Jumat, 01 Oktober 2010

KABAR BUKU: SUKARNO DAN MODERNISME ISLAM

“Sukarno dan Modernisme Islam” (Komunitas Bambu, Oktober 2010, editor: Chairil Gibran Ramadhan, pengantar: Goenawan Mohammad; penutup: Giat Wahyudi)


SUKARNO, ISLAM, DAN LAINNYA

1
PENCITRAAN terhadap Sukarno yang selama ini turut dibangun lewat cerita dari mulut ke mulut, kiranya salah besar. Selama puluhan tahun sejak masa kejayaannya, kejatuhan, terlebih setelah kematiannya, tokoh yang dianggap “manusia setengah dewa” ini seringkali disandingkan dengan dunia irasional semacam klenik dan hal-hal yang berbau mistik—sesuatu yang justru sangat dibenci Sukarno. Bahkan atribut-atribut yang dikenakannya, tidak luput dari cerita-cerita “mengagumkan” itu: Peci hitam yang menjadi ciri khasnya, konon dapat memberi kewibawaan sangat besar pada orang yang memakainya; Kacamata hitamnya, dikisahkan tembus pandang dan mampu melihat bahkan di balik tembok sekalipun (ini kerap dihubungkan dengan kebiasaan Sukarno memperistri perempuan cantik); Tongkat komando-nya dikatakan mampu menjadikan orang yang menyimpan dan memegangnya sebagai pemimpin negeri ini. Cerita-cerita ini masih tumbuh subur dalam pembicaraan sehari-hari, terutama di kalangan yang menyukai dunia mistik, klenik, dan bisnis barang antik. Tersebar pula cerita-cerita khayali tentang Sukarno yang dikatakan belum mati, maka masih sering terlihat di Tugus Monas atau Istana Bogor; Sukarno lahir lewat perut ibunya yang disayat (semacam operasi caesar masa kini, namun ghaib); Sukarno yang mengalihbentuk menjadi orang lain.

Sementara di kalangan yang lebih rasional dan kalangan media, pencitraan terhadap Sukarno lebih beragam dan cerdas. Mulai dari seorang politikus ulung, orator ulung, nasionalis, hingga negarawan—meski ia juga seorang arsitek, seniman, dan pecinta karya seni. Di akhir hayatnya ia juga sempat disebut sebagai komunis oleh rezim yang menjatuhkannya. Sisi religius Sukarno sendiri jarang diangkat media atau orang-orang saat membicarakannya, baik sisi pemikiran maupun keseharian. Ternyata Sukarno seorang muslim dengan tauhid sangat mengagumkan dan memiliki pandangan-pandangan sangat modern terhadap Islam. Hal-hal inilah yang ditulis M. Ridwan Lubis dalam buku “Sukarno dan Modernisme Islam” (ed: Chairil Gibran Ramadhan, Komunitas Bambu, Oktober 2010). Buku ini sebelumnya terbit dengan judul “Pemikiran Sukarno tentang Islam (CV. Haji Masagung, 1992).

Penerbitan kembali buku ini masih relevan mengingat pemikiran-pemikiran Sukarno tetap menjadi salah satu acuan dalam kehidupan bernegara di Indonesia, dan “menjadi baru” karena kita memang kekurangan sumber mengenai ke-beragama-an Sukarno. Di dalamnya dijelaskan berbagai konsep pemikiran Sukarno tentang Islam. Salah satunya mengupas kalimat Islam is progress, yang ditulisnya di majalah Pandji Islam, April 1940.

“Pendapat Sukarno bahwa Islam adalah kemajuan mempunyai makna tersendiri dalam pemikiran keislamananya. Ia memegang prinsip bahwa kemajuan peradaban umat manusia bukan saja sesuai dengan Islam, tetapi lebih jauh lagi yaitu Islam itu sendiri berarti kemajuan. Karena itu kemajuan identik dengan Islam dan kemajuan tidak mungkin bertentangan dengan Islam. Pendapat yang agak bernada apologis ini sesungguhnya dapat dipahami apabila diingat betapa seriusnya kritikan yang ditujukan kepada Islam yang menyamakan Islam dengan kebodohan, kemunduran dan sebagainya. Hal ini berarti Islam itu mengandung potensi kebodohan dan kemunduran. Kritikan inilah yang juga berkembang di Indonesia dan itulah yang ingin dijawab Sukarno. Oleh karena yang dihadapinya adalah kelompok intelektual hasil didikan pola Barat, maka tidak mengherankan kalau cara yang dipakainya sangat menekankan peranan pemahaman akal pikiran. Pola berpikir yang seperti ini pulalah yang menyebabkan para pengritiknya meragukan ketulusan sikap Sukarno terhadap islam.”

Cara berpikir Sukarno tentang Islam ini dipengaruhi oleh dua tokoh pembaruan di Mesir: Muhammad Abduh dan Farid Wajdi. Menurut Abduh, peradaban yang sejati sesuai dengan Islam, sementara menurut Wajdi, Islam yang sejati sesuai dengan peradaban. Dalam hal ini tampaknya Sukarno cenderung pada orientasi pemikiran Wajdi yang sering dikutipnya, bahwa Islam hanya dapat berkembang bila umatnya memperhatikan tiga hal: Kemerdekaan roh, kemerdekaan akal, dan kemerdekaan pengetahuan. Selain Abduh dan Wajdi di sisi Islam, Sukarno juga dipengaruhi Mustafa Kemal (Turki) dan Gamal Abdul Nasser (Mesir) di sisi nasionalis.


2
MESKI seorang muslim sejati, namun Sukarno menganggap Islam tidak perlu dijadikan sebagai dasar negara. Ia semata menekankan bahwa yang harus ditangkap dari Islam adalah esensi-nya (ruh Islam), untuk dijadikan sebagai dasar negara. Inilah yang membuat ia menyetujui langkah Mustafa Kemal yang meruntuhkan kekhalifahan Dinasti Usmani (1923) dan membentuk sebuah negara nasionalis Turki.

Tindakan Kemal yang melepaskan agama dari negara menurut Sukarno harus dipandang sebagai itikad baik, yaitu memerdekakan Islam dari ikatan agama, agar Islam bukan hanya agama yang memutar tasbih di masjid saja, tetapi menjadikan Islam sebagai gerakan yang membawa ke arah perjuangan. Untuk mencapai tujuan itu, maka hal yang harus dilakukan adalah merombak cara berpikir umat Islam yang sejak lama telah diikat oleh berbagai pandangan tradisional. Melepaskan agama dari negara adalah wujud kemerdekaan negara dari anggapan-anggapan agama yang jumud (kebekuan berpikir), yakni memerdekakan negara dari hukum-hukum tradisi dan paham-paham islam yang kolot—yang sebenarnya bertentangan dengan Islam.

Sukarno meyakini, dalam Al Qur'an tidak ada ayat yang mengharuskan menyatukan agama dengan negara. Bahkan kata negara sendiri menurutnya tidak ditemukan. Kata daulah yang ada diartikannya bukan sebagai negara tapi kedaulatan. Ini didasarkan pada buku Al-Islam wa Ushul Al-Hukm karya Ali Abd Al-Raziq. Dalam analisanya, Sukarno menyebut bahwa kesultanan-khalifah (caesaro-papisme) di dalam Dinasti Turki Usmani bukan berasal dari Islam namun perpaduan tiga peradaban: Grieks-Byzantijn, Arab (Islam), dan Iran.

Hal menarik dari buku ini salah satunya karena menyajikan kutipan-kutipan asli pemikiran Sukarno dari surat-surat, pidato-pidato, dan tulisan-tulisannya. Namun sisi lain, oleh M. Ridwan Lubis, Sukarno tidak dibiarkan melenggang sendirian dengan pendapat-pendapatnya yang terdengar “nyeleneh” itu. Simak pendapat para ulama yang hidup sezaman dengannya: Sirajuddin Abbas, Kiai Machfoedz Shiddiq, A. Moechlis (nama samara M. Natsir), Tengkoe Mhd. Hasbi, MS. Adil (nama samaran Ahmad Hasan), Agus Salim, hingga Ahmad Syafi'i Maarif pada masa sesudahnya—yang disajikan sebagai penyeimbang. Jikapun ada kelemahan, hanyalah memiliki gaya penulisan yang agak berbeda dengan dekade kini. Namun hal ini tetap dipertahankan oleh editor dengan pertimbangan supaya pembaca mengetahui gaya bertutur masa ketika buku ini pertama diterbitkan—selain untuk mempertahankan gaya khas sang penulis, yang salah satunya sering menggunakan kata “ sungguhpun”.

Akhirul kalam, menurut Sukarno, Islam adalah pedoman tertinggi yang pernah dimiliki oleh umat manusia untuk membawa mereka menelusuri perjalanan hidup di dunia sampai akhirat. Islam juga bersifat dinamis untuk terus berkembang menyesuaikan diri dengan perkembangan modern. Bagi Sukarno, sangat tidak tepat mempertentangkan Islam dengan perkembangan peradaban modern khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Keduanya saling membutuhkan. Jadi, menurut Sukarno, Islam is progress. (Chairil Gibran Ramadhan, sastrawan dan mantan wartawan)



CATATAN:
"Selama enam bulan sebelum buku ini terbit, kami berupaya mencari penulis atau keluarganya guna mendapatkan izin. Kami hubungi berbagai pihak dimana penulis pernah meninggalkan jejak, seperti Universitas Sumatra Utara (USU), Departemen Agama, UIN Syarif Hidayatullah dan Yayasan Bung Karno (YBK). Dari YBK malahan telah membantu menggunakan jaringannya yang luas. Sejumlah info didapat, tetapi semua berakhir nihil sampai akhirnya tanpa bermaksud tidak hormat, buku ini diputuskan untuk dicetak. Kami mohon maaf dan berharap apabila ada yang mengetahui keberadaan dan alamat kontak penulis atau keluarganya, kami dapat diinformasikan. Besar harapan kami, penulis sendiri atau sanak keluarga yang membaca dapat menghubungi alamat kami."

KOMUNITAS BAMBU:
Jl. Pala No. 4B, Beji Timur, Depok
Telp: 021-7720-6987
email: komunitasbambu@yahoo.com
website: www.komunitasbambu.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar