Minggu, 19 September 2010

RESENSI NOVEL PERANG (SEMI-SEJARAH)

NOVEL: Iini Bukan Perangku, PENULIS: Dainar Wahid, EDITOR: Laora Arkeman, PENERBIT: Bacalah!

Memegang buku ini, kita seolah memegang buku yang dicetak dari masa lalu, atau serasa berada di masa lalu itu sendiri. “Kulit” ini tentu dihasilkan bukan tanpa pertimbangan. Pihak penerbit tahu benar bagaimana harus mengemasnya. Dengan cerita yang mengambil setting masa lalu, kiranya hanya dengan tampilan “kuno” seperti inilah “Ini Bukan Perangku” pantas disajikan. Perhatikan tata letak keseluruhan pada sampul depan, halaman dalam, dan sampul belakang. Juga foto yang ditampilkan.

Novel ini mengambil setting antara tahun 1955 hingga 1960, melalui kacamata seorang perempuan bernama Dainar Wahid (kelahiran Indrapura, Sumatra Barat, 1934). Dari masa revolusi fisik yang diwarnai pemberontakan PRRI Permesta, hingga masa ketika komunisme mulai kuat bercokol di negeri ini. Menurut Chairil Gibran Ramadhan, novel ini sejajar dengan “Pertempuran Penghabisan”-nya Ernest Hemingway.

Semua diceritakan lancar dengan gaya bertutur “orang dulu”. Jika penulis masa sekarang susah-payah melakukan riset untuk mendapatkan gaya ini—termasuk riset mengenai detail-detail pendukungnya—maka Dainar Wahid murni menuliskannya berdasarkan pengetahuan yang dilaluinya. Dan ini, adalah salah satu unsur kekuatan novel ini. Namun pembaca dari masa sekarang, kiranya tak perlu khawatir terjebak dalam kebingungan memahami detail-detail masa lalu yang ada, karena catatan kaki yang diperlukan turut ditampilkan untuk memberi informasi yang cukup.

Buku ini pada halaman belakangnya dikomentari oleh empat orang yang begitu tahu dunia kata dan kalimat: Henry Ismono (Redaktur Sastra Tabloid Nova), Prof. Amir Hakim Usman (Ahli Bahasa Indonesia), Puti Balqis Alisjahbana (mantan wartawati dan sastrawati yang lama tinggal di Prancis), dan Chairil Gibran Ramadhan (Sastrawan). Selamat membaca!
* chairil gibran ramadhan, sastrawan betawi dan mantan wartawan. Tulisan ini sebelumnya tampil lewat facebook.

Minggu, 05 September 2010

REKOMENDASI SEMILOKA KEBUDAYAAN BETAWI 2010

REKOMENDASI
SEMILOKA KEBUDAYAAN BETAWI


Pengantar

Seminar dan Lokakarya (Semiloka) Kebudayaan Betawi berlangsung di Hotel Borobudur, Jakarta, 26—28 Juni 2010 dan diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.

Setelah mendengar dan memperhatikan:

Sambutan-sambutan yang disampaikan oleh:
1 Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Dr. Arie Budiman
2 Gubernur DKI Jakarta Dr. Ing. Fauzi Bowo

Makalah/paparan langsung yang disampaikan oleh:
1. Marco Kusumawijaya, “Ruang Khalayak dan Kebudayaan”.
2. Hendry M. Ali, pengalam kemiskinan di Jakarta (paparan langsung).
3. Fachry Ali, Keislaman Orang Betawi (paparan langsung).
4. Cecep Effendi, “Mencari Ruang dan Identitas Politik Warga Betawi di Antara Tumpang-tindih Peran Provinsi DKI Jakarta”.
5. Yulianti Parani, “Identitas Etnik Budaya Urban Jakarta”.

Pembahasan, tanggapan, dan tanya jawab dalam sidang-sidang:

1) . Pembahas dan Narasumber:
a. Tommy Christommy, Zeffry Alkatiri, Ade Darmawan dan Nirwono Yoga terhadap makalah Marco Kusumawijaya.
b. Paulus Wirotomo, Mona Lohanda, Lutfi Hakim, Suma Mihardja terhadap pengalaman langsung Hendry M. Ali.
c. K.H. Syaifuddin Amsir dan Hj. Tuti Alawiyah terhadap paparan Fachry Ali.
d. J.J. Rizal, Tamrin Amal Tomagola, Amarullah Asbah, dan Wanda Hamidah terhadap makalah Cecep Effendi.
e. Zen Hae, Yahya Andi Saputra, David Kwa, Jali Jalut, dan Ali Sabeni terhadap makalah Yulianti Parani.

2). Tanggapan-tanggapan dan tanya-jawab dari para peserta.


MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
Kesimpulan-kesimpulan Semiloka Kebudayaan Betawi 2010 sebagai berikut:

I
PENGANTAR
II
Semiloka ini bertujuan untuk membahas secara mendalam dan ilmiah perkembangan mutakhir masyarakat dan kebudayaan Betawi, terutama dalam hubungannya dengan perkembangan metropolitan Jakarta. Juga untuk melanjutkan tradisi pemikiran kritis tentang masyarakat dan kebudayaan Betawi yang pernah ada di masa-masa sebelumnya.
III
Kebudayaan Betawi adalah hasil pertemuan dan persilangan berbagai anasir kebudayaan suku-bangsa yang datang dan mendiami wilayah Jakarta dan sekitarnya yang diwariskan melalui proses sejarah.
Kebudayaan Betawi adalah keseluruhan sistem pengetahuan masyarakat Betawi yang maujud dalam berbagai bentuk, seperti bahasa, cerita rakyat, musik rakyat, kepercayaan, teater rakyat, tarian, adat-istiadat, perayaan dan ritual daur hidup, pencak silat, arsitektur, obat dan pengobatan, kuliner, busana, sistem kekerabatan, sistem kepemimpinan, permainan rakyat, dan lain-lain.


REKOMENDASI

POLITIK

1 Mendesak Pemerintah Pusat untuk segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah berkaitan dengan UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, khususnya pasal 26 ayat 6 tentang melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat Betawi.
2 Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk segera membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang budaya masyarakat Betawi untuk menjalankan amanat UU No. 29 Tahun 2007.
3Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk segera membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang muatan lokal budaya masyarakat Betawi merujuk UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional/Permendiknas No.19 Tahun 2007.
4 Mendesak Gubernur dan DPRD Pemprov DKI Jakarta agar mengalokasikan anggaran proporsional, adil, dan sesuai dengan kebutuhan, sekurang-kurangnya 20% untuk budaya masyarakat Betawi.
5 Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk segera membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang Festival Budaya Betawi dan Lebaran Betawi.

SOSIAL BUDAYA

1. Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan penguatan dan pemberdayaan yang lebih intensif terhadap Bamus Betawi, Lembaga Kebudayaan Betawi, dan organisasi masyarakat Betawi serta potensi masyarakat Betawi lainnya.
2. Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk membangun Pusat Kebudayaan Betawi dan Gedung Kesenian Betawi.
3. Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk menginventarisasikan Seni & Budaya Betawi serta mendaftarkan Hak Kekayaan Tradisional Indonesia ke DEPKUMHAM RI.
4. Pemberian jaminan sosial kepada seniman dan budayawan Betawi.
5Pemberian dana bantuan pembinaan terhadap sanggar-sanggar seni budaya Betawi.
6. Melestarikan lingkungan dan bangunan cagar budaya di Jakarta dengan melibatkan potensi masyarakat Betawi.
7. Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk melaksanakan Kongres Kebudayaan Betawi dan segera membentuk POKJA (kelompok kerja) yang bertugas menyiapkan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan Kongres Kebudayaan Betawi pada tahun 2011
8. Mengoptimalisasikan kinerja Balai Latihan Kesenian (BLK) di lima (5) wilayah Kota/ Kabupaten untuk kesenian Betawi.
9. Mendesak Dewan Kesenian Jakarta untuk mengoptimalisasikan pementasan seni-budaya Betawi di Taman Ismail Marzuki.
10. Mendorong Lembaga Kebudayaan Betawi untuk menjadi lembaga sertifikasi kesenian Betawi.


PENDIDIKAN

1. Mendesak Pemprov DKI Jakarta mengalokasikan beasiswa untuk pelajar dan mahasiswa Betawi
2. Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk membangun asrama mahasiswa Betawi yang ada di daerah (di luar Provinsi DKI Jakarta).
3. Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk memfasilitasi perguruan tinggi yang memiliki lembaga kajian/pusat studi budaya Betawi
4. Mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk mendirikan Sekolah Menengah Kejuruan Seni dan Budaya Betawi.


AGAMA

1. Menempatkan potensi masyarakat Betawi yang berkompeten dan berkualitas di Jakarta Islamic Center (JIC).
2. Optimalisasi kebudayaan Betawi yang kental dengan kebudayaan Islam di Jakarta Islamic Center (JIC).
3. Melestarikan dan mengembangkan halqoh dan majelis taklim kaum Betawi.
4. Melakukan inventarisasi dan mensosialisasikan hasil karya ulama Betawi.


Jakarta, 30 Juni 2010

Tim Perumus

1. Chairil Gibran Ramadhan
2. JJ Rizal
3. Muhammad Ichwan Ridwan
4. Zeffry Alkatiri
5. Zen Hae


FOTO:
Semiloka Kebudayaan Betawi di Hotel Borobudur, Jakarta, 26-28 Juni 2010. Kika: Yahya Andi Saputra (UI), Zen Hae (DKJ), David Kwa (budayawan Tionghoa), CGR, Bpk. Rojali (seniman gambang kromong), Bpk. Ali Sabeni (seniman sambrah), Ibu Yulianti Parani Ph. D (IKJ). Foto: Latief Mahmud.

KABAR BETAWI: TEATER TOPENG BETAWI DI YOGYAKARTA

“Tarik ketupat lepas di atas piring, pukul gendang mainin topeng."


Pada 22-26 Juli 2010 ini, kelompok teater yang melakukan workshop “Sastra Pertunjukan" dengan membawakan Topeng Betawi di Balai Latihan Kesenian (BLK) Jakarta Selatan, akan memamerkan hasil latihannya di SMKI 1, Bantul, Yogyakarta. Turut serta dalam rombongan itu adalah Dindon WS (sutradara), Jaya Noin dan Atien Kisam (praktisi Topeng Betawi), dan tentunya Chairil Gibran Ramadhan (sastrawan dan budayawan Betawi), yang naskahnya diadaptasi untuk pertunjukan ini. Kegiatan ini awalnya digagas Yusuf Sugito selaku Kepala BLK Jakarta Selatan, yang kini sudah digantikan Dyah Damayanti.
Di tengah ketenggelamannya, pemilihan Topeng Betawi sebagai bahan workshop di kalangan generasi muda—yang naskahnya didasarkan pada karya sastra—patutlah mendapat pujian. Selain untuk pengembangan, workshop ini juga dimaksudkan untuk meregenerasi pemain topeng selagi nara sumbernya masih ada. Sebab dari segi jumlah, untuk Jakarta Selatan saja hanya ada dua grup Topeng Betawi yang masih aktif.


TOPENG DAN LENONG
Di ranah budaya nasional bahkan Betawi sendiri, Topeng Betawi memang telah lama berada jauh di bawah Lenong Betawi, hingga Lenong pun dikira sebagai satu-satunya seni teater dalam budaya Betawi. Lebih jauh lagi adalah: Blantek, Jinong, Jipeng, Tonil Samrah, Ubrug, Wayang Dermuluk, Wayang Senggol, Wayang Si Ronda, Wayang Sumedar, dan Wayang Wong. Padahal dalam perkembangannya, keduanya pernah berjalan beriringan.
Topeng tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Betawi dengan sub-dialek Betawi Pinggir (disebut juga Betawi Ora), dengan cerita yang dibawakan seputar masalah rumah tangga, serta musik pengiring (disebut Gamelan Topeng) dan irama lagu beraroma Sunda. Sedangkan Lenong tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Betawi dengan sub-dialek Betawi Tengah (disebut juga Betawi Kota), dengan cerita yang dibawakan seputar action, serta musik pengiring (disebut Gambang Kromong) dan irama lagu beraroma Cina.
Hingga pertengahan dekade 1980-an, keduanya masih sering dipanggil keluarga-keluarga kaya Betawi untuk memeriahkan pesta pernikahan dan khitanan, dengan panggung yang didirikan di pelataran rumah sang empunya hajat. Namun seiring berkembangnya layar tancap yang lebih mudah pelaksanaannya dan lebih murah biayanya, keduanya pun tak lagi ditanggap. Nama Lenong sendiri bertahan lantaran jasa komersil media elektronik, diantaranya lewat tontonan Lenong Rumpi (RCTI) dan Lenong Bocah (TPI) pada awal dekade 1990-an—yang entah dimana letak Lenong-nya. Jangan lupakan pula jasa Sumantri Sastrosuwondo dan Djaduk Djajakusuma yang sejak 1968 memperkenalkan Lenong kepada khalayak non-betawi lewat pementasan-pementasan di TIM dan mengadakan festival-festival Lenong.

