dimuat di majalah Kisah, yang sudah dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari usaha penyebarluasan sastra Indonesia modern, memang menuai kritik keras yang terus berlanjut menjadi polemik. Namun, H.B. Jassin selaku redaksi Kisah membelanya, sebab karya Ardan akan memperkaya kesusastraan Indonesia. Sastra Indonesia mencakup juga karya yang tertulis dalam dialek Jakarta, karena itu Kisah tetap memuat cerita-cerita Ardan. Sebab itu pula mungkin Jassin enteng saja menyebut nama Ardan, juga Firman Muntaco dengan Gambang Jakarte-nya yang pol Betawinya itu, dalam pembahasannya mengenai sastra Indonesia.

Ada banyak kemungkinan sebab penerimaan ramah dan apresiasi di aras nasional terhadap sastrawan Betawi. Mungkin karena mereka ada di "pusat"; mungkin juga lantaran kritikus lebih dekat dan mengenal tradisi budaya Betawi-Jakarta, sebab di kota itulah mereka mukim; mungkin juga sebab bahasa Melayu dialek Jakarta itu sudah menjadi bahasa ngoko-nya orang Indonesia dalam perkembangan bahasa Indonesia yang mengalami kromoisasi.
Yang jelas, dalam karya-karya anak Betawi sebagai sastrawan sejak S.M. Ardan, Firman Muntaco, hingga ke Zefry, Zen Hae serta Gibran, pembaca dan kritikus bukan saja disajikan sastra sebagai belles letters. Lebih jauh lagi sesuatu yang disebut Denys Lombard dalam Histoires courtes d'Indonesie sebagai karya-karya yang dianggap sumber yang bisa mengantarkan kepada sejarah sosial masyarakat Indonesia di suatu periode dalam keanekaan budaya dan masyarakatnya, khususnya Betawi-Jakarta. Sebab mereka memiliki "cara merasakan semesta Betawi-Jakarta". Tradisi Betawi-Jakarta, dalam hal ini, rupanya "telah jadi" dalam nilai yang seterusnya terpadu dalam batin mereka.

Akhirnya, dalam karya-karya mereka, siapa pun dapat menemukan sebuah jaringan dari referensi-referensi secara puitis, budaya dan antropologi yang nyata dan mempunyai pengaruh yang menentukan sebagai simbol semua cinta mereka dan perih mereka atas kejahatan dan keburukan kota Jakarta yang sedang dimodernisasi (kalau tidak bisa disebut diwesternisasi). Dan, ini bukan saja memungkin mereka dapat menangkap dengan tepat gambaran khas masyarakat asli dan kaum urban Jakarta, tetapi juga mampu membuat karya mereka disemangati pengamatan rasa kemanusiaan yang inklusif, merangkul dan memiliki kesadaran kemanusiaan yang satu.

* Penulis adalah peneliti sejarah dan sastra Komunitas Bambu

Peta Kecenderungan Cerpen Indonesia Terkini Oleh Ahmadun Yosi Herfanda (REPUBLIKA, Rubrik Wacana, Ahad, 28 Mei 2006)

Menarik sekali untuk mengamati secara lebih jauh beberapa kecenderungan tematik cerpen-cerpen Indonesia terkini. Pada cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu, misalnya, tampak menonjol tema-tema seksual dengan semangat pemberontakan terhadap moralitas tradisional dan batasan-batasan ketabuan.

Cerpen-cerpen Djenar umumnya berada dalam mainstream yang sama dengan novel-novel Ayu Utami. Mereka mengusung feminisme untuk 'membongkar' norma-norma sosial yang dianggap kaku, dan dengan enteng mereka berbicara tentang 'wilayah-wilayah lokal' -- sejak payudara hingga kelamin.

Mainstream lain yang juga kuat adalah fenomena cerpen-cerpen Islami, yang mengangkat tema-tema moralitas dan ajaran agama (Islam), seperti tampak pada cerpen-cerpen Helvy Tiana Rosa, Abidah el Khalieqy, Asma Nadia, Gola Gong, Pipiet Senja, Irwan Kelana, dan hampir semua cerpen karya anggota FLP yang jumlahnya mencapai 5000 lebih.

Kemunculan mainstream fiksi Islami seperti sengaja mengimbangi kecenderungan fiksi seksual yang dirambah oleh Ayu Utami dkk. Namun, tidak seperti fiksi-fiksi seksual yang banyak diperbincangkan para kritisi sastra, fiksi-fiksi Islami tidak begitu banyak diperbincangkan di ranah kritik sastra. Meskipun begitu, terutama karena daya tarik pasarnya, kecenderungan fiksi Islami memiliki lebih banyak pengikut, termasuk mereka yang semula bukan penulis fiksi Islami.

Di antara kedua mainstrean di atas, tidak kurang jumlahnya cerpen-cerpen yang tetap bermain di ranah humanisme universal, yang mengangkat masalah-masalah sosial, cinta, keluarga, dan memperjuangkan keadilan serta harkat dan martabat kemanusiaan. Misalnya, cerpen-cerpen Kuntowijoyo, Danarto, Putu Wijaya, Ratna Indraswari Ibrahim, Seno Gumira Ajidarma, Yanusa Nugroho, Kurnia Effendi, Shoim Anwar, Isbedy Stiawan ZS, dan Maroeli Simbolon -- untuk menyebut beberapa saja. Mereka tampak kukuh dengan pilihan tematik-estetiknya sendiri, tanpa terpengaruh untuk masuk ke fenomena cerpen seksual maupun Islami.
Kecendrungan lain yang juga menarik untuk diamati adalah cerpen-cerpen bernuansa lokal dengan nilai-nilai budaya etniknya, seperti karya-karya Oka Rusmini (Bali), Taufik Ikram Jamil (Melayu-Riau), Chairil Gibran Ramadhan (Betawi), Korrie Layun Rampan (Dayak), Kuntowijoyo (Jawa) dan Danarto (Islam kejawen) -- juga untuk menyebut beberapa saja.

Belakangan, kecenderungan cerpen bernuansa lokal bahkan telah mendorong munculnya semacam 'kesadaran untuk kembali ke kekayaan budaya sendiri' dan makin banyak mendapatkan pengikut, seperti terlihat dalam Kongres Cerpen Indonesia (KCI) 2005 di Pekanbaru. Sebagian besar cerpen pemenang dan nomine Sayembara Penulisan Cerpen CWI 2005 juga bernuansa lokal. (Lihat, La Runduma, kumpulan cerpen Kreativitas Pemuda, Creative Writing Institute dan Kementerian Pemuda dan Olahraga, Jakarta, 2005).

Dalam semangat 'kembali ke budaya Timur' itu, pada dasawarsa 1970-an dan awal 1980-an, Danarto sempat memunculkan fenomena cerpen sufistik, atau tepatnya Islam kejawen yang cenderung panteistik. Cerpen-cerpen berkecenderungan demikian dapat ditemukan pada karya-karya Danarto yang terkumpul dalam Godlob (1976) dan Adam Makrifat (1982). Karya-karya Danarto itu, bersama karya-karya dan pemikiran Abdul Hadi WM, sempat mendorong berkembangnya mainstream sastra sufistik dalam kesastraan Indonesia, yang berhasil menghimpun banyak 'pengikut' dari kalangan penulis muda, terutama para penyair.

Dari aspek estetik, cerpen-cerpen Indonesia mutakhir menunjukkan kecenderungan gaya (style) penuturan yang cukup beragam. Antara lain, gaya realis, romantis, puitis, simbolik, surealistik, dan masokis. Namun, tidak gampang untuk memasukkan seseorang ke dalam satu gaya estetik tertentu secara tegas, karena para cerpenis kebanyakan menulis cerpen dalam berbagai gaya. Seno Gumira Ajidarma, misalnya, banyak menulis cerpen realis, tapi juga menulis beberapa cerpen romantis dan simbolik. Putu Wijaya juga dikenal sebagai cerpenis bergaya absurd, tapi belakangan juga banyak menulis cerpen realis. Begitu juga Danarto. Cerpen-cerpen pada masa awal kepengarangannya sangat simbolik. Namun, belakangan juga banyak menulis cerpen realis.

Cerpen bergaya realis (realisme) adalah cerpen yang menyodorkan realitas yang ada dalam masyarakat sebagai kebenaran yang faktual. Misalnya, cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma dalam Saksi Mata (1994) dan Penembak Misterius (1993), serta cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu dalam Mereka Bilang Aku Monyet (2003) dan Jangan Main-main dengan Kelaminmu (2004). Contoh lain adalah cerpen-cerpen Putu Wijaya dalam kumpulan cerpen Tidak (1999), dan Kuntowijoyo dalam Hampir Sebuah Subversi (1999).

Cerpen bergaya romantis adalah cerpen yang sangat mengutamakan perasaan, dengan pencitraan-pencitraan tokoh yang serba cantik dan sempurna, serta obyek dan latar yang serba indah, dengan impian-impian hidup yang serba ideal. Misalnya cerpen-cerpen Irwan Kelana dalam Kelopak Mawar Terakhir (2004), cerpen-cerpen Asma Nadia dan cerpen-cerpen remaja (teenlit) pada umumnya.

Cerpen bergaya puitis adalah cerpen yang mengutamakan narasi-narasi yang puitis dalam melukiskan latar (setting) dan pengadegannya. Dari awal sampai akhir kadang-kadang mirip puisi panjang atau prosa liris. Gaya cerpen puitis sempat menjadi kecenderungan sesaat dalam sastra Indoensia pada awal 2000-an, misalnya cerpen-cerpen Maroeli Simbolon, Azhari, dan Kurnia Effendi dalam kumpulan cerpen Menari di Bawah Bulan (2004). Cerpen-cerpen para pemenang dan nomine Sayembara Penulisan Cerpen CWI 2003 dan 2004 sebagian besar juga bergaya puitis.

Cerpen bergaya simbolik adalah cerpen yang mengungkapkan gagasan, kebenaran atau menafsirkan realitas dengan simbol-simbol. Sebagai contoh adalah cerpen-cerpen saya dalam Sebelum Tertawa Dilarang (1997) dan Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (2004). Cerpen-cerpen sufistik Danarto dalam Godlob (1976) dan Adam Makrifat (1982) umumnya juga dikemas dalam gaya simbolik. Dalan novel, yang masuk gaya ini adalah Cala Ibi (2003) karya Nukila Amal.

Cerpen bergaya surealistik adalah cerpen yang mencampuradukkan antara realitas dan irrasionalitas, antara kenyataan dan impian. Misalnya, cerpen-cerpen teror psikologisnya Putu Wijaya yang mengungkap alam bawah sadar manusia (stream of conciousness). Dalam tingkatan yang ekstrem, realitas yang diungkap menjadi jungkir balik sehingga terkesan absurd. Cerpen-cerpen Putu yang bergaya demikian terkumpul dalam Bom (1978).

Gaya lain yang belakangan sempat muncul adalah cerpen masokis, yakni cerpen yang memanfaatkan narasi-narasi kekerasan seksual, baik sebagai simbol absurditas kehidupan maupun sebagai potret realitas sosial yang bobrok akibat hancurnya tatanan moral. Misalnya, cerpen-cerpen Hudan Hidayat dalam Keluarga Gila (2003). Dalam novel, gaya masokis ada pada Ode untuk Leopol von Sacher-Masoch (2002) karya Dinar Rahayu.

Membaca fiksi (cerita rekaan) tentang kehidupan, siapapun penulisnya, selalu menarik. Sebab, manusia pada dasarnya suka 'bercermin' untuk lebih mengenali dirinya sendiri dan lingkungannya. Dan, fiksi -- cerita pendek (cerpen) maupun novel -- seperti pernah dikatakan Umar Kayam, pada dasarnya adalah refleksi (cermin) kehidupan pengarang dan lingkungannya.

Sejak zaman nenek-moyang dulu sampai sekarang, manusia suka mendengar dan membaca dongeng. Dalam tradisi lisan, dulu, dongeng hidup dan diwariskan dari mulut ke mulut sampai berabad-abad. Dunia rekaan yang disajikan dongeng pada umumnya adalah 'mimpi-mimpi indah' tentang kebahagiaan, yang mampu melambungkan perasaan dan imaji penikmatnya dari realitas keseharian yang pahit. Ke dalam 'mimpi-mimpi indah' itu manusia bertamasya secara imajinatif untuk sesaat melupakan realitas hidup sehari-hari yang getir.

Bagi masyarakat terpelajar yang memiliki budaya baca tinggi, fiksi, cerpen maupun novel, menggantikan kebutuhan mereka akan dongeng. Cerpen maupun novel, menurut Korrie Layun Rampan, sesungguhnya memang merupakaan metamorfosis dongeng. Maka wajar, kalau yang laris di pasar buku adalah fiksi-fiksi romantis yang cenderung 'mendongeng' (menjual mimpi) semacam novel pop, novel remaja, chicklit dan teenlit, serta kumpulan cerpen remaja.

Chicklit dan teenlit, yang sekarang marak di Amerika, Australia, dan merebak di Indonesia, sebenarnya adalah dongeng-dongen kontemporer yang berhasil memadukan dua kebutuhan di atas: kebutuhan masyarakat akan cermin diri sekaligus kebutuhan masyarakat akan 'dunia mimpi'. Sedangkan cerpen-cerpen yang serius dapat memenuhi kebutuhan untuk 'rekreasi emosional dan intelektual' sekaligus 'refleksi diri' pembacanya.

Karena itu, tradisi penulisan cerpen, apapun gaya dan temanya, akan terus hidup untuk memenuhi kebutuhan pembacanya akan dongeng, refleksi diri, sekaligus rekreasi emosional dan intelektual mereka.
Tulisan ini merupakan makalah untuk seminar sastra Perhimpunan Penulis Tionghoa Indonesia (Yin Hua Zuo Xie), di Jakarta, 11 Maret 2006.

* Penulis adalah sastrawan dan wartawan Republika.