Selasa, 02 November 2010

Peta Kecenderungan Cerpen Indonesia Terkini Oleh Ahmadun Yosi Herfanda (REPUBLIKA, Rubrik Wacana, Ahad, 28 Mei 2006)

Menarik sekali untuk mengamati secara lebih jauh beberapa kecenderungan tematik cerpen-cerpen Indonesia terkini. Pada cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu, misalnya, tampak menonjol tema-tema seksual dengan semangat pemberontakan terhadap moralitas tradisional dan batasan-batasan ketabuan.

Cerpen-cerpen Djenar umumnya berada dalam mainstream yang sama dengan novel-novel Ayu Utami. Mereka mengusung feminisme untuk 'membongkar' norma-norma sosial yang dianggap kaku, dan dengan enteng mereka berbicara tentang 'wilayah-wilayah lokal' -- sejak payudara hingga kelamin.

Mainstream lain yang juga kuat adalah fenomena cerpen-cerpen Islami, yang mengangkat tema-tema moralitas dan ajaran agama (Islam), seperti tampak pada cerpen-cerpen Helvy Tiana Rosa, Abidah el Khalieqy, Asma Nadia, Gola Gong, Pipiet Senja, Irwan Kelana, dan hampir semua cerpen karya anggota FLP yang jumlahnya mencapai 5000 lebih.

Kemunculan mainstream fiksi Islami seperti sengaja mengimbangi kecenderungan fiksi seksual yang dirambah oleh Ayu Utami dkk. Namun, tidak seperti fiksi-fiksi seksual yang banyak diperbincangkan para kritisi sastra, fiksi-fiksi Islami tidak begitu banyak diperbincangkan di ranah kritik sastra. Meskipun begitu, terutama karena daya tarik pasarnya, kecenderungan fiksi Islami memiliki lebih banyak pengikut, termasuk mereka yang semula bukan penulis fiksi Islami.

Di antara kedua mainstrean di atas, tidak kurang jumlahnya cerpen-cerpen yang tetap bermain di ranah humanisme universal, yang mengangkat masalah-masalah sosial, cinta, keluarga, dan memperjuangkan keadilan serta harkat dan martabat kemanusiaan. Misalnya, cerpen-cerpen Kuntowijoyo, Danarto, Putu Wijaya, Ratna Indraswari Ibrahim, Seno Gumira Ajidarma, Yanusa Nugroho, Kurnia Effendi, Shoim Anwar, Isbedy Stiawan ZS, dan Maroeli Simbolon -- untuk menyebut beberapa saja. Mereka tampak kukuh dengan pilihan tematik-estetiknya sendiri, tanpa terpengaruh untuk masuk ke fenomena cerpen seksual maupun Islami.
Kecendrungan lain yang juga menarik untuk diamati adalah cerpen-cerpen bernuansa lokal dengan nilai-nilai budaya etniknya, seperti karya-karya Oka Rusmini (Bali), Taufik Ikram Jamil (Melayu-Riau), Chairil Gibran Ramadhan (Betawi), Korrie Layun Rampan (Dayak), Kuntowijoyo (Jawa) dan Danarto (Islam kejawen) -- juga untuk menyebut beberapa saja.

Belakangan, kecenderungan cerpen bernuansa lokal bahkan telah mendorong munculnya semacam 'kesadaran untuk kembali ke kekayaan budaya sendiri' dan makin banyak mendapatkan pengikut, seperti terlihat dalam Kongres Cerpen Indonesia (KCI) 2005 di Pekanbaru. Sebagian besar cerpen pemenang dan nomine Sayembara Penulisan Cerpen CWI 2005 juga bernuansa lokal. (Lihat, La Runduma, kumpulan cerpen Kreativitas Pemuda, Creative Writing Institute dan Kementerian Pemuda dan Olahraga, Jakarta, 2005).

Dalam semangat 'kembali ke budaya Timur' itu, pada dasawarsa 1970-an dan awal 1980-an, Danarto sempat memunculkan fenomena cerpen sufistik, atau tepatnya Islam kejawen yang cenderung panteistik. Cerpen-cerpen berkecenderungan demikian dapat ditemukan pada karya-karya Danarto yang terkumpul dalam Godlob (1976) dan Adam Makrifat (1982). Karya-karya Danarto itu, bersama karya-karya dan pemikiran Abdul Hadi WM, sempat mendorong berkembangnya mainstream sastra sufistik dalam kesastraan Indonesia, yang berhasil menghimpun banyak 'pengikut' dari kalangan penulis muda, terutama para penyair.

Dari aspek estetik, cerpen-cerpen Indonesia mutakhir menunjukkan kecenderungan gaya (style) penuturan yang cukup beragam. Antara lain, gaya realis, romantis, puitis, simbolik, surealistik, dan masokis. Namun, tidak gampang untuk memasukkan seseorang ke dalam satu gaya estetik tertentu secara tegas, karena para cerpenis kebanyakan menulis cerpen dalam berbagai gaya. Seno Gumira Ajidarma, misalnya, banyak menulis cerpen realis, tapi juga menulis beberapa cerpen romantis dan simbolik. Putu Wijaya juga dikenal sebagai cerpenis bergaya absurd, tapi belakangan juga banyak menulis cerpen realis. Begitu juga Danarto. Cerpen-cerpen pada masa awal kepengarangannya sangat simbolik. Namun, belakangan juga banyak menulis cerpen realis.

Cerpen bergaya realis (realisme) adalah cerpen yang menyodorkan realitas yang ada dalam masyarakat sebagai kebenaran yang faktual. Misalnya, cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma dalam Saksi Mata (1994) dan Penembak Misterius (1993), serta cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu dalam Mereka Bilang Aku Monyet (2003) dan Jangan Main-main dengan Kelaminmu (2004). Contoh lain adalah cerpen-cerpen Putu Wijaya dalam kumpulan cerpen Tidak (1999), dan Kuntowijoyo dalam Hampir Sebuah Subversi (1999).

Cerpen bergaya romantis adalah cerpen yang sangat mengutamakan perasaan, dengan pencitraan-pencitraan tokoh yang serba cantik dan sempurna, serta obyek dan latar yang serba indah, dengan impian-impian hidup yang serba ideal. Misalnya cerpen-cerpen Irwan Kelana dalam Kelopak Mawar Terakhir (2004), cerpen-cerpen Asma Nadia dan cerpen-cerpen remaja (teenlit) pada umumnya.

Cerpen bergaya puitis adalah cerpen yang mengutamakan narasi-narasi yang puitis dalam melukiskan latar (setting) dan pengadegannya. Dari awal sampai akhir kadang-kadang mirip puisi panjang atau prosa liris. Gaya cerpen puitis sempat menjadi kecenderungan sesaat dalam sastra Indoensia pada awal 2000-an, misalnya cerpen-cerpen Maroeli Simbolon, Azhari, dan Kurnia Effendi dalam kumpulan cerpen Menari di Bawah Bulan (2004). Cerpen-cerpen para pemenang dan nomine Sayembara Penulisan Cerpen CWI 2003 dan 2004 sebagian besar juga bergaya puitis.

Cerpen bergaya simbolik adalah cerpen yang mengungkapkan gagasan, kebenaran atau menafsirkan realitas dengan simbol-simbol. Sebagai contoh adalah cerpen-cerpen saya dalam Sebelum Tertawa Dilarang (1997) dan Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (2004). Cerpen-cerpen sufistik Danarto dalam Godlob (1976) dan Adam Makrifat (1982) umumnya juga dikemas dalam gaya simbolik. Dalan novel, yang masuk gaya ini adalah Cala Ibi (2003) karya Nukila Amal.

Cerpen bergaya surealistik adalah cerpen yang mencampuradukkan antara realitas dan irrasionalitas, antara kenyataan dan impian. Misalnya, cerpen-cerpen teror psikologisnya Putu Wijaya yang mengungkap alam bawah sadar manusia (stream of conciousness). Dalam tingkatan yang ekstrem, realitas yang diungkap menjadi jungkir balik sehingga terkesan absurd. Cerpen-cerpen Putu yang bergaya demikian terkumpul dalam Bom (1978).

Gaya lain yang belakangan sempat muncul adalah cerpen masokis, yakni cerpen yang memanfaatkan narasi-narasi kekerasan seksual, baik sebagai simbol absurditas kehidupan maupun sebagai potret realitas sosial yang bobrok akibat hancurnya tatanan moral. Misalnya, cerpen-cerpen Hudan Hidayat dalam Keluarga Gila (2003). Dalam novel, gaya masokis ada pada Ode untuk Leopol von Sacher-Masoch (2002) karya Dinar Rahayu.

Membaca fiksi (cerita rekaan) tentang kehidupan, siapapun penulisnya, selalu menarik. Sebab, manusia pada dasarnya suka 'bercermin' untuk lebih mengenali dirinya sendiri dan lingkungannya. Dan, fiksi -- cerita pendek (cerpen) maupun novel -- seperti pernah dikatakan Umar Kayam, pada dasarnya adalah refleksi (cermin) kehidupan pengarang dan lingkungannya.

Sejak zaman nenek-moyang dulu sampai sekarang, manusia suka mendengar dan membaca dongeng. Dalam tradisi lisan, dulu, dongeng hidup dan diwariskan dari mulut ke mulut sampai berabad-abad. Dunia rekaan yang disajikan dongeng pada umumnya adalah 'mimpi-mimpi indah' tentang kebahagiaan, yang mampu melambungkan perasaan dan imaji penikmatnya dari realitas keseharian yang pahit. Ke dalam 'mimpi-mimpi indah' itu manusia bertamasya secara imajinatif untuk sesaat melupakan realitas hidup sehari-hari yang getir.

Bagi masyarakat terpelajar yang memiliki budaya baca tinggi, fiksi, cerpen maupun novel, menggantikan kebutuhan mereka akan dongeng. Cerpen maupun novel, menurut Korrie Layun Rampan, sesungguhnya memang merupakaan metamorfosis dongeng. Maka wajar, kalau yang laris di pasar buku adalah fiksi-fiksi romantis yang cenderung 'mendongeng' (menjual mimpi) semacam novel pop, novel remaja, chicklit dan teenlit, serta kumpulan cerpen remaja.

Chicklit dan teenlit, yang sekarang marak di Amerika, Australia, dan merebak di Indonesia, sebenarnya adalah dongeng-dongen kontemporer yang berhasil memadukan dua kebutuhan di atas: kebutuhan masyarakat akan cermin diri sekaligus kebutuhan masyarakat akan 'dunia mimpi'. Sedangkan cerpen-cerpen yang serius dapat memenuhi kebutuhan untuk 'rekreasi emosional dan intelektual' sekaligus 'refleksi diri' pembacanya.

Karena itu, tradisi penulisan cerpen, apapun gaya dan temanya, akan terus hidup untuk memenuhi kebutuhan pembacanya akan dongeng, refleksi diri, sekaligus rekreasi emosional dan intelektual mereka.
Tulisan ini merupakan makalah untuk seminar sastra Perhimpunan Penulis Tionghoa Indonesia (Yin Hua Zuo Xie), di Jakarta, 11 Maret 2006.

* Penulis adalah sastrawan dan wartawan Republika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar