Minggu, 05 September 2010

KABAR BETAWI: TEATER TOPENG BETAWI DI YOGYAKARTA

“Tarik ketupat lepas di atas piring, pukul gendang mainin topeng."


Pada 22-26 Juli 2010 ini, kelompok teater yang melakukan workshop “Sastra Pertunjukan" dengan membawakan Topeng Betawi di Balai Latihan Kesenian (BLK) Jakarta Selatan, akan memamerkan hasil latihannya di SMKI 1, Bantul, Yogyakarta. Turut serta dalam rombongan itu adalah Dindon WS (sutradara), Jaya Noin dan Atien Kisam (praktisi Topeng Betawi), dan tentunya Chairil Gibran Ramadhan (sastrawan dan budayawan Betawi), yang naskahnya diadaptasi untuk pertunjukan ini. Kegiatan ini awalnya digagas Yusuf Sugito selaku Kepala BLK Jakarta Selatan, yang kini sudah digantikan Dyah Damayanti.
Di tengah ketenggelamannya, pemilihan Topeng Betawi sebagai bahan workshop di kalangan generasi muda—yang naskahnya didasarkan pada karya sastra—patutlah mendapat pujian. Selain untuk pengembangan, workshop ini juga dimaksudkan untuk meregenerasi pemain topeng selagi nara sumbernya masih ada. Sebab dari segi jumlah, untuk Jakarta Selatan saja hanya ada dua grup Topeng Betawi yang masih aktif.


TOPENG DAN LENONG
Di ranah budaya nasional bahkan Betawi sendiri, Topeng Betawi memang telah lama berada jauh di bawah Lenong Betawi, hingga Lenong pun dikira sebagai satu-satunya seni teater dalam budaya Betawi. Lebih jauh lagi adalah: Blantek, Jinong, Jipeng, Tonil Samrah, Ubrug, Wayang Dermuluk, Wayang Senggol, Wayang Si Ronda, Wayang Sumedar, dan Wayang Wong. Padahal dalam perkembangannya, keduanya pernah berjalan beriringan.
Topeng tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Betawi dengan sub-dialek Betawi Pinggir (disebut juga Betawi Ora), dengan cerita yang dibawakan seputar masalah rumah tangga, serta musik pengiring (disebut Gamelan Topeng) dan irama lagu beraroma Sunda. Sedangkan Lenong tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Betawi dengan sub-dialek Betawi Tengah (disebut juga Betawi Kota), dengan cerita yang dibawakan seputar action, serta musik pengiring (disebut Gambang Kromong) dan irama lagu beraroma Cina.
Hingga pertengahan dekade 1980-an, keduanya masih sering dipanggil keluarga-keluarga kaya Betawi untuk memeriahkan pesta pernikahan dan khitanan, dengan panggung yang didirikan di pelataran rumah sang empunya hajat. Namun seiring berkembangnya layar tancap yang lebih mudah pelaksanaannya dan lebih murah biayanya, keduanya pun tak lagi ditanggap. Nama Lenong sendiri bertahan lantaran jasa komersil media elektronik, diantaranya lewat tontonan Lenong Rumpi (RCTI) dan Lenong Bocah (TPI) pada awal dekade 1990-an—yang entah dimana letak Lenong-nya. Jangan lupakan pula jasa Sumantri Sastrosuwondo dan Djaduk Djajakusuma yang sejak 1968 memperkenalkan Lenong kepada khalayak non-betawi lewat pementasan-pementasan di TIM dan mengadakan festival-festival Lenong.