PANJAK DAN THE JAK
Menarik dicermati bahwa sebagian besar peserta workshop bukanlah orang Betawi. Mereka berdarah Jawa, Sunda, dan Batak. Tercatat hanya beberapa orang saja yang berdarah Betawi. Maka aroma khas Betawi serta kelenturan mimik dan tubuh seorang panjak (pelaku seni pertunjukan dalam budaya Betawi, lelaki atau perempuan), belum terpancar dari mereka. Meski secara kemampuan berakting cukuplah lumayan, namun mereka tentu tak diharapkan menjadi pelawak-pelawak karbitan seperti yang kini muncul di layar TV kita dari gelap hingga gelap. Menjadi panjak topeng jelas berbeda dengan sekedar menjadi pelawak. Bokir, Nasir, Bodong, Nori, Malih, Nirin, Bolot, adalah panjak-panjak topeng alami yang lahir dari udara Betawi dan sukar dicari tandingannya. Dan jiga (kemampuan panjak menjiwai perannya) adalah sebuah keharusan.
Sesugguhnya ini pekerjaan berat bagi para pengajar dan terlebih para peserta workshop. Membuat orang tertawa dengan kelucuan-kelucuan spontan yang membawa kekhasan sebuah kultur jelas memerlukan intuisi tinggi. Kecuali jika seseorang sudah memiliki darah itu—yang didapatnya dari semesta keseharian. Untuk hal ini tentunya orang Betawi terah teruji kefasihannya. Sebab kesusahan saja bisa menjadi sebuah kejenakaan di tangan mereka.
Pendek kata para peserta non-Betawi harus berakting dua kali, dobel: Sebagai orang Betawi dengan segala spontanitas berpikir, bersikap dan berucapnya; dan sebagai tokoh yang diperaninya. Mungkinkah kebesaran grup Topeng Betawi Setia Warga yang pernah berjaya hingga pertengahan dekade 1980-an--dengan Haji Bokir sebagai maskotnya—dalam berapa persennya bisa muncul dari workshop ini? Wallahu a’lam bi shawab.
Lantas apa motivasi para peserta workshop, mengingat sebagian besar dari mereka bukan berdarah Betawi? Murni melestarikan budaya Betawi ‘kah? Apapun motivasinya—meluaskan pergaulan, mendapat pengalaman berjalan-jalan, kesempatan berakting pada media yang lebih kuat efek komunikasinya dan lebih besar jumlah penikmatnya—setidaknya kita cukup berbangga hati bahwa anak-anak muda non-Betawi dalam kisaran umur 18-22 tahun ini menaruh minat pada Topeng Betawi. Bandingkan dengan kebanyakan anak muda Betawi yang sehari-hari memilih hilir-mudik di atas motor, bermain gitar di mulut-mulut gang, memegang kail di pemancingan, atau berteriak dengan wig warna orange dan kaos berwarna senada bertuliskan “The Jak Mania”. Tentu kita berharap para peserta akan mengakrabi dan membawa Topeng Betawi dalam kejujuran nurani seninya, seperti Haji Bokir dan teman-temannya yang mengusung dengan hati dan dedikasi teramat tinggi budaya kampungnya.


STAMBUL KOMPROMI
Stambul Panjak adalah cerita yang diadaptasi menjadi bahan workshop di Jalan Asem Baris, Tebet ini. Seperti 16 cerpen lainnya dalam antologi “Sebelas Colen di Malam Lebaran” (Chairil Gibran Ramadhan, Masup Jakarta, 2008), SP pun tak mengandung unsur humor. SP sangat menyayat: Menceritakan kejatuhan sebuah grup Lenong milik seorang Cina-Betawi akibat gempuran layar tancap lebih 20 tahun silam di Bekasi. Namun dalam workshop ini SP kemudian dipindahkan menjadi Topeng Betawi, dengan sentuhan komedi yang kental dan cerita yang mengalami “penyesuaian”. Maka kesedihan dan kegundahan The Teng Hui sang pemilik Bintang Kedjora hanya tampak sekelebat. Meminjam istilah Arswendo Atmowiloto, SP telah mengalami kreapromitas alias kreativitas kompromi (Jurnal Kalam, edisi 9, 1997), melebihi jika seandainya naskah ini dipentaskan oleh Teater Koma.
Sebuah cerita, dalam segala detailnya, memang hanya bisa dinikmati secara utuh lewat teks aslinya. Karena ketika dipindahkan ke dalam bahasa gambar atau ke atas pentas, maka akan selalu berkompromi. Bahkan dengan fakta itu sendiri.***