Rabu, 24 Oktober 2012

Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cultural Studies (Dari Batavia sampai Jakarta)

Selamat Datang di Gerbang (Pengantar: Prof. DR. Wahyu Wibowo, Dekan FBS Univ. Nasional, Jakarta)

Apakah makna sebuah jurnal bagi suatu komunitas? Kalau menilik jurnal yang Anda pegang ini, sejatinya nama Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cultural Studies (Dari Batavia sampai Jakarta) telah memiliki makna aksiologisnya. Ia tidak hanya merujuk pada beberapa judul utama lagu dalam musik gambang kromong, keroncong, atau sandiwara yang dimainkan untuk para bangsawan (bila memang demikian misalnya), tetapi juga merujuk pada aktivitas kebudayaan tertentu—dalam hal ini kebudayaan Betawi, dari masa Batavia hingga Jakarta—yang  tentu saja diharapkan bervisikan akademik yang kritis dan etis. Pasalnya, suatu kebudayaan tanpa pengawalan penulisan jurnal, diandaikan akan mematikan nilai-nilai kebudayaan tersebut. Artinya, dengan demikian, kehadiran Stamboel mesti disikapi dengan hangat dan dengan tangan terbuka.

Istilah ”jurnal” itu sendiri berarti ”laporan”, yang dalam konteks akademik dewasa ini dapat dimaknai sebagai laporan penelitian akademik berbentuk artikel ilmiah. Itu sebabnya, Stamboel diharapkan juga mesti diisi oleh artikel ilmiah yang berkaitan dengan kebetawian. Hal ini harus dianggap penting, mengingat eksistensi Stamboel akan kian mantap justru sebagai wadah percurahan pemikiran kalangan akademik yang bergerak di lapangan kebudayaan Betawi, baik mereka yang berasal dari kalangan Betawi sendiri maupun yang berasal dari perguruan tinggi. Sebagaimana visi yang diharapkan, yakni sebagai ”wadah percurahan hasil penelitian kebudayaan Betawi dan sekaligus wadah ekspresi seni dan budaya Betawi”, Stamboel memang diharapkan menampilkan diri sebagai sosok kuat pengawal kebudayaan Betawi. Tentu saja harapan ini mudah dipahami, mengingat penelitian dan hasil ekspresi seni dan budaya Betawi tersebut mewujud sebagai ”rekaman” karena ditulis. ”Rekaman” ini pada akhirnya akan menjelma sebagai dokumentasi yang dapat dijadikan rujukan oleh generasi muda Betawi dalam berkehidupannya, atau kalangan lain yang menaruh perhatian pada luasnya Dunia Betawi. Ingatlah, bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki budaya tulis-menulis.

Dengan demikian, Stamboel juga diharapkan akan tumbuh sebagai trendsetter penelitian kebudayaan Betawi sekaligus ekspresi seni dan budaya Betawi yang kontemporer dan berwawasan kebangsaan (bukan sekadar pengekor teori dan konsep Barat). Kendati demikian, harapan ini tidak akan berjalan mulus tanpa diiringi oleh bangkitnya semangat menulis di kalangan etnis Betawi itu sendiri dan kalangan lain yang menaruh perhatian pada Betawi. Hal yang mungkin telah kita ketahui, berlaku adagium di dunia akademik bahwa seseorang yang dianggap ”jawara” tidak akan dianggap sebelah mata tanpa memiliki tulisan. Dalam ucapan lain, tanpa karya tulis, seseorang tetap saja akan dianggap sebagai ”jawara kandang”.

“Selamat datang di gerbang.”

________

 
Edisi perdana “Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cultural Studies (Dari Batavia sampai Jakarta)”. Terbit Oktober 2012, di Bulan Bahasa. Hasil kerjasama Penerbit Padasan dengan Betawi Center Foundation dan Forum Sastra Betawi. ISSN: 2302-5484, kertas: bookpaper, soft-cover, 15x23cm, 118 hlmn, limited edition: 100 eksemplar. Perancang sampul & isi: Sarifudin Anwar.


Memuat tulisan Abdul Chaer (Pakar Bahasa Melayu Jakarta), Adji Subela (Esais), Chairil Gibran Ramadhan (Penulis), Fadjriah Nurdiarsih (Editor), Firman Muntaco (Sastrawan Betawi), Mega Trianasari Soendoro (Guru Sejarah), Mh Hamdan (Dosen Univ. Nasional), Dr. Mona Lohanda (Sejarawan & Arsiparis Arsip Nasional RI), Prof. Dr. Wahyu Wibowo (Dekan FBS Univ. Nasional), Yanwardi Natadipura (Pengamat Bahasa), Prof. Dr. Yusmar Yusuf (Guru Besar Univ. Riau), dan Dr. H. Zeffry Alkatiri (Penyair & Dosen FIB-UI).

FACEBOOK: https://www.facebook.com/stamboel.journal?fref=ts 
PAGE: https://www.facebook.com/pages/Stamboel-Journal-of-Betawi-Socio-Cultural-Studies/356877844403054?fref=ts

PEMESANAN: Hubungi inbox facebook Stamboel Journal. Harga: Rp. 65.000,- plus ongkos kirim Rp. 15.000,- (Jawa) dan Rp. 20.000,- (luar Jawa). 

Sabtu, 21 Januari 2012

Kabar Buku: PEREMPUAN DI KAMAR SEBELAH (Kumpulan Cerpen Chairil Gibran Ramadhan, Elex Media Komputindo, Januari 2012)

ENDORSEMENT:
Sebuah buku yang wajib dibaca kaum perempuan dan laki-laki. Ketika pertama kali memunculkan karya CGR di Republika, saya melihat potensinya sebagai sastrawan yang mampu mewakili etnis Betawi. Namun lewat buku ini ia berhasil menempatkan diri sebagai sastrawan nasional yang tidak hanya mampu mengolah nuansa Betawi tetapi juga yang lebih luas: Indonesia. Gaya penceritaannya telah mencapai titik yang layak mendapat perhatian dari penikmat sastra. CGR pantas menjadi kebanggaan etnis Betawi dan Indonesia.  (Ahmadun Y. Herfanda, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta)

Buku ini wajib dibaca bukan saja karena kepiawaian pengarangnya dalam melukiskan realitas tetapi juga karena kecerdasan literernya yang mampu membingkai peristiwa-peristiwa besar dalam historisitas sosial-politik Indonesia melalui penciptaan tokoh-tokoh sastrawi yang bukan saja begitu dekat dengan kehidupan nyata tetapi juga menawan secara fiksional. CGR memiliki ketekunan seorang peneliti dan kelincahan bertutur seorang sastrawan. (Cecep Syamsul Hari, Penyair & Redaktur Majalah Sastra Horison)

Sebagai penulis, CGR ternyata tidak saja peduli pada persoalan budaya Betawi tetapi juga peka terhadap kehidupan sosial masa kini. Dalam antologi ini ia menyajikan sisi lain kehidupan sosial masyarakat kita, menyangkut kekerasan dalam rumah tangga, kehidupan yang serba kompleks, serta sejarah hitam Kerusuhan Mei 1998 yang pernah terjadi di negeri ini. Sebuah antologi yang harus dibaca. Sangat berbeda dengan Sebelas Colen di Malam Lebaran karya CGR yang bernuansa Betawi. (Diou Zheng, Himpunan Penulis Yin-Hua)

Khasanah sastra Indonesia diperkaya oleh munculnya CGR. Sebagai penulis cerpen ia menunjukkan bakat yang memesona. Beberapa karyanya cukup menggetarkan, padat, dan tangkas. Kalau sedikit lebih cermat lagi, ia bisa mengulangi kejayaan Idrus di Zaman Jepang, bahkan Pramoedya Ananta Toer di awal 1950-an. Cerpen "Epitaph" dan “Matahari Mulai Tinggi di Yogya" pada hemat saya bagus dan berhasil. Karya tulis baik novel, puisi maupun cerpen hanyalah bunyi. Instrumen yang penting adalah hati kita yang akan mengajak orang bersimpati, membenci, memandang rendah maupun menghormati subyek yang kita kedepankan. (Eka Budianta, Penulis, Aktivis Lingkungan & Kebudayaan)

Kehidupan kota itu keras, gila, dan penuh keputusasaan. Begitulah kesan yang saya rasakan ketika membaca cerpen-cerpen dalam antologi ini. Tema-tema yang dipilih CGR membuat saya semakin waspada. (Hanna Fransisca, Penyair & Prosais)

Cerpen-cerpen ini semua ditulis dengan empati pada perempuan, ibu atau anak, mereka yang berposisi rendah, kekurangan, terpojokkan dan di sisi lain tidak suka dengan kekuasaan, aparat, birokrat, dan sejenisnya. Nuansanya buram, jadi tidak akan disukai oleh pembaca yang ingin mendapat cerita indah menyenangkan. Ini pilihan dan orang boleh ambil sikap pula atas pilihan ini: Suka atau tidak suka. (Hendry Ch Bangun, Wartawan & Sastrawan)

Setelah sering menjelajahi latar Betawi dalam cerpen-cerpennya, CGR dalam kumpulan cerpen ini menelisik subyek sosok perempuan. Bukan perempuan dalam panggung gemerlap, tapi lebih pada sisi kelam. Perempuan korban situasi sosial, politik, dan bahkan budaya. Tentu ini adalah pilihannya sebagai sastrawan yang ingin “terlibat” dalam persoalan masyarakat. Di ruang kelam itu, justru, kita menemukan cermin. (Henry Ismono, Jurnalis Tabloid Nova & Pencinta Sastra)

Tidak banyak penulis lelaki yang bisa memahami betul-betul bagaimana rasanya menjadi perempuan. Oleh karenanya apa yang dituliskan CGR dalam kumpulan cerita ini adalah sebuah usaha yang bagus untuk memahami pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang mungkin dialami oleh seorang perempuan. Apakah disebabkan penyelaman yang baik, atau semata kelihaian menyusun kata-kata? (Laora Arkeman, Author & Editor)

Kumpulan cerpen ini menegaskan, penentu harkat perempuan sebagai manusia mulia dan bermartabat adalah individu yang bersangkutan, perempuan lain dan manusia lain bernama lelaki. Berbagai latar, konteks dan konflik, yang diceritakan CGR dengan gayanya yang khas, menggoncang kesadaran kita bahwa masalah harkat perempuan ini begitu luas dimensinya dan dalam dasar landasannya. Kumpulan cerpen yang sangat penting. (Yonathan Rahardjo, Sastrawan & Kritikus Sastra)


PENGANTAR PENULIS:
Kekerasan terhadap perempuan, dalam hubungan sosialnya dengan manusia lain, dapat dipastikan sudah terjadi sejak beranak-pinaknya keturunan Nabi Adam dan terbentuknya masyarakat manusia. Bahkan dalam kisah-kisah para nabi kita juga dapat membaca adanya pembunuhan terhadap bayi berkelamin perempuan yang “direstui” oleh sistem sosial masyarakat.
Kekerasan suami terhadap istri, ayah terhadap anak perempuannya, lelaki terhadap perempuan dalam hubungan personal dan non-personal, dan aparatur negara terhadap rakyat perempuannya, adalah bentuk-bentuk yang menempatkan perempuan sebagai objek kekerasan dan laki-laki adalah pihak pelakunya. Namun ironisnya, perkembangan kejiwaan masyarakat lelaki yang sakit juga menular kepada perempuan itu sendiri. Maka ada banyak kasus ditemukan ketika perempuan itulah sang pelaku kekerasan: Ibu terhadap anak perempuannya, perempuan terhadap perempuan dalam hubungan personal dan non-personal, dan perempuan pemegang kekuasaan terhadap perempuan yang lemah kedudukan sosial dan ekonominya. Bahkan tindakan berupa tekanan-tekanan dari kaum  perempuan yang menjadi pemegang kekuasaan dalam hal hubungan pekerjaan yang menuntut kemampuan intelektualitas (atau tenaga semata), juga merupakan bentuk kesewenangan hak terhadap perempuan.
Maka saya berpikir, mungkin sesuatu yang menarik bila seorang lelaki—sebagai golongan yang kerap dikatakan sebagai pelaku utama kekerasan terhadap perempuan—kemudian “kedapatan” memberikan perhatian terhadap nasib perempuan, dalam bentuk cerita pendek yang dihasilkannya. Dalam cerpen-cerpen ini saya berusaha menempatkan empati dan simpati dengan “mengubah diri” menjadi perempuan. Dan sebagai penulis, “kaum” ini memang diharapkan mampu “menjadi” siapa saja demi kedalaman sebuah cerita dan makna.
Meski cerita-cerita ini fiksi, namun kejadian-kejadian yang mendasarinya adalah fakta. Maka di dalamnya tampil kekerasan suami terhadap istri, ayah terhadap anak perempuannya, lelaki terhadap perempuan dalam hubungan personal dan non-personal, aparatur negara terhadap perempuan, serta perempuan pemegang kekuasaan terhadap perempuan yang lemah kedudukan sosial dan ekonominya, lewat 16 cerpen yang sebelumnya, beberapa pernah dimuat di berbagai media cetak.  
“Perempuan di Kamar Sebelah” sendiri dipilih karena judulnya bisa mengesankan mengenyampingkan perempuan. Lewat buku ini saya juga ingin memperlihatkan perhatian saya yang lain dalam dunia sastra, selain karya-karya bernuansa lokal dengan nilai-nilai budaya etnis Betawi yang saya bawa ke ranah sastra nasional.

PROLOG oleh TIKA BISONO (Psikolog)
“The strength of a woman lies in her capability to deal with life vulnerability, because life itself is unpredictably vulnerable.”

Antologi ini merupakan refleksi dari potret kehidupan perempuan Indonesia dengan segala dinamikanya, sejak jaman penjajahan sampai jaman (yang katanya) kemerdekaan. Sebab pada kenyataannya, sampai saat ini masih banyak perempuan Indonesia yang belum merdeka dari belenggu kesengsaraan, kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan serta kekerasan gender.
Seperti layaknya cermin yang diletakkan di berbagai sudut kehidupan sehingga kita bisa berkaca dari segala sisinya, cermin milik CGR tidak melulu merefleksikan penderitaan, tapi juga kekuatan, ketabahan, kesabaran, kegigihan, dan ketakwaan perempuan Indonesia. Akhir cerita yang bahagia ataupun yang memiriskan hati, semuanya tetap memiliki satu kekuatan dahsyat di dalamnya, yaitu kekuatan seorang perempuan. Kekuatan yang bisa membuat kita terpukau, membuat kita merenung, sehingga pada akhirnya membuat kita sampai pada suatu pencerahan jiwa.
Kekuatan lain dalam antologi ini adalah keberhasilan CGR membangun cerita dengan menampilkan perempuan sebagai tokoh utamanya dengan pencitraan dan rasa keperempuanan yang begitu kental, tak ketinggalan juga dari sudut pandang perempuan yang memiliki kekuatan di dalam diri, namun tetap menunjukkan kelembutan di luarnya. CGR mampu menghadirkan begitu banyak isyu perempuan sebagai diri sendiri, sebagai anak, sebagai isteri, sebagai ibu, sebagai keturunan ras tertentu, dan berbagai multiperan lain yang dimiliki serta dilakoni. CGR bercerita tentang beratnya kehidupan seorang wanita malam, tentang tidak berperikemanusiaannya tentara di daerah operasi militer, tentang prasangka negatif yang disematkan pada ras tertentu, tentang mudahnya ketidakadilan ditegakkan, tentang rasa kehilangan, juga tentang kedalaman do’a dan besarnya pengharapan.
Kekuatan tersebut lebih disempurnakan lagi dengan hadirnya unsur penting yang menjadikan antologi ini sebagai suatu bacaan yang mengagumkan,  yaitu hampir semua cerita dalam antologi ini dibungkus dalam latar belakang peristiwa bersejarah di Indonesia, mulai dari penjajahan Jepang, peristiwa Malari, tragedi Tanjung Priok, tragedi DOM Aceh dan Papua, sampai tragedi Mei 1998. Semua peristiwa itu merupakan catatan buruk dalam sejarah bangsa ini yang tentunya tidak boleh dilupakan, tapi justru harus dijadikan bahan perenungan dan pembelajaran bangsa. Pembelajaran yang sangat mahal tentunya.
Bahwa sesungguhnya perbedaan ideologi, perbedaan ras, perbedaan agama, perbedaan kepentingan, perbedaan visi dan misi seharusnya bukan untuk memisahkan dan menyengsarakan manusia satu dengan manusia lainnya. Sebaliknya, perbedaan tersebut seyogyanya digunakan sebagai jembatan untuk melihat bahwa Tuhan membagi berkah dan cobaan secara adil kepada seluruh umat manusia di dunia. Bahwa di luar dari segala aturan kehidupan yang kita tahu, sesungguhnya banyak orang lain yang hidup dengan aturan yang sangat berbeda dari kehidupan kita namun tetap menjalani sebuah kehidupan yang tidak jauh lebih bahagia atau lebih menderita dari kehidupan yang kita jalani.
Oleh karena itu ada banyak pelajaran yang bisa dipetik para pembaca, karena buku ini mengandung banyak sekali pengalaman dan nilai-nilai kehidupan. Semoga dengan membaca antologi ini, khususnya para pembaca perempuan, bisa terbantu untuk menemukan kekuatan diri, memahami kelemahan diri, dan pada akhirnya mampu memecut diri sendiri untuk menjadi manusia yang lebih baik daripada sebelumnya. Sedangkan bagi pembaca pria, semoga bisa memiliki referensi yang lebih luas untuk membantu memahami dan menghargai perempuan dengan segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Karena pada prinsipnya, semua manusia dianugerahi dengan kehebatan, keistimewaan, kekurangan, kelemahan dan keunikannya masing-masing.
Last but not least, CGR telah membuktikan dirinya sebagai sastrawan yang mumpuni dalam merangkai kata dan fakta menjadi suatu fiksi yang memiliki kedalaman pemikiran, ketajaman rasa, kekayaan referensi, keluasan sudut pandang, dan tentunya kearifan makna. Ia telah membagi ide, pemikiran, dan kreativitas dalam menulis yang diperuntukkan bagi perempuan Indonesia. Karena seperti dituliskan dalam sebuah lagu: Perempuan (wanita) memang ingin dimengerti.

EPILOG oleh IBNU WAHYUDI (Dosen FIB-UI & Kritikus Sastra)
Ketika kegeraman telah (lama) mengendap diam-diam dan saluran sudah ditemukan, yang mengada adalah sebuah representasi rasa bernama kemarahan. Hanya saja, kegeraman dan kemarahan di sini tidak mewujud menjadi pemorakporandakan akan apa-apa yang tersua melainkan menjadi cerita penuh nuansa kelam yang pada gilirannya nanti merajalela di benak pembaca. Namun demikian, perkara apakah kekelaman yang mengooptasi benak itu akan menjadi semacam aksi atau sekadar menjadi suatu bentuk introspeksi dan kontemplasi, berpulang kepada saringan pada diri pembaca, yang banyak disebut orang sebagai suatu resepsi.
Membaca cerpen-cerpen CGR yang terkumpul dalam antologi ini, pertama-tama yang hadir adalah kesan yang sedemikian—kesan tentang laku lajak suatu institusi yang di masa lalu pernah begitu berkuasa dan tamak. Bahkan jika hendak diukur dengan keadaban dewasa ini, beberapa cerpen CGR terasa begitu kuat menampilkan noda; sekaligus propaganda. Pada simpang seperti inilah, pembaca perlu menerakan kemampuan dalam menelaah kumpulan fiksi ini agar tidak terbebali oleh semata-mata kegelapan mata, melainkan juga oleh kelapangan jiwa dalam menerima masa lalu sebagai suatu guru. Sebab bagaimanapun, yang ada di sini sungguh adalah fiksi dengan latar waktu tahun-tahun di masa orde baru.
Kesan kedua yang juga kuat menyeruak adalah pada keterampilan penulis dalam menampilkan panorama khas masa 1970-an sampai dengan akhir 1990-an, kendati dalam kadar yang tipis-tipis saja, sebab hanya melalui penceritaan yang ringkas. Dengan membaca sebagian besar cerpen di sini, pembaca diberi semacam gambaran masa lalu yang sendu yang niscaya mampu mengingatkan kembali akan sebuah identitas zaman yang bagi sebagian pembaca tentu merupakan sebuah ingatan yang masih sering timbul-tenggelam.
Mudah-mudahan saja cerpen-cerpen di sini akan selalu timbul dan tidak ada yang tenggelam.