PANJAK DAN THE JAK
Menarik dicermati bahwa sebagian besar peserta workshop bukanlah orang Betawi. Mereka berdarah Jawa, Sunda, dan Batak. Tercatat hanya beberapa orang saja yang berdarah Betawi. Maka aroma khas Betawi serta kelenturan mimik dan tubuh seorang panjak (pelaku seni pertunjukan dalam budaya Betawi, lelaki atau perempuan), belum terpancar dari mereka. Meski secara kemampuan berakting cukuplah lumayan, namun mereka tentu tak diharapkan menjadi pelawak-pelawak karbitan seperti yang kini muncul di layar TV kita dari gelap hingga gelap. Menjadi panjak topeng jelas berbeda dengan sekedar menjadi pelawak. Bokir, Nasir, Bodong, Nori, Malih, Nirin, Bolot, adalah panjak-panjak topeng alami yang lahir dari udara Betawi dan sukar dicari tandingannya. Dan jiga (kemampuan panjak menjiwai perannya) adalah sebuah keharusan.
Sesugguhnya ini pekerjaan berat bagi para pengajar dan terlebih para peserta workshop. Membuat orang tertawa dengan kelucuan-kelucuan spontan yang membawa kekhasan sebuah kultur jelas memerlukan intuisi tinggi. Kecuali jika seseorang sudah memiliki darah itu—yang didapatnya dari semesta keseharian. Untuk hal ini tentunya orang Betawi terah teruji kefasihannya. Sebab kesusahan saja bisa menjadi sebuah kejenakaan di tangan mereka.
Pendek kata para peserta non-Betawi harus berakting dua kali, dobel: Sebagai orang Betawi dengan segala spontanitas berpikir, bersikap dan berucapnya; dan sebagai tokoh yang diperaninya. Mungkinkah kebesaran grup Topeng Betawi Setia Warga yang pernah berjaya hingga pertengahan dekade 1980-an--dengan Haji Bokir sebagai maskotnya—dalam berapa persennya bisa muncul dari workshop ini? Wallahu a’lam bi shawab.
Lantas apa motivasi para peserta workshop, mengingat sebagian besar dari mereka bukan berdarah Betawi? Murni melestarikan budaya Betawi ‘kah? Apapun motivasinya—meluaskan pergaulan, mendapat pengalaman berjalan-jalan, kesempatan berakting pada media yang lebih kuat efek komunikasinya dan lebih besar jumlah penikmatnya—setidaknya kita cukup berbangga hati bahwa anak-anak muda non-Betawi dalam kisaran umur 18-22 tahun ini menaruh minat pada Topeng Betawi. Bandingkan dengan kebanyakan anak muda Betawi yang sehari-hari memilih hilir-mudik di atas motor, bermain gitar di mulut-mulut gang, memegang kail di pemancingan, atau berteriak dengan wig warna orange dan kaos berwarna senada bertuliskan “The Jak Mania”. Tentu kita berharap para peserta akan mengakrabi dan membawa Topeng Betawi dalam kejujuran nurani seninya, seperti Haji Bokir dan teman-temannya yang mengusung dengan hati dan dedikasi teramat tinggi budaya kampungnya.


STAMBUL KOMPROMI
Stambul Panjak adalah cerita yang diadaptasi menjadi bahan workshop di Jalan Asem Baris, Tebet ini. Seperti 16 cerpen lainnya dalam antologi “Sebelas Colen di Malam Lebaran” (Chairil Gibran Ramadhan, Masup Jakarta, 2008), SP pun tak mengandung unsur humor. SP sangat menyayat: Menceritakan kejatuhan sebuah grup Lenong milik seorang Cina-Betawi akibat gempuran layar tancap lebih 20 tahun silam di Bekasi. Namun dalam workshop ini SP kemudian dipindahkan menjadi Topeng Betawi, dengan sentuhan komedi yang kental dan cerita yang mengalami “penyesuaian”. Maka kesedihan dan kegundahan The Teng Hui sang pemilik Bintang Kedjora hanya tampak sekelebat. Meminjam istilah Arswendo Atmowiloto, SP telah mengalami kreapromitas alias kreativitas kompromi (Jurnal Kalam, edisi 9, 1997), melebihi jika seandainya naskah ini dipentaskan oleh Teater Koma.
Sebuah cerita, dalam segala detailnya, memang hanya bisa dinikmati secara utuh lewat teks aslinya. Karena ketika dipindahkan ke dalam bahasa gambar atau ke atas pentas, maka akan selalu berkompromi. Bahkan dengan fakta itu sendiri.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